Agama dan Spritualitas

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM –

Oleh : Hasanuddin
(Ketua Umum PB HMI 2003-2005)

Catatan berikut ini tidak kami tujukan kepada seseorang, atau suatu kaum tertentu, namun lebih kepada fenomena-fenomena keberagamaan yang kita dapat saksikan dalam keseharian.

Naluri untuk memperoleh kebahagiaan melalui jalan agama bersifat universal, even hal itu di kalangan mereka yang menyebut diri sebagai agnostik, ataupun atheistik, sesungguhnya juga memiliki naluri keberagamaan. Hanya saja, derajat keberagamaan yang berbeda. Derajat keberagamaan itu ditandai melalui istilah-istilah seperti kafir (ingkar kepada suatu ajaran agama yang pernah diketahuinya) munafiq mengakui tetapi tidak menjalankannya, fasik bersifat oportunis dalam beragama, murtad meninggalkan satu ajaran dan berpindah kepada ajaran yang lain dan beriman, mempercayai dan menjalankan suatu ajaran agama.

Pada kesempatan ini, kami akan fokus pada satu aspek dari fenomena keberagamaan manusia modern, yakni kecenderungan untuk mengejar dimensi spritualitas, tanpa keinginan untuk terikat kepada salah satu sistem kepercayaan tertentu, atau salah satu agama.

Spritualitas modern memfokuskan pencarian makna kebahagiaan menurut selera masing-masing. Dasar kebahagiaan ditempatkan pada kebebasan individu, tanpa adanya keharusan mengikuti apa yang dianjurkan oleh kitab suci atau para pembawa pesan Ilahi, atau yang kita sebut sebagai nabi dan rasul. Sebab itu, ciri umum dari gejala spritualitas modern adalah keengganan mereka melaksanakan syariat dari suatu ajaran agama.

Pencatatan nomenklatur agama pada kartu identitas, semata karena memenuhi ketentuan administratif yang ditekankan pada suatu negara dimana mereka bermukim, dan mereka sama sekali tidak mempersoalkan jika indentitas tersebut dihapus atau tetap diberlakukan. Bagi mereka hal seperti itu tidak memiliki pengaruh spritual atas diri mereka. Demikian halnya dengan aneka aspek syimbolisme yang seringkali digunakan para pemeluk agama tertentu, bagi mereka itu sama sekali tidak memiliki relevansi dengan apa yang mereka maksud sebagai kehidupan spritual.

Lebih khusus pada level tertentu, banyak para pencari kebutuhan spritual, menerima sejumlah ajaran-ajaran nilai yang memiliki makna penting atau merupakan inti dari ajaran suatu agama, misalnya ajaran tentang kesetaraan, keadilan, kasih sayang terhadap sesama, derma, dan lain-lain yang besar manfaatnya bagi kehidupan sosial, namun menurut mereka hal-hal itu relevan bagi kehidupan bukan karena diajarkan oleh kitab suci, atau karena diperintahkan Tuhan seperti yang diyakini pemeluk agama yang taat, namun semua itu menurut mereka semata karena dalam hal-hal yang demikian tersebut, sesuai dengan keinginan setiap manusia. Humanisme dengan demikian, memiliki signifikansi makna yang tinggi bagi kalangan penganut spritualitas tanpa ikatan suatu agama.

Kebanyakan para penganut spritualitas modern itu muncul dari kalangan “terpelajar” dalam arti memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Mereka muncul dari kalangan biologist, virologist, fisikawan quantum, teknokrat, kalangan the have, orang-orang yang pemenuhan kebutuhan pokoknya telah terlampaui. Mereka sangat percaya kepada kebenaran ilmu pengetahuan berdasarkan kerangka pemikiran ilmiah dan pengalaman observasi. Mereka percaya bahwa tidak ada tuhan, sebagaimana yang diceritakan oleh kitab-kitab suci, disebabkan karena tidak adanya variable ilmu pengetahuan yang dapat mengukur secara pasti keberadaan tuhan itu.

