Infrastruktur Kemakmuran Jiwa Menuju Akhirat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan –

A. Esensi Kebahagiaan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَ لَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ ۗ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d 13: Ayat 28)

Dalam tafsir Al-Wajiz karya Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri SuriahBerikutnya, Allah menyebutkan tanda kaum Mukminin. Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah,” maksudnya, kegundahan dan kegelisahannya (hati mereka) lenyap dan berganti dengan kebahagiaan hati dan kenikmatan-kenikmatannya. “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram,” maksudnya , semestinya dan sudah seyogyanya, kalbu-kalbu itu tidak menjadi tenang dengan sesuatu selain dengan mengingatNya. Karena tidak ada sesuatu pun yang lebih nikmat, lebih memikat dan lebih manis bagi kalbu ketimbang (kenikmatan dalam) mencintai Penciptanya, berdekatan dan mengenalNya.

Berdasarkan tingkat ma’rifah (pengenalan)nya dan kecintaannya kepada Allah-lah tingkat intensitas dzikirnya kepada Allah. Demikian ini, merujuk keterangan bahwa dzikrullah yang dimaksud adalah seorang hamba yang mengingat Allah dengan lantutan tasbih, tahlil, takbir dan lain-lain.

Ada yang menafsirkan bahwa ‘dzikrullah’ maksudnya kitabNya yang diturunkan sebagai dzikra (peringatan) bagi kaum Mukminin. Atas dasar ini, maka thuma’ninah al-Qalbi (ketenangan hati) dengan dzikrullah yakni ketika mengenal makna-makna al-Quran dan hukum-hukumnya, hati menjadi tenang dengannya. Sebab, hal-hal itu akan menunjukkannya kepada kebenaran yang nyata yang didukung oleh dalil-dalil dan bukti-bukti. Dengan itu, hati akan menjadi tentram. Sungguh, hati tidak akan tenang kecuali dengan sebuah keyakinan dan ilmu.

Hal ini sudah dijamin dalam KItabullah dengan jaminan dalam bentuk yang paling sempurna dan paripurna. Sedangkan kitab-kitab lainnya yang tidak mengacu kepada dzikir, maka hati tidak merasakan ketentraman dengannya. Bahakan akan senantiasa dilanda kebingungan karena adanya kontradiksi antar dalil dan unsur pertentangan antar hukum yang ada. “Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa:82) Masalah ini hanya diketahui oleh orang-orang yang menguasai seluk-beluk Kitabullah, menghayatinya dan mencermati kitab-kitab lainnya yang mengandung berbagai jenis ilmu (untuk memperbandingkannya), niscaya dia akan menjumpai perbedaan tajam antara al-Quran dan kitab-kitab lainnya.

Banyak orang mengatakan bahwa kebahagiaan itu datangnya dari harta, dari kekuasaan, tahta dan berbagai cara pun dilakukannya untuk merebut kekuasaan tersebut. Pejabat-pejabat tanpa malu melakukan korupsi untuk mendapatkan materi yang berlimpah, dan orang-orang pun mau melakukan apa saja untuk naik jabatan dan mendapatkan kekuasaan sehinga ia menjadi orang berkuasa yang dapat bertindak sesuka hati. Mungkin saja mereka sudah merasa cukup bahagia dengan segala hal materi dan kesenangan sesaat yang telah didapatkan. Namun, kebahagiaan mereka tidaklah merasuk secara rohaniah, karena kebahagiaan seperti itu hanya bersifat kondisional.

Terkadang kebahagiaan itu datang dan pergi. Jika kita sedang jaya dan sukses, barulah kebahagiaan itu datang. Tapi jika kita bangkrut dan jatuh miskin, maka kebahagiaan itu akan hilang. Dari sini saja dapat dilihat bahwa kebagaiaan yang seperti itu hanya bersifat sesaat saja tergantung dengan kondisi eksternal manusia. Kebahagiaan yang dicapai dalam islam itu bersifat mutlak jika kita benar-benar telah mengerti apa itu konsep kebahagiaan yang sebenarnya. Kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya jika hati telah dipenuhi dengan iman yang kuat dan bertindak sesuai dengan keyakinan yang kita punya itu. Jika hati telah penuh dengan iman, walaupun kita disiksa sekalipun itu tidak akan jadi masalah.

