Menyingkap Makna Dibalik Wanita Bercadar

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Saya sempat berfikir saat membaca sebuah postingan postingan di sosial media atau mungkin gosip lebih tepatnya. Seorang teman membagikan postingan tersebut dan mungkin sudah di-share oleh ratusan orang di berbagai media sosial. Saya tidak perlu menyebutkan nama akun sosial medianya disini.

Diberitakan, sang suami yang memergoki istri sedang tanpa busana berdua dengan laki-laki lain. Sebenarnya itu hal yang umum dalam pemberitaan dan hal “lumrah” juga terjadi di sekitar kita. Yang terbenak pikiran saya bukan soal selingkuhnya, tetapi dalam berita itu yang ditonjolkan adalah soal wanita yang mengenakan cadar yang menyimbolkan budaya arab. Dengan bahasa yang prontal dan terkesan menyindir simbol cadar yang perilakunya tak pantas.

Pikiranku mengingatkan mata kuliah Filsafat Teori tentang simbol, identitas, interaksionisme simbolik, dekonstruksi, diskursus sampai teori kekerasan simbolik. Aahh, tapi lupa persisnya seperti apa teori-teori itu. Yang pasti, saat baca postingan-postingan itu, yang saya tangkap, ada simbol “cadar” yang dimaknai sebagai identitas muslimah arab dengan predikat yang taat menskingkronkan sikap dan perilaku dan taat kepada ajaran agamanya.

Terlebih lagi, ditulis bahwa oknum perempuan itu bercadar. Disini terlihat kesan ingin menelanjangi simbol “cadar ” sebagai identitas “muslimah” yang ternyata berperilaku bejat. Boleh dibilang, ada kekerasan simbolik dalam frame artikel atau postingan itu yang seolah ingin menuduh islami pun bisa bejat. Tak lupa ditampilkan postingan media sosial sang oknum yang selalu menulis tentang hal-hal ajaran Islam, bahasa sederhananya “postingan relijius”.

Ada upaya dekonstruksi atau membongkar makna bahwa perempuan bercadar belum tentu baik perilakunya. Ada yang bilang bahwa sebenarnya jilbab/cadar dan akhlak itu sesuatu yang berbeda. Tapi biarlah itu ranahnya para ulama untuk membenar-salahkan dengan dalil-dalil. Saya hanya ingin mengomentari soal simbol dan identitas yang ditampilkan.

Kita kembali dulu pada masa beberapa dekade ke belakang. Saat cadar masih menjadi sesuatu yang eksklusif dan seolah menjadi simbol perempuan yang berbudaya arab. Bahkan sempat ada pandangan, orang bercadar adalah orang yang fanatik dalam berislam. Sampai pemerintah melarang perempuan mengenakan cadar di instansi-instansi pemerintah.

Bahkan dikalangan masyarakat, cadar dianggap rasisme/terosime. Seiring berjalannya waktu, simbol cadar pun diidentikkan dengan orang yang pemahaman dan ketaatan agama Islam yang khafah atau keyakinan yang sebenar-benarnya. Kalau umumnya perempuan tidak bercada, maka orang yang bercadar dianggap antimainstream, diluar kebiasaan umum.

Konstruksi Makna Cadar

Bagaimana makna cadar dikonstruksi/dibentuk/dibangun dan berkembang sampai saat ini? Simbol cadar dikonstruksikan sedemikian rupa lewat interaksi sosial, bahkan diperkuat dan dilanggengkan dengan kebijakan-kebijakan sampai muncul “kesepakatan bersama” seperti itu. Lambat laun, saat pemerintahan otoriter tumbang, stigma cadar sebagai Islam fanatik mulai pudar. Bahkan kampanye soal cadar mulai muncul diawali dari kampus-kampus bahkan dosen di berbagai universitas melarang pemakaian cadar pada saat berlangsungnya jam mata kuliah.