Sebagian lagi muncul dari kalangan orang yang beragama, lalu memasuki dunia sufistik, dan di dalam pencariannya mereka merasa telah sampai pada puncak perjalanan (menurut pikiran mereka), lalu sampailah mereka pada tingkat apa yang disebut sebagai realitas cinta. Ketika mereka merasa telah sampai kepada Tuhan, mereka berpendapat hukum-hukum formal agama atau syariat tidak lagi penting artinya, karena mereka mengira atau hanya menjadikan syariat itu seperti jembatan penyeberangan, yang jika telah dilalui fungsinya telah selesai. Melalui cara berpikir demikian, mereka berpendapat sudah cukup dengan cinta dan kebersamaan dengan Tuhan saja. Tidak perlu lagi syariat, tidak perlu lagi ritual keagamaan.

Sejak dulu, hingga dewasa ini fenomena kehidupan spritualitas seperti di atas selalu dapat ditemukan dalam berbagai masyarakat.

Tentu saja kita tidak dapat menjustifikasi atau membenarkan dan sebaliknya tidak berwenang menghukumi prilaku seperti diatas itu sebagai sesat, atau menyimpang.

Yang dapat kita lakukan adalah melakukan perbandingan, dengan bertanya; apakah sikap seperti itu dicontohkan para nabi dan rasul? Kenapa mesti dikembalikan kepada prilaku nabi dan rasul sebagai tolak ukur penilaia? Karena memang para nabi dan rasul itu fungsinya demikian, agar menjadi suri tauladan, atau contoh bagi kita dalam hal-hal yang terkait dengan utusan agama dan kehidupan spritual.

Sehebat dan setinggi apapaun pengetahuan manusia awam terhadap realitas ketuhanan, sedalam apapun perasaan religiusitas atau sehebat apapun pelaksanaan syariat, dan ritualitas kegamaan kita, pastilah belum menyamai para nabi dan rasul itu. Dan sedekat apapun klaim kita akan kedekatan dengan Tuhan, pastilah para nabi dan rasul itu tetap lebih dekat kepada Tuhan.

Pertanyaannya, apakah dalam kehidupan para nabi dan rasul itu, terdapat bukti bahwa kedekatan mereka kepada Tuhan, lantas membuat mereka mengambil tindakan meninggalkan syariat, atau berhenti melakukan ribuat peribadatan? Jawabannya tentu tidak demikian. Para nabi dan rasul yang setiap nafas kehidupannya senantiasa dalam panduan Tuhan, tetap menjalankan peribadatan sebagaimana yang diajarkan dalam kitab suci, atau dalam Alquran. Kehebatan spritualitas mereka, ketinggian humanitas yang berimplikasi kepada kasih dan sayang terhadap sesama, maupun kedalaman cinta mereka kepada Tuhan, sama sekali tidak membuat mereka meninggalkan shalat, puasa, zakat, maupun haji.

Dengan melihat kepada pola kehidupan spritualitas keagamaan para nabi dan rasul, dapat kita simpulkan bahwa, mengejar spritualitas semata, dan mengabaikan dimensi syariat, dimensi ritual, bukanlah hal yang dicontohkan para nabi dan rasul-Nya. Tentu telah kita ketahui bersama bahwa ketaatan kepada Allah, ditunjukkan dengan menaati para nabi dan rasul-Nya. Dan dengan demikian, mereka yang tidak menaati para nabi dan rasul-Nya, pastilah sebenarnya jauh dari ketaatan kepada Allah Swt.

Kita tentu mesti senantiasa menambah pengetahuan, memperluas wawasan dan cakrawala kehidupan, tanpa harus meninggalkan hal-hal prinsipil dalam kehidupan.

Semoga bermanfaat bagi kami dan bagi semua yang membacanya.

Depok, Senin (27/7/2020).

- Advertisement -

Berita Terkini