Keluarga Ku : Penyemangat Perjuangan Ku

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sebut saja nama ku Kiky. Aku lahir pada tanggal 9 April 1987. Memasuki usia ku yang ke dua puluh dua tahun, aku menikah dan kini telah mempunyai dua buah hati, tepatnya sepasang buah hati. Anak pertama ku adalah seorang putri, putri kecil tercantik yang pernah aku punya, dan anak ke dua ku seorang putra yang menurutku sangat tampan. Aku menikah pada pertengahan tahun 2009 yaitu 20 Mei 2009. Bersuamikan seorang sarjana S1 UIN SU jurusan Bahasa Arab yang sempat terlebih dahulu mengenyam pendidikan agama selama 6 tahun di pesantren, membuat aku sedikit minder. Aku yang hanya lulusan SMK jurusan Akuntansi dan pendidikan agamaku pun sangat sangat kurang dibandingkan dia. Itu sebabnya dia bagaikan ustaz gratis ku dirumah yang tidak perlu ongkos untuk meminta tausiahnya. Dan dengan sabar ia menjawab semua pertanyaanku disaat aku bertanya seputar agama dan kegiatannya pada saat kuliah dulu. Mendengar ceritanya tentang masa kuliah, aku kembali bersedih, padahal sudah bertahun-tahun aku menyimpan rasa itu.

Aku anak pertama yang terlahir dari keluarga yang kurang mampu, ayahku hanya seorang buruh harian lepas di suatu perusahaan yang tidak begitu besar dan hanya diberi gaji Rp. 500.000,- perbulan. Hal ini membuat aku tidak bisa kuliah seperti suamiku. Disaat aku lulus SMK, ayah ku menangis sewaktu aku mengutarakan keinginanku untuk kuliah, karena beliau tidak sanggup dengan biayanya. Dengan keadaan ekonomi yang sangat terbatas, aku tidak bisa selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Orang tua ku mengajarkan ku, jika kita menginginkan sesuatu, maka kita harus berusaha terlebih dahulu, bukan tinggal minta pada orang tua. Mungkin hal ini yang membuat aku menjadi seorang anak yang tidak manja. Namun untuk berkuliah, aku merasa diriku juga tidak mampu mengusahakannya. Karena, pada masa itu universitas yang paling dekat dari rumah ku adalah di kota Medan yang menempuh jarak lebih dari 100 Km. Sungguh mustahil jika harus pulang pergi dalam sehari. Jumlah biaya yang diperhitungkan memang sangat besar, mulai dari kos, makan, ongkos, belum lagi uang kuliah dan segala tugas-tugasnya nanti. Sementara aku buta untuk melihat akses mendapatkan beasiswa walaupun pada masa aku SMK dulu, rangking yang aku peroleh tidak pernah keluar dari tiga besar.

Aku juga di ajarkan prinsip “bahwa apapun yang bisa kita lakukan sendiri, maka jangan sesekali berharap pada orang lain untuk melakukannya”. Maka dari itu, inilah yang aku lakukan agar aku bisa melanjutkan sekolah ku, tanpa harus sepenuhnya berharap pada orang tua ku. Pada saat aku sekolah SD dan sudah bisa mengenal uang, tepatnya di bangku kelas tiga, aku berjualan kue, keripik, kacang goreng, es mambo, termasuk hasil kebun nenek ku, seperti buah sawo dan rambutan. Hal ini aku lakukan untuk membantu orang tua ku memenuhi biaya pendidikan ku dan juga dua orang adikku. Sebagian juga aku berikan pada nenek ku, walau beliau menolak, tapi aku tetap menyisihkan untuknya, hanya sekedar untuk membeli gula agar beliau bisa membuat teh manis.

Alhamdulillah dengan hasil berjualan aku bisa membantu orang tuaku dalam membayar uang sekolah, membeli buku ku serta adik-adik ku. Maklum…, dulukan belum ada Dana BOS, jadi sekolah masih bayar. Hal ini terus berlanjut hingga aku bersekolah di tingkat SMP, walaupun SMP ku ini berstatus Negeri, namun tetap saja tidak gratis.

Bahkan biayanya lebih besar, untung saja pada waktu SD aku juga menabung, jadi untuk uang pendaftaran, uang bangunan dan segala embel-embelnya bisa aku lunasi. Aku tetap berjualan kue dan es mambo pada saat aku bersekolah dibangku SMP. Tapi untuk hasil kebun nenek ku, aku tidak dapat lagi menjualnya, karena nenekku telah menjual kebunnya kepada orang lain.