B. Sumber Kebahagiaan
Setiap manusia di dalam kehidupan ini berusaha untuk meraih kebahagiaan, itulah tuntutan hakiki bagi setiap insan, baik yang beriman atau yang kafir, manusia yang baik dan buruk, yang kaya dan miskin. Setiap mereka menginginkan kebahagiaan namun mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat kebahgaiaan tersebut. Diantara mereka ada yang melihat bahwa kebahagiaan itu ada pada mengumpulkan harta dan dirham, sementara yang lain melihat kebahagiaan itu pada jabatan yang tinggi, dan yang lainnya lagi melihat kebahagiaan itu pada penghargaan yang tinggi dan ada juga yang memandang kebahagiaan itu pada perkara yang lain.

Syekh Al-Sa’di menyabutkan beberapa sebab seseorang menjadi bahagia di antaranya:

Pertama: Beriman kepada Allah AWT dan beramal shaleh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-Nahl: 97).

Ibnu Abbas berkata: Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang bahagia[6]. Kebahagiaan ini adalah perasaan yang dihunjamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala didalam hati seorang yang shaleh sekalipun hidup dalam tekanan eknomi yang sempit.

Kedua: Di antara sebab-sebab kebahagiaan adalah beriman kepada qodha’ dan qodar Allah subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya jika manusia beriman kepada qodha’ dan qodar Allah subhanahu wa ta’ala maka dia akan merasakan ketanangan jiwa, berlapang dada dengan apa yang menimpanya sekalipun perkara tersebut dibencinya. Dan Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam telah memberitahukan bahwa beriman dengan qodha dan qodar adalah salah satu rukun iman yang keenam.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Ibnu Abbas RA bahwa Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam bersabda: Apabila engkau meminta maka memintalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan apabila engkau memohon pertolongan maka memohonlah pertolonganlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya pena tersebut telah kering dengan apa yang telah ditentukan oleh -Nya. Seandainya seluruh makhluk berkehendak untuk memberikan manfaat bagimu dengan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah maka mereka tidak akan bisa melakukannya, dan jika mereka ingin untuk memberikan mudharat dengan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh Allah maka mereka tidak mampu melakukannya”.

Ketiga: Memperbanyak berzikir kepada Allah Azza Wa Jalla, berzikir merupakan rahasia yang sangat tangguh dalam menciptakan lapangnya dada dan nikmatnya hati. Ibnul Qoyim telah menyebutkan beberapa manfaat dari manfaat berzikir di antaranya: Zikir itu mengusir kecemasan dan kesedihan dan mendatangkan kesenangan, kebahagiaan dan kehidpan yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah -lah hati menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra’du: 28).

Keempat: Qona’ah dengan rizki yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Barang siapa yang merasa puas dengan rizki yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka dadanya akan menjadi lapang, jiwanya akan tenang. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abdullah bin Amr bin Ash RA bahwa Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam bersabda: Sungguh telah beruntung orang yang masuk Islam dan diberikan kecukupan yang membuatnya tidak meminta-minta dan diberikan kepuasan dengan apa yang diberikan oleh Allah”.

Kelima: Hendaklah seorang mu’min menyadari bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan di akherat kelak. Dia harus menyadari bahwa dunia adalah tempat berbagai musibah, kekeruhan dan kesedihan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. (QS. Al-Balad: 4)

C. Webinar kemakmuran jiwa menuju akhirat bersama Ustadz Husni Ishak S.Th,i M.TH (Minggu, 9 Agustus 2020)
Dalam webinar itu yang menjadi objek pembahsaan ialah Jiwa, keluarga, sampai orang lain, dengan beberapa pertnyaa sasaran sebagai berikut :

