Keterbatasan Buatan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Ijinkan saya menulis tentang konsep pendidikan untuk anak-anak yang kita sayang, tepat di hari peringatan anak nasional.

Sebenarnya tulisan ini breakdown saja dari konsep GOOD TIME –> WEAK MEN, HARD TIME –> STRONG MEN milik Prof Muchlas Samani. Saya hanya menambahkan sedikit pembahasan dari pengalaman pribadi. Jika Prof Muchlas Samani mengatakan bahwa siklus personality manusia itu terdiri dari HARD TIME – STRONG MEN – GOOD TIME – WEAK MEN dimana sebagian orang yang berada di fase GOOD TIME akan menghasilkan WEAK MEN. Maka tugas kita belajar untuk memutus mata rantai itu. Dengan cara: memberikan keterbatasan, sehingga anak-anak merasakan fase pseudo-HARD.

Begini. Fase hard ini penting. Karena fase inilah yang membuat kepompong mampu melebarkan sayap menjadi kupu-kupu tangguh.

Pernahkah anda melihat orang dewasa yang egois parah? Maunya menang sendiri dan semua orang harus mengalah? Biasanya orang seperti ini biang masalah. Bahkan sekitarnya seringkali gerah menahan amarah.

Di sisi satunya, pernahkah anda melihat orang yang pesimis parah, sehingga seolah hidup di matanya tak pernah indah? Bahkan kadangkala ia ingin mengakhiri hidup dengan mudah, karena merasa semua tak penting untuk bertahan di dunia yang baginya penuh masalah.

Ya. Manusia memang makhluk unik. Ada jiwa, rasa, dan karsa di dalam diri kita. Ada ruh, nyawa, dan nafsu angkara bersemayam di dalam dada.

Lalu. Bagaimana cara mendidik manusia, dalam hal ini anak-anak kita, agar tumbuh menjadi pribadi normal, bahkan kalau bisa bersinar?

Saya ingin sekali tentu saja mereka tegar dan tangguh menghadapi kehidupan. Karena jujur, kadang saya ketakutan sendiri atas pendidikan mereka yang kini ada di pundak kami.

Jika saya dan suami secara alami dididik oleh kehidupan yang keras dan perekonomian melas, maka kondisi ini berbeda dengan anak-anak. Mereka hanya melihat abi umminya punya atm, ada isinya, kalau perlu tinggal ambil saja. Dll.

Saya takut, itu racun untuk mereka. Sampai suatu ketika kehidupan kembali memberikan saya pelajaran yang sangat berharga.

Saya punya adek kelas S2. Hubungan kami cukup erat. Waktu awal saya kenal, ia belum kerudungan. Sekarang alhamdulillah ia sudah berkerudung panjang.

Ayahnya pegawai tinggi bumn. Ibunya dulu juga di kantor yang sama. Tapi kemudin resign.

Anaknya ini beneran low profile! Mana pinter banget. Kami kenal gara-gara Profesor kami pergi ke luar negeri 4 bulan, dan saya dipasangkan sama ybs untuk menggantikan pak Prof ngajar. Panggil saja namanya Melati.

“Mel. Boleh tanya?”

“Boleh lah mbak….”

“Dulu, ayah ibumu gimana sih caranya mendidik kamu?”

Dia tertawa. Mungkin pertanyaan saya lucu. Tapi tidak bagi saya. Selalu tertarik dengan orang kaya tapi rendah hati. Pintar tapi tak tinggi hati. Dan kecukupan tapi santai menjalani hidup ini. Saya tahu persis ia kaya sekali. Tapi ia biasa aja di mata kawan-kawannya dan saya selama ini.

“Maksudnya?”

“Hehe, gini. Posisi ortumu dan aku kini senada. Walaupun aku gak sekaya ortumu tentu saja. Tapi aku takut, kalau bentuk pendidikanku ke mereka membuat mereka manja dan memudahkan kehidupan. Dan kulihat kamu produk berhasil dengan kondisi ekonomi yang mapan begini.”

“Hmm… Yang kulihat, mbak udah bener sih ngasuhnya. Ada batasan. Ada penolakan. Gak semua yang mereka mau mbak kabulkan.”

