John Lundin Dilaporkan ke Bareskrim, Kuasa Hukum: Proses Hukum Konflik Internal Ikon Banyuwangi

Breaking News

- Advertisement -

 

Mudanews.com Jakarta, 28 Maret 2025 – Konflik internal di PT Banyuwangi Internasional Yacht Club (BIYC) semakin membuat Bayuwangi International Yacht Club (BIYC), sebagai ikon Kabupaten Banyuwangi, tetap belum bisa dibuka kembali.

Hal ini terjadi setelah rapat umum pemegang saham (RUPS) di Jakarta 24 Maret 2025 mengalami jalan buntu, alias dead lock. Tidak terjadi kesepakatan komprehensif di antara para pemegang saham.

Rapat tersebut hanya menyetujui diadakannya audit forensik keuangan PT BIYC ketika manajemen dipegang oleh John Lundin, warga negara Swedia dan Lizza, istri John Lundin warga Banyuwangi.

“Ya, audit ini penting dilakukan karena selama ini saya sebagai salah satu pemegang saham tidak pernah mendapatkan laporan keuangan sejak PT BIYC,” kata Alexander kepada awak media di Jakarta, Selasa (25/03/2025).

Lebih lanjut, Alex, warga negara Rusia, menyampaikan kronologi konflik internal PT BIYC bahwa pihaknya bersama dengan pemegang saham lainnya, yang juga warga negara Rusia, menanamkan saham untuk mendirikan bisnis di bidang kuliner berupa restaurant (klub) yang belakangan dikenal sebagai sebuah ikon di Kabupaten Banyuwagi, yakni Banyuwangi Yacht Club.

Sejak tahun 2019, sampai kemudian diambil alih manajemen BIYC pada akhir 2024, John Lundin dan Lizza selaku manajemen tidak memberikan laporan kegiatan perusahaan, baik laporan keuangan, laporan rugi laba, dan deviden yang harus dibayarkan maupun kewajiban dan hak sebagai pemegang saham.

“Hal inilah yang menjadi akar terjadinya konflik yang berujung saling lapor di pengadilan negeri Banyuwangi, antara John Lundin dan Lizza di satu pihak, dengan Alexander dan satu orang pemegang saham lainnya di pihak lain,” kata Eko Sutrisno, S.H., kuasa hukum PT BIYC kepada awak media di Banyuwangi (25/3/2025).

Laporan kedua belah pihak di pengadilan negeri Banyuwangi hanya terkait dengan keabsahan untuk mengadakan rapat umum pemegang saham (RPUS), untuk memperebutkan pengelolaan PT BIYC, karena posisi kepemilikan saham adalah John Lundin dan Lizza 50%, Alex dan teman saya juga 50%.

“Dengan posisi kepemilikan saham seperti itu, maka selalu tidak tercapai titik temu, dan John Lundin serta Lizza menggunakan instrument pengadilan untuk menjalankan aksi bisnisnya, yakni tidak mempertanggungjawabkan laporan keuangan manajemen PT BIYC selama mereka pegang, sejak 2019-2024,” lanjut Eko.

Karena tempat tinggal Alex dan William di Moskow, kata Eko menambahkan, John Lundin dan Lizza leluasa mengatur manajemen PT BIYC sesuai dengan kemauannya.

“PT BIYC ternyata ditempatkan dalam struktur sebagai penyewa tempat usaha dari PT Lundin, PT Lundin menyewa dari PT Pelindo, hal ini menyebabkan kerancuan manajemen, campur aduk manajemen PT Lundin yang dimiliki oleh John Lundin dan Lizza, dengan manajemen PT BIYC yang mereka kelola,” tambah Alex.

Praktik bisnis seperti ini menyebabkan tidak adanya akuntabilitas manajemen PT BIYC selama dikelola oleh John Lundin dan Lizza, karena tidak bisa dibedakan antara manajemen PT Lundin dan manajemen PT BIYC.

“Makanya, saya pernah menyampaikan, jika tidak ada pelaporan keuangan, artinya PMA ini berpotensi melanggar hukum, karena laporan keuangan, keuntungan, kerugian dan sebagainya yang menjadi dasar untuk pembayaran pajak kepada negara,”lanjut Eko.