1. Siapa sebenarnya golongan orang-orang yang paling bahagia?
Jawaban : golongan orang yang aling bahagia sesuai dengan Q.S An-nisa : 69
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَا لرَّسُوْلَ فَاُ ولٰٓئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَا لصِّدِّيْقِيْنَ وَا لشُّهَدَآءِ وَا لصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰٓئِكَ رَفِيْقًا ۗ

“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad) maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 69)

Muali husni juga menegaskan ulang bhawa para nabi, para pecinta kebenaran dan orang-orang yang mati syahid mereka banyak di berikan kebahagiaan dan nikmat dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat

2. Dimana letak kebahagiaan jiwa yang sebenarnya?
Jawaban : letak kebahagian ialah di dalam hati, maka hati yang bersih adalah pondasi dari ketenraman jiwa.

3. Mengapa masih banyak orang yang belum merasakan kebahagiaan walaupun ia di berikan banyak nikmat?

Jawaban: kebanyakan manusia tidak bahagia karena ia sering berburuk sangka kepada Yang Maha Menentukan, selalu menerka-nerka yang akan terjadi, cemas, gelisah dan takut, sehingga kepercayaan dan keyakinannya kepada Allah Sang Pencipta goyah bahkan hilang samasekali. Berburuksangka adalah sifat buruk manusia yang bisa menjadi racun dalam kehidupannya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda bersabda, “Jauhilah oleh kalian berprasangka (kecurigaan), karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya pembicaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Penawar dari enam racun dunia tersebut adalah bersyukur yang merupakan rahasia terbaik untuk hidup bahagia. Bersyukur berarti berterima kasih kepada siapa saja yang memberi sesuatu yang baik. Bersyukur kepada Allah SWT berarti berterima kasih atas segala kesempatan hidup dan menikmati segala limpahan nikmat yang telah diberikan. Namun, sedikit sekali manusia yang mau bersyukur. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirma yang artinya, “Hanya sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Qs. Saba’:13). Wallahualam.

D. Hikmah kebahagiaan jiwa
Ingatlah bahwasanya tiada yang abadi dimuka dunia ini kecuali zat yang maha agung, Allah SWT. Setiap apa yang kita dapatkan adalah karunia dan rachmat dari Allah SWT yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak. Harta, tahta, keluarga bahkan hidup ini adalah pemberiannya yang sewaktu-waktu dapat kapanpun diambilnya kembali.. Hidup itu bagaikan gelombang yang naik dan turun. Ada kalanya kita berada dipuncak dan berada di palung dasar berfluktuasi dari massa ke massa karena kekalan bukanlah dunia ini. Semua yang ada di dunia ini bersifat sementara dan tiada manusia yang mampu sdapat mengubahnya

Dunia ini hanyalah persinggahan sementara karena pemberhentian akhir kita semua adalah akhirat dan disanalah muara dari segala kebahagiaan abadi yang telah Allah SWT janjikan kepada setiap umatnya.

Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia -Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu”. (QS. Fathir: 34-35)

E. Hiduplah dengan selo
Richard P. Feynmann, peraih Nobel Fisika tahun 1965. untuk teori Mekanika Kuantum, ternyata orang yang lucu! Suatu hari, ia menulis surat kepada Mrs. Chown, “Fisika bukanlah hal yang terpenting. Cinta adalah yang terpenting….” Jadi, belajarlah jatuh cinta sedalamdalamnya, jangan cuma ngapalin rumus Fisika, ya. Begitu pun Stephen Hawking, saintis terkemuka pasca Albert Einstein yang mengupas Big Bang sebagai babakan dimulainya waktu dalam buku A Brief History of Time (2009), ternyata juga orang lucu. la mengaku bisa bertahan hidup di tengah serangan penyakit yang melumpuhkannya karena hidup ini lucu. “Kehidupan akan menjadi tragedi jika tidak lucu,” ujarnya.

