Solusi Indonesia Part 7, Al-Quran sebagai Pedoman Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Hasanuddin, MSi
Pengamat Sosial Politik

MUDANEWS.COM – Kata Thaha, ayat pertama dari Surah Thaha, oleh para sahabat nabi seperti Abd Allah Ibn Abbas, dan tokoh-tokoh segenerasinya seperti Said Ibn Jubajr, Mujahid, Qatadah, Al-Hasan Al-Bishri, Ikrimah, Al-Dhahhak, Al-Kalibi mengatakan bahwa “Tha ha” bukan hanya dua gabungan huruf tunggal (t, h) melainkan juga merupakan suatu ungkapan yang mempunyai makna berarti “wahai manusia”. Yang berasal dari bahasa Nabatean atau bahasa Suryani–yang merupakan cabang dari bahasa Arab (sebagaimana dikemukakan Al-Thabari, Al-Razi, Ibn Katsir) sinonim dengan “ya rajul”.

Juga pengertian demikian ditemukan dalam dialek bahasa Arab murni dari suku ‘Akk dari Yaman, sebagaimana yang telah digunakan para penyair pra-Islam, sebagaimana dikemukakan Al Tabari dan Al-Zamaksyari, mereka mendukung sepenuhnya penerjemahan “Tha ha” ini dengan “wahai manusia”.

Sebab itu, ayat ke-2 dari surah ini “Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu untuk membuatmu susah” ditujukan bagi semua manusia.

Hanya saja, pada ayat 9 “Dan, sudahkah sampai kepadamu kisah Musa?” tidak memungkiri bahwa pertanyaan ini tentu kali pertama ditujukan kepada Rasulullah Muhammad SAW, sebagai penerima wahyu ini, sehingga ada yang menafsirkan kata “Tha ha” sebagai nama beliau”, mengikuti makna sinonim dari kata ini, yakni “ya rajul”.

Namun itu bukan berarti bahwa ayat ini diwahyukan hanya untuk beliau, sehingga penerjemahan kata “Tha ha” lebih tepat dengan “wahai manusia” secara umum, yang di dalamnya juga tentu termasuk Nabi Muhammad SAW.

Sehingga dengan demikian, Allah menyampaikan kepada seluruh manusia, bahwa Alquran ini diturunkan, tidak untuk membuat manusia menjadi susah. Persoalan ini erat kaitannya dengan kisah Musa dan Harun yang ditugaskan menemui Firaun yang berkuasa di Mesir untuk memberikan peringatan, agar Firaun tidak menyembah selain Allah, dan percaya akan adanya hari kemudian.

Lalu terjadilah dialog antara Musa dan Firaun, yang pada intinya Firaun memahami penjelasan Musa, namun Firaun tetap membangkang, dan tidak mau tunduk atau taat kepada apa yang disampaikan Musa kepadanya.

Dikisahkan dalam surah ini, sebelum Musa dan Harun berangkat ke Ibukota Mesir, menjalankan tugas dari Allah Swt menemui dan memberikan peringatan kepada Firaun, oleh Allah Swt–Musa diberi semacam pembekalan, yang amat banyak hikmah yang dapat dipetik untuk menjadi ibrah bagi kita yang membaca surah ini.

Kisah tentang pembangkangan Firaun, diabadikan sebagai pelajaran bagi manusia agar tidak melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Firaun semasa berkuasa di Mesir, agar menjadi pelajaran bagi semua manusia.

Salah satu hal yang diajarkan Allah kepada Musa, dan disampaikan oleh Musa atas pertanyaan Firaun adalah tentang siapakah Tuhan Yang disembah oleh Musa? Musa menjawab pertanyaan Firaun itu dengan mengatakan:

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى (50)

“Musa menjawab, “Tuhan (Rabb) ku, adalah Dia yang memberikan sifat dasar dan bentuk yang sejati kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk menuju kesempurnaannya”.
(QS. Thaha ayat 50).

Maka perhatikanlah dengan saksama ayat ini, bahwa semua sifat dasar, bentuk yang asli, serta petunjuk bagi kepada semua makhluk dalam setiap aktifitasnya itu, tiada lain adalah af’al (perbuatan) Allah. Sifat dasar, tentu yang dimaksud bukan sifat jadian. Misalnya: apa sifat dasar atau watak dasar manusia, adalah condong kepada keselamatan (hanifan musliman).

Karena itu, pada dasarnya manusia itu memiliki sifat yang baik, dan dengan demikian sifat buruk pada manusia itu, bukanlah sifat atau watak dasarnya. Demikian halnya dengan bentuk asli dari setiap sesuatu, itu sepenuhnya adalah af’al Allah SWT. Maka disinilah kita menemukan makna hakiki dari firman Allah SWT, bahwa kemanapun kamu menghadapkan wajahmu, disitu engkau akan melihat Allah.

Yang dimaksud bukan zat Allah, tapi perbuatan (af’al) Allah. Perbuatan atau af’al dari Allah inilah yang disimbolisasi dengan huruf ‘ba’ pada kata bismi yang terdapat dalam kalimat basmalah. Penjelasan mengenai hal ini lebih terperinci dapat di simak dalam Kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah karya Syeik Muhyiddin Ibnu Arabi.

Kembali kepada ayat kedua di surah Thaha ini, bahwa Alquran diturunkan Allah SWT bukan untuk mempersulit atau menyusahkan manusia. Maka, sekiranya masih ada pandangan yang menilai bahwa gagasan menjadikan Alquran sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai gagasan yang mustahil dilakukan, sulit diterapkan, hal itu sama sekali tidak beralasan.

Dan pandangan seperti itu, tiada lain muncul dari mereka yang tidak meyakini kebenaran Alquran. Datang dari mereka yang belum mempelajari atau memahami Alquran. Atau datang dari mereka yang telah paham isi Alquran, namun dengan sengaja membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya.

Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari kegelapan, dan menerangi hati dan jiwa kita dengan taufiq dan hidayah-Nya, serta menguatkan kita dengan inayat-Nya. Sesungguhnya ketersambungan antara hamba dengan Rabb-nya, tiada lain hanya melalui inayat-Nya.

Penulis, Ketua Umum PB HMI 203-2005, Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Billahitaufiq Walhidayah
Depok, 04 November 2020.

- Advertisement -

Berita Terkini