Berdasarkan penelusuran lebih lanjut, ternyata praktik untuk menarik investasi pemodal asing atau investasi yang dilakukan oleh John Lundin dan Lizza, baik di Indonesia maupun di Singapura menggunakan praktik bisnis keuangan owning by loan.

Dengan modus seperti ini artinya dia menggunakan operasi perusahaan dengan pinjaman aksi gali lobang tutup lobang, satu sumber dana investor dimasukkan ke dalam sebuah perusahaan, namun dengan pertangungjawaban individu dan perusahaan.

“Praktik bisnis mengelola bisnis perusahaan dalam perusahaan seperti yang dilakukan oleh John Lundin dan Lizza jelas melanggar hukum dan illegal, jika dilakukan di Rusia, saya tidak paham hukum acara perdata di Indonesia, yang saya tahu pasti merusak akuntabilitas perusahaan,” kata Alex.

Terlebih lagi, dalam aksinya, kata Alex, John Lundin dan Lizza selalu mengatur kepemilikan saham mereka antara 50% atau lebih dari 50%, dengan tujuan untuk menciptakan dead-lock dalam rapat umum pemegang saham, di mana mereka selalu menjadi bagian dari pemegang manajemen eksekutif perusahaan.

“Praktik culas dan terstruktur seperti itu membuat para investor frustasi, karena harus menghadapi masalah hukum, yang John Lundin dan Lizza sudah selalu siap mereka hadapi, yang tentu mengeluarkan biaya yang sangat besar,” lanjut Alex.

Menurut penelusuran, John Lundin dan Lizza selalu menyebut kedekatan mereka dengan Kementerian Pertahanan, Angkatan Laut, TNI, bahkan Presiden Prabowo, nama-nama besar di Indonesia untuk menakut-nakuti para investor yang menagih janji terkait dengan investasi mereka dalam perusahaan yang dikelola oleh John Lundin dan Lizza.

Menurut penelusuran awak media, klaim John Lundin dan Lizza, tersebut dibantah oleh para petinggi kementerian, bahkan menurut sebuah sumber orang dekat Presiden Prabowo, Presiden Prabowo pun geram namanya dibawa-bawa oleh John Lundin dan Lizza.

John Lundin dan Lizza bukan siapa-siapa, meskipun mereka pernah bekerja sama dengan kementerian pertahanan, namun mereka gagal total dalam proyek kerjasama tersebut, bahkan produk yang dibuat oleh PT North Sea Boats, proxy PT Lundin, terbakar sehingga tidak menghasilkan apa-apa.

Sebagaimana pernah diberitakan, John Lundin mengaet investor asing, seperti yang dilakukan dengan para pemegang saham BIYC. John Ivar Allen Lundin dan Lizza (WNI) beserta Robin William Fidzgerald (WN Inggris) mengendalikan Super Dry International Pte Ltd Singapore, di mana Lundin menguasai 46,26% saham melalui Abachi Holding Pte Lmt (ABI) milik 100% Lundin. Sementara sisanya 46,25% saham dimiliki oleh Robin melalui Axis International Holding Pte Ltd Singapore.

Super Dry International Pte Ltd Singapore (SDI), menguasai 50% saham North Sea Boats Pte Ltd Singapore (NSB), selebihnya 25% saham dimiliki secara individu oleh Lundin dan 25% oleh Lizza.

Sementara PT (PMA) Lundin Industry Invest Indonesia, sepenuhnnya dikendalikan oleh Lundin sebagai pemegang saham mayoritas 50,5% dan sisanya dimiliki oleh Lizza.

Perusahaan North Sea Boats Ptd Ltd Singapore (NSE), dan lokasi perusahaan PT Lundi Industry Invest tidak menunjukkan kegiatan bisnis perkapalan sama sekali, sesuai pengamatan awak media di lokasi. Pun data selanjutnya didapati bahwa logo North Sea Boats di lokasi tidak menunjukkan aktivitas produksi perkapalan sebagaimana digambarkan oleh Lundin.

Awak media ini mendapatkan sumber informasi dari Paul Wan & Co, sebagai Public and Chartered Accountants of Singapore, yang beralamat di 10 Anson Road #35-07/08 International Plaza, Singapore 079903.

Pengacara internasional Phillip G. Laskaris melayangkan permohonan penyelidikan terkait dengan dugaan pemalsuan dokumen untuk pendirian perusahaan di Singapura yang menyeret Robin William Fidzgerald, John