Jauh sebelum masa mereka yang hidupnya identik dengan jagat serius, di era Yunani kuno, tersebutlah sosok Thales (bukan tales, apalagi telo) yang juga sangat lucu, yang oleh Bertrand Russell dimasukkan ke dalam kitab Sejarah Filsafat Barat-nya. Di masa kejayaan filsafat spekulatif itu, Tiales mencetuskan ide reinkarnasi: orang baik akan terlahir kembali sebagai manusia, dan orang jahat akan menjadi tikus. Di antara penyebab seseorang tereinkarnasi jadi tikus ialah akibat memakan buncis. Iya, buncis kita kini. Ini bikin ngakak! Mungkin, tikus-tikus got yang segede gaban itu dulunya manusia-manusia jahat yang hiperlemak. Maka jika Anda ingin jadi tikus yang slim kelak, pastikan Anda mati dalam keadaan jahat dan rajin ngegym.

Oke, oke, cukuplah jejak-jejak ilmiahnya bahwa kaum cerdik pandai itu jenaka-jenaka. Kelucuan lahir dari kepala penuh pengetahuan; dan pengetahuan singgah di kepala orang yang gemar membaca. Kelucuan, kita tahu, juga hanya bisa terbit dari lanskap pikiran dan hati yang selo. Longgar. Jadi, Anda yang spanengan, yang hidupnya beku, maaf kata, niscaya kesulitan untuk menemukan kelucuankelucuan dunia ini. Maaf kata Iagi, itu tanda bahwa Anda tidak cerdas! Bukan karena keturunan siapa atau daerah mana; tetapi akibat malas membaca. Tentu, tak seorang pun berhasrat menabung situasi spaneng dan beku demikian. Kita semua di tabalkan manusia cerdas! Baik. Coba simak satu hadits ini:

“Man shama ramadhana imanan wa ihtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi” (Barang siapa berpuasa Ramadhan dalam keadaan iman dan introspektif niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu). (HR. Bukhari dan Muslim).

Para tekstualis yang spanengan akan sepanjang masa menerjemahkan dalil tersebut sebagai “berpuasa dengan iman dan tulus.” Begitu terus sampai batu-batu di seberang rumah habis dijadikan akik. Mari kita fokus pada kata mashdar “ihtisaban” dan “ma taqaddama min dzanbihi”. Kata “ihtisaban” ini berasal dari kata dasar ihtasaba, yahtasibu, ihtisaban. Demikian operasi ilmu tasyrif-nya. Arti fi’il madhi-nya (ihtasaba) adalah menghisab, mengevaluasi, mengintrospeksi (dan sejenisnya). Dalam posisi sebagai mashdar, makna katanya berubah menjadi “keadaan menghisab, mengevaluasi, mengintrospeksi” dan sejenisnya. Sebuah keadaan jiwa yang konstan, intensif, berkesinambungan.

Dalam bahasa filsafat Jawa, karib dengan Kasunyatan. Umar bin Khathab pernah berkata, “Hisablah dirimu sebelum kelak benar-benar dihisab di akhirat.”Anda pasti tahu, di dunia ini, tak ada orang yang spanengan, ngototan, sok benaran tersebut sudi melakukan penghisaban diri itu, introspeksi diri. Tidak ada. Sebab, orang Spanengan selalu tak punya waktu untuk merenungi diri, lantaran selalu merasa telah purna, Purna benarnya, purna pintarnya, purna “sesuai maksud” Allah banget.

Lha, buat apa lagi merenungkan suatu hai bila bati dan pikiran kita selalu merasa kebak dengan “Allah banget”? Selalu merasa benar seperti kehendak Allah Swt.? Akibatnya, kata Wittgenstein, jadilah ia “lalat dalarn toples kaca”. Merasa bisa melihat dan mengetahui segalanya, padahal sama sekali tak pernah ke mana-mana. la tetap di sana, di dalam toples kaca, dibekap absolutivitas perasaan dan pemikirannya sendiri. Selamanya, sampai tuwek, sampai elek.