“Nah. Itu. Itu yang mau kutanyakan. Bagaimana perasaanmu ketika tahu bahwa sebenernya ortumu mampu, tapi tak memberimu semua yang dimau. Apa gak sakit hati? Atau dendam gitu?”

Melati terbahak-bahak.

“Gak sih. Jadi duluuu, pas aku masih kecil mana paham kalau ortuku ada kan. Aku tahunya makan dan mainan. Mana paham anak kecil tentang kekayaan. Inget banget aku mbak. Suatu saat… tetangga-tetangga main boneka. Aku sendiri yang gak punya boneka seperti milik mereka. Aku merengek sama ibu. Ibu cuma jawab: nanti, kalau ada rizki.”

“Lha itu, kadang kalau nolak takut bohong kan jatuhnya.”

“Gak bohong donk mbak. Kan mbak gak bilang gak uang. Bilangnya belum ada rizki. Artinya, kita memang ada uang, tapi belum rizki mereka buat beli mainan. Gak bohong itu menurutku.”

Saya manggut-manggut.

“Dulu, aku merasa sedih. Suka kutagih ibu: kapan bapak rizki? Dijawab ibu: sabar, nanti. Berdoa juga biar Allah kasih rizki. Gituuu terus. Ya dibelikan sih akhirnya, tapi setelah beberapa bulan. Bahkan kadang pemberiannya dijadikan hadiah atas prestasiku di sekolahan. Sampai aku udah SMP SMA beliau berdua polanya sama. Intinya tak semua yang kuinginkan mereka kabulkan dalam sekejap. Ada jeda. Ada delay untuk mengajarkanku makna bersabar dan pengertian.”

Wih keren. Saya menyimak.

“Dan lambat laun aku paham, yang mereka lakukan demi kebaikan. Sekarang juga, adekku yang SMA masih belum dibelikan laptop. Masih pinjam punyaku. Rencanaku mau kukasihkan ini, aku mau beli lagi pake uangku sendiri.”

Saya lanjutkan dialog dengannya kala itu. Karena bagi saya ilmunya sangat bermutu.

Kawan. Pembaca budiman.

Bagaimana dengan kita? Masihkan menganggap bahwa kasih sayang itu bentuknya adalah pengabulan atas semua permintaan mereka?

Salah besar!

Pengabulan demi pengabulan pinta tanpa jeda, hanya akan membuat mereka punya pemahaman dan pola pikir instan: bahwa semua hal di dunia ini harus bisa mengabulkan apa yang mereka ingini. Harus!

Jika kecil, orangtua dan keluarga sekitar yang bertugas mengabulkan. Maka ketika besar, mereka mulai menuntut teman. Bahkan di dunia kerja, mereka menuntut kawan mengerti dan memberi pemakluman.

Jika kemudian dunia tak mengabulkan, ada dua muara: mereka memaksa, atau kemudian mereka putus asa.

Pahamkan risikonya?

Maka mari, berikan batasan. Katakan tidak, untuk mengajarkan mereka memangkas keinginan. Jangan biarkan nafsu mereka liar, sehingga menguasai kepribadian hingga mereka besar.

Karena keterbatasan akan mengajarkan anak-anak ketegaran, sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi pengertian serta tangguh di masa depan. Ketika tak semua harap sesuai kenyataan, di situlah mereka belajar bagaimana memanajemen perasaan. Mari, ajarkan keterbatasan, demi mereka yang kita sayang.

Walaupun bisa jadi memang ada, jangan ragu memberikan keterbatasan buatan. Dan jika kita betul-betul tak ada, bersyukurlah, karena justru kita tak perlu pencitraan.

Mari berbenah. Mari perbaiki pola pendidikan. Mari tata langkah. Demi masa depan anak yang tangguh dan membanggakan orangtua.

Qurrota a’yun adalah harapan dan doa kita semua. Semoga Allah berkenan mengabulkannya.

Surabaya, (23/7/2019).
Aina Nainawa.

Ditulis di hari anak nasional. Bukan berarti saya dan suami sudah sempurna dalam memberikan pendidikan. Menulis adalah sarana mengendapkan ilmu, dan mengajak pada kebaikan bagi yang mau.

Penulis adalah Aina Nainawa

- Advertisement -

Berita Terkini