Aku senang berjualan kue, karena aku bisa membantu orang tua ku membiayai sekolah kami. Walaupun aku sempat di musuhi oleh ibu-ibu yang berjualan di kantin sekolah, tapi aku tidak menyerah. Aku berprinsip, “Aku mau dan tetap harus sekolah, walaupun orang tuaku kurang mampu, tapi aku akan terus berusaha membantu mereka, yang kulakukan juga demi adik-adik ku, aku tidak mencuri, aku tidak merampok kenapa harus takut. Rezeki sudah di atur oleh Allah”. Inilah prinsip yang aku pegang kuat agar aku tetap tegar dan semangat walau dimusuhi orang. Ibu-ibu kantin juga sempat menegurku,

Heh, ngapain kamu jualan? Gara-gara kamu jualan, anak-anak malas jalan ke kantin.”
Karena aku membawa daganganku kedalam kelas, namun tidak aku jual selama jam pelajaran masih berlangsung melainkan pada waktu jam istirahat.
Menanggapi pertanyaan itu aku hanya bisa menjawab,
“Saya jualan untuk bayar uang sekolah buk…, bukan untuk bersaing dengan ibuk…?”
“Besok-besok jangan jualan lagi ya? Awas aja kalau masih jualan.” Salah satu ibu dikantin mengancam.Sepulang sekolah, hal ini pun aku sampaikan pada ibu ku dengan penuh rasa sedih.
“ Mak, kakak tadi kena marah sama ibuk-ibuk yang jualan dikantin… Katanya kakak tidak boleh jualan lagi di sekolah… Jadi bagaimana kakak mau bayar uang sekolah?”
Lalu ibu ku menjawab,
“Kak, kakak tidak usah takut sama ibuk kantin, kakak kan tidak mencuri. Coba kakak tanya sama guru kakak di sekolah, masih boleh apa tidak kakak jualan disekolah?” Ibu ku menyemangatiku.
“Kak, kakak anak paling besar, kakaklah yang harus membantu mamak sama bapak untuk membantu adik-adik supaya bisa terus sekolah, adik masih kecil, belum bisa bantu bapak…” Ayahku mengharapkan kekuatan hati dan mengingatkan tanggung jawab ku.
“Iya pak… kakak yakin kakak pasti bia menghadapi kondisi ini” Aku pun bersemangat kembali.

Keesokan harinya aku tetap membawa barang daganganku, seperti biasa, ada pisang goreng, bakwan, tahu isi, tempe goreng, kue apam dan es mambo. Dengan menaiki sepeda butut warisan nenek ku, aku mengayuhnya dengan semangat agar tidak terlambat sampai disekolah. Panas matahari pagi membuat baju seragam putih ku menjadi basah oleh keringat. Sesampainya disekolah, sepeda aku parkirkan dihalaman belakang sekolah, lalu aku berjalan melewati kantin yang biasa aku lewati karena sudah tidak ada jalan lain, kecuali berputar dari arah depan yang harus mengelilingi pagar sepanjang lebih kurang 300 M. Melihat raut wajah ibu kantin yang tidak sedap dipandang mata, aku hanya bisa tertunduk tidak berani menatap apa lagi senyum. Sesampainya dikelas, aku menaruh barang daganganku disamping kursi belajar, aku pun pergi ke kantor untuk menemui wali kelas ku. Lalu aku bertanya pada beliau,
“Tok,tok,tok”. Aku mengetuk pintu.

“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…, masuk Milda.” Ibu Safana, wali kelas ku yang baru tiga tahun menjadi seorang muallaf menjawab salamku. Sambil menutup beberapa buku yang tadinya beliau pelajari dan ingin segera memasuki kelas.
“Duduk, ada apa?” Beliau menyuruhku duduk pada sebuah kursi yang berada tepat di depan mejanya. Dengan rasa sedikit takut aku menjawab,
“ Buk, apa saya melanggar peraturan sekolah jika saya berjualan kue di sekolah ?”
“ Kok kamu bertanya seperti itu?” Bu Safana sedikit heran.
“ Tidak buk, karena semalam ibu-ibu dikantin memarahi saya buk, katanya mulai hari ini saya tidak boleh jualan lagi..”
“Tidak Milda…kamu tidak melanggar peraturan sekolah. Kamu kan sudah minta izin. Kami para dewan guru tau, bahwa tujuan kamu berjualan untuk membantu orang tua kamu membiayai sekolah kamu dan adik-adikmu, ya kan?”
“Iya buk..”
“Hal ini sudah ibu tanya pada teman-teman yang rumahnya berdekatan dengan kamu. Asal saja…plastik pembungkus es yang kamu jual tidak berserakan dimana-mana. Dan tolong bilang ke teman-teman yang membeli untuk membuang bungkusnya di tempat sampah. Ya?”
“Iya buk… Kalau begitu terima kasih buk?”
“Sama-sama… Oya Milda, ibu akan mengusulkan pada Kepala Sekolah untuk mendaftarkan kamu menjadi salah satu penerima bantuan biaya sekolah yang diberikan oleh Bazis.”
“Bener buk? Terima Kasih banyak buk?” sambil mencium tangan bu Safana,
“Iya,iya.”
setelah itu aku pun kembali ke kelas bersama beliau untuk menerima pelajaran Bahasa Indonesia yang beliau berikan.

Mendengar kata-kata bu Safana, perasaan tidak enak yang semalam aku rasakan kini telah hilang. Sepulang sekolah, aku langsung memberi tahu ibuku. Bersambung…

Penulis adalah Milda Rizki asli warga Langkat

 

- Advertisement -

Berita Terkini