Di sisi lain, Anda pun niscaya tahu, di keluasan dunia ini, sejuta peristiwa terus terjadi. Lalu, bagaimana mungkin Anda akan bisa menangkap kelucuan-kelucuan dunia bila Anda tak pernah keluar dari toples kacamu, cangkangmu, kamarmu? Ah, saya berat sekali mengatakan analogi ini, kendati tetap harus saya ungkapkan memang biar Anda lebih jelas; situasi lalat dalam toples kaca itü sama persis dengan bagaimana mungkin Anda akan menemukan pasangan di luar sana bila Anda tak pernah keluar dari trayek harian yang itu-itu saja. Misal, kamar kost—kantor/kampus— kantin/warung—kamar kost. Begitu terus sampai tuwek, sampai elek.

Sungguh, benar-benar tak ada jalan lain bagi siapa pun yang gagal menemukan ketidaklucuan-ketidaklucuan hidup ini, selain keluar dari itü tadi. Menyempal dari trayek spanengannya. Keluar secara fisik (dolan) maupun pikiran (membaca). Lalu, sekarang hisablah diri kita dengan fair: adakah warna baru” dalam pikiran dan hati setelah melakukan hal-hal demikian dengan membandingkannya pada potret diri tahun-tahun lalu?

Tertawalah. Kini, Anda mendapati diri ternyata lebih lucu, bukan? Lebih mampu menahan diri dan nyantai dalam menyikapi apa pun yang hadir ke dalam kehidupan ini. Sebagai contoh, bila selama ini kita menganggap jilbab yang lebar mengurung tubuh adalah terbenar, kini kita mengerti bahwa apa yang kita pakai itü benar, tetapi model-model lain yang dipakai orang-orang lain yang tidak sama dengan kita sesungguhnya juga benar sepanjang telah memenuhi “inti ajaran” berjilbab itu. Anda nyaman dengan jilbab lebar, ya silakan, sembari mempersilakan orang-orang lain berbeda Style dengan Anda.

Jika dulu Anda menuding bakul nasi di bulan Ramadhan itu kawan-kawan setan yang tak menghormati bulan puasa, kini Anda mudah menemukan sudut pandang lain bahwa mereka sama sepertimu yang perlu uang ekstra untuk mudik dan disenangi kaum Hawa yang lagi menstruasi sehingga tak bisa berpuasa. Jika pun ada.

seorang sopir muda yang klepas-kelepus di warung itu, Anda akan lebih nyantai menatapnya sebagai muslim yang tidak bojoable. Kini, Anda jadi lebih luas untuk melek, bedanya lelaki muslim yang bojoable dan unbojoable. Inilah pentingnya hisab yang akan menghapus “ma taqaddama min dzanbihi itu (dosa-dosa yang telah berlalu). Kata “dzanbi (dosa) sangatlah terbuka untuk dilebarkan dari sekadar dosa-dosa ‘ubudiyah. Kegagalan mengintrospeksi diri akibat spanengan, galakan, merasa paling benar sendiri, jelas sangat kontekstual untuk ditempatkan sebagai bagian inheren dari “ma taqaddama min dzanbihi” itu.

Tentu, di sini, diperlukan pula sikap melek bahwa İslam memiliki dua pilar sekaligus, Iho: ‘ubudiyah (hubungan sama Allah Swt.) dan mu’amalah Hubungan sesama manusia, termasuk alam semesta). Kini coba hisab: berapa banyak orang yang telah Anda sakiti di masa lalü (ma taqaddama min dzanbihi) dengan nyinyiran, komenan, hingga share-an yang ngotot-spanengan? Jadi, masihkah kita enggan untuk tertawa, lucu, santai, dan melek atas keragaman perbedaan hidup ini?.

F. Nilai Kemanusian kita berdasarkan Kebenaran Imperatif dan Asosiatif
Di Alqur’an, ada ayat begini: “…yarfa’illahulladzina amanu minkurn walladzina utul filma darajat (… niscayaAllah akan meninggikan orang-orangyang beriman dan orang-orang yang herilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat….). (QS. al-Mujaadilah [581: 3). Gara-gara Afthonul Afif, pengarang Mengendalikan Masa Depan (2015), semalam kami mendiskusikan wacana “kebenaran imperatif versus kebenaran asosiatif”. Ringkasnya, kebenaran imperatif ialah sebuah keyakinan bahwa sesuatu itu benar dengan dilandaskan pada iman. Misal, keyakinan pada informasi dari ayat Alqur’an. Hanya saja, keyakinan ini dirasionalisasikan dengan pendekatan metodologis ilmiah, sehingga menjadi lebih hunjam lagi nilai kebenarannya untuk diyakini.