Kalau tidak salah ingat, kampanye soal cadar mulai heboh sekitar tahun 2015 dari masjid-masjid kampus. Sedikit demi sedikit mulai ada “negosiasi” makna cadar, atau malah boleh dibilang rekonstruksi makna dari Islam fanatik menjadi hanya Islam dan mereka berargument bahwa cadar bukanlah teroris. Dengan perubahan makna ini memungkinkan kaum hawa yang beragama Islam mulai memberanikan diri mengenakan cadar.

Tetapi tetap saja bercadar masih menjadi simbol wanita Islam yang taat. Sehingga orang yang mengenakannya biasanya benar-benar sudah yakin dan telah melalui proses “pembersihan” diri dari sifat dan sikap tercela. Banyak diantara kaum hawa yang enggan bercadar lantaran menganggap dirinya masih kotor.

Sebenarnya makna cadar sebagai identitas muslimah yang taat dan terpuji laku pikirnya, jauh lebih baik ketimbang di negara asal kelahirannya, Timur Tengah sana. Cadar, bagi masyarakat Indonesia jauh lebih mulia dan terhormat. Sampai-sampai tidak semua perempuan Islam berani mengenakannya, karena dianggap terlalu suci.

Dekonstruksi makna kiasan

Makin lama, simbol cadar itu pun mengalami pergeseran makna yang tentunya melalui proses “negosiasi sosial”. Dekade belakangan ini sepertinya simbol cadar didekonstruksi sedemikian rupa. Dalam waktu cepat, cadar yang dulunya dianggap suci berubah menjadi trend mode atau gaya hidup perempuan.

Dampak positifnya, cadar mulai banyak dipakai berbagai kalangan, tak terkecuali juga anak-anak. cadar yang dulu dianggap antimainstream, justru sekarang menjadi mainstream kaum hawa masa kini. Tak peduli apa latar belakangnya, apa pekerjaannya, bagaimana perilaku kesehariannya, cadar menjadi sesuatu yang jauh dan berbeda dari itu.

Cadar mulai dimanfaatkan sebagai bisnis fashion. Jangan-jangan, malah kepentingan bisnis inilah yang menjadi dalang dekonstruksi makna dari simbol “muslimah taat” menjadi sekedar “pakaian” atau “aksesoris gaya hidup”. Ada yang menyebut dengan sinis kondisi ini sebagai bagian dari kapitalisme religius.

Karena perubahan makna ini pun, muncul istilah baru, “cadar” dan “cadar style”. Cadar, dalam perbincangan di media sosial dimaknai secara positif. Sedangkan cadar style memperoleh stigma negatif, yaitu bagi mereka yang berjilbab hanya untuk tampil modis.

Bahkan terkadang penjelasan untuk istilah ini, “atas ditutup, bawah dipamerkan dan berjoiget joget di tiktok bahkan lebih parahnya lagi orang yang mengenakan cadar hanya untuk style mengunggah postingan postingan yang tak layak untuk din publikasikan”. Entahlah.

Kembali pada kasus berita perempuan bercadar yang selingkuh. Mungkin oknum ini pun memiliki prinsip antimainstream dan juga sekaligus ingin menegaskan bahwa simbol cadar, bahkan cadar yang identik dengan muslimah taat kembali didekonstruksi. Seolah dia ingin berkata, “jangan percaya pada cadarku, pada postingan religius di media sosialku, karena aku juga manusia yang bisa khilaf dan mempunyai nafsu”. Itu hanya imajinasi liar saya saja.

Terlepas dari itu, jika melihat fakta kekinian, bahwa cadar sudah menjadi trend mode atau gaya hidup, seharusnya persoalan kasus asusila dan perselingkuhan yang dilakukan perempuan bercadar juga adalah kasus “wajar” dan “biasa”. Tak perlu begitu sinis memojokkan agama tertentu dengan simbol cadarnya. Simbol dan maknanya itu terbentuk karena interaksi dan kesepakatan kita bersama. Semua terserah ingin memaknai seperti apa. Begitulah kira-kira.

Penulis : Muhammad Robby (Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum)

- Advertisement -

Berita Terkini