Di hadapannya, vis-a-vis, berdiri kebenaran asosiatif yang tidak berdasar pada imperasi dalam hati (iman begitu), dan sepenuhnya berbingkai pada nalar rasional. Keduanya sama-sama menerima nalar ilmiah; serang kaian metode akademik atau teoretik, Apa pun itu. Sekalipun sama-sama rasionalnya, keduanya sepenuhnya berbeda dalam aspek nilai dan orientasinya. Inilah yang sering saya scbut bedanya cendekiawan religius dan sekuler.

Nilai: rasionalisasi religius sepenuhnya berjuang menalar secara ilmiah sebuah hal demi mengukuhkan kebenaran nilai yang diyakininya selama ini, Misal, bagaimana penjelasan rasional tentang ayat disembelihnya Ismail oleh Nabi Ibrahim; bagaimana silaturahmi bekerja mem, perpanjang umur; dst., dlsb. Jadi, secara nilai, ia memiliki sandaran, lalu dijelaskan secara rasional, sehingga imannya bergerak maju. Bukan sekadar “ukhrawi, eskatologis, pokoknya percaya”, tetapi lebih hunjam di jiwa, sebab ditopang penjelasan logis yang kian membuatnya takjub pada keunggulan sakralitas ajaran tersebut. Di sinilah orientasi ilmu itu bergerak menjadi penopang keimanannya.

Adapun nalar asosiatif berusaha merasionalisasi sesuatu dalam penjelasan ilmiah murni belaka; tidak ada tumpuan transendental apa pun di dalamnya, sehingga ia akan terus-menerus melayang di ruang kosong. Persis, ia terus berwatak spekulatif. Sebab, tak ada impresi atau ultimasi di dalamnya. Sudah pasti, tak ada orientasi apa pun pula di sini, selain argumentasi nalar murni belaka. Paling banter, jika pun ada, berpusar pada kosmologi manusia an sich. Begitu terus. Misal. Orang sekuler ketika menalar tentang makan pada dini hari menyebutnya mengisi perut belaka untuk memenuhİ kebutuhan alat cerna tubuh. Agar sehat. Agar kuat. Begitu saja.

Bagi cendekiawan religius, makan di masa yang sama yang disebut sahur bukan cuma soal memenuhi alat cema tubuh, tetapi untuk berpuasa: sebuah ritual transendental yang secara logis berfungsi melakukan detok, penyehatan organ pencernaan, mengurangi mampatnya lemak jenuh di pembuluh darah, dan sebagainya. Secara rasional, ia bisa menjelaskan itü dengan baik. Secara nilai, hal itü bermuatan spiritual. Ada capaian humanistik dan spiritualistik sekaligus.

Sungguhlah beda pencapaian nalar kebenaran imperatif dan kebenaran asosiatif. Yang pertama memiliki kelebihan nilai dibanding yang kedua. Antara yang pastiimperatif dengan yang asosiatif-relatif tentü saja tak pernah sama pengaruhnya pada jagat pikir dan perilaku seseorang.

Saya sepenuhnya percaya secara rasional bahwa hidup ini memerlukan sakralisasi. Tanpa itu, hidup ini hanyalah cabikan kapas yang dihempaskan angin ke angkasa. Tanpa itu, manusia takkan memiliki orientasi hidup. Dan, hidup yang tidak memiliki orientasi adalah sekeping hidup yang amat tak layak untuk ditempuhi. Hidup yang, kata Socrates, tak layak diarungi lantaran tidak direnungi, dihayati, dan dipikirkan. Di sinilah letak kekejaman modernisme memberantakkan sakralitas dengan melulu mengarahkannya pada materialisme dan rasionalisme yang sungguhlah nisbi.

Inilah kiranya letak kebenaran ayat Allah Swt. tersebut tentang pentingnya menjadikan diri beriman dan sekaligus berilmu; yang dengan kedua Pilar itu akan mengantar kita selamat dari rongrongan materialismerasionalisme yang jelas-jelas hanya menyurukkan hidup kita dalam jurang kehampaan; lalu membawa kita ke level tinggi kecerdasan yang menguatkan iman dan amal dalam hidup ini. Adakah yang lebih berharga untuk di perjuangkan dalam hidup kita selain ketentraman jiwa?

G. Kesunyian Laut di dalam batin

“Mungkin kini kau paham,
bagi para lelaki pemurung sepertiku yang baginya cinta,
penderitaan, kebahagiaan, dan kepedihan
hanyalah alasan untuk memelihara kesunyian
abadi, kehidupan ini tidak menawarkan
kebahagiaan ataupun kesedihan yang luar biasa. “

Berkali-kali, halaman 440 dari novel Namaku Merah karya Orhan Pamuk ini saya baca, berkali-kali itü pula imajinasi saya terlesat bagai anak panah pada sosok Pangeran Gautama. Anda benar, Siddhartha Gautama-lah yang saya maksud, tepat saat ia tertegun menyaksikan tiga jenis penderitaan (tua, sakit, dan mati) di luar tiga istana megahnya (istana musim panas, musim dingin, dan musim hujan), yang ternyata (bisa) mendera manusia. Pangeran Gautama lantas meninggalkan semua “sangkar emas” yang selama ini dikungkungkan ayahandanya agar Ia tak pernah melihat penderitaan. Berkelana ke tempattempat jauh; pelosok desa, ngarai, sungai, laut, lembah, dan hutan. Untuk melayari “kesunyian laut di dalam batin” apa arti hidup ini….

Setelah puluhan tabun berkelana, ia disinari “pencerahan” di bawah pohon Bodhi, lalu mengajarkan nasihat kasunyatan Buddhisme yang hingga kini diamini oleh jutaan manusia dari berbagai belahan dunia. Teramat acap memang, dalam graflk yang sama sekali tak lagi sanggup dipermanai, segala apa yang kita definisikan “kehidupan” justru mencerabut inti tujuan kehidupan itu sendiri. Para bijak bestari lantas memiIahnya dengan kata-kata ajaib yang dicoba-ramu semanis syair-syair M. Aan Mansyur di buku Melihat Api Bekerja, seperti “Engkau adalah impianmu, maka bermimpilah setinggi-tingginya.”

Tak ada yang silap dengan kata-kata ajaib nan bestari itu. Di jagat modernisme yang sangat bising dan gegas ini, kelindan-kelindan impian, resolusi, dan target hidup telah tertabalkan sebagai “proyeksi masa depan” (dalam bahasa Martin Heidegger), sejenis “pemaknaan atas tujuan hidup”, sehingga Anda akan distempel ganjil bila tak seturut shafnya. Bagaimana mungkin kita mengaliri hari-hari yang mengalir tanpa keinginan? Tetapi, mohon rehat sejenak, jika tidak ke lautan, hendak kemanakah aliran hari-hari penuh keinginan itu dimuarakan?

Seorang kawan berbisik bahwa ia telah “membasuh hidup” dengan cara mengendarai motor dari Lombok hingga Titik Nol, Sabang, Ia berkisah tentang nikmatnya kopi Gayo”, derita gepanjang hayat para penyeberang akibat pungli petugas-petugas pelabuhan, hingga orangorang daerah yang murah hati menyuguhinya kamar tidur tanpa pungutan sepeser pun. “Uang dalam hidup beberapa orang bukan lagi uang,” ujarnya dengan mata berkabut.

Saya tertunduk, malu, semoga pula Anda, Ia memungkasi kisahnya dengan sitir yang lebih dalam melukai bebal: “Aku sungguh-sungguh ingin berduka pada diri sendiri, tetapi tak mampu.” Betullah Pamuk di sini, betapa menakutkannya menjadi seseorang yang berhati batu.

Hati batu. Ini biangnya! Pangeran Gautama menjadikan “tua, sakit, dan mati” sebagai titik sipapas penanggalan “hati batu” yang puluhan tahun dirawat kemewahan istana-istana ayahandanya. Tokoh “aku” dalam novel Pamuk, yang saya kutip di awal, “memelihara kesunyian abadi” sebagai pemecah “hati batu” yang dinamai Cinta, penderitaan, kebahagiaan, dan kepedihan. Kawan saya itu menjadikan “ritual naik motor” dalam bentang jarak yang tak masuk akal, yang disebutnya “membasuh hidup”, sebagai pemecah “hati batu”.

Setiap kita, secara eksistensial, tak terperi menghausi “ritual-ritual” pemecah hati batu itu. Soal bentuk ritualnya, tentu tak tepermanai maujudnya; tetapi hakikatnya adalah semata kesunyatan, Siddhartha Gautama, usai mendapatkan pencerahan di bawah pohon Bodhi, menyebutnya “kesunyian laut di dalam batin” Bahwa jagat modern yang membelenggu hidup kita kini sangatlah lesat dan berisik, Yang setia bermurah hati memasungkan jiwa tergesa dan berkekurangan, itulah fakta-fakta paling jumawa penahbis kematian kasunyatan di dalam “laut batin” kita.

Hidup yang selalu beriuh dan bergegas, muhallah mengkuasakan sejenak waktu berteduh dan berhenti agar sempat membatin. Berpuluh tahun lamanya kita biarkan pasungan batin itu, padahal kita sepenuh mafhum bahwa sejak detik itu jugalah kita tidak lagi sepenuh manusia. Manusia yang tak sepenuh manusia, menukil George Orwell, tidaklah lebih afdhal daripada binatang yang tidaklah lebih binatang daripada yang selainnya.

Jika Anda percaya kesahihan agama, mari ingat-ingat sejenak wejangan Nabi Agung, Muhammad Saw., di sini ribuan tahun silam bahwa pada diri manusia terdapat “segumpal daging”; bila ia baik maka baiklah seluruh hidup kita dan bila buruk maka buruklah seluruh hidup kita. “Segumpal daging” itu adalah hati. Sabda Nabi itu menjadi garansi primordial bahwa setiap kita memiliki hati, tetapi siapakah di antara kita yang sepenuhnya menggunakannya dengan cara merawat “kesunyian laut”?

Derasnya keinginan-keinginan selalu menjadi iblis asali “kesunyian laut” semua kita. Siddhartha Gautama tulen benar menggariskan betapa keinginan merupakan hati sumber penderitaan. Tentu saja, tak peduli apa pun tulah pangkatnya, semua kita berantidot pada tabungan hasrat patan derita. Tetapi, faktanya, siapakah di antara kita yang ‘riuh benar-benar sanggup mengusir berahi keinginan bertahta di lubuk hati?

Hanya “kesunyian laut di dalam batin” perisai terbaiknya. Ini sama sekali bukan pelajaran enggan bekerja, berkarier, dan bercita-cita. Ini sepenuhnya tentang menghidupi “aku yang batin” di hadapan meja modernisme “aku yang materi”.

Bertahun-tahun, sejak kanak, kita dibentuk oleh keberisikan dan ketergesaan tiada tara jagat materialisme gat ini, sehingga “aku yang batin” tersingkirkan dari hidup kita, dikangkangi “aku yang materi”. Doktrin “aku berpikir maka aku ada” sangat badai meremukkan “aku membatin maka aku ada”. Risikonya telah kita panen bertubi-tubi: terasing dari refleksi, kontemplasi, dan pemaknaan setekun air mengukir batu. Hati nurani hanya termiliki, tanpa terpakai. Memburailah segala tamsil keinginan, menghamburlah segala tamsil penderitaan. Hidup menjadi sunyi dari kasunyatan.

Penulis : Muhammad Ardhony (KKN DR 81 UINSU 2020)

- Advertisement -

Berita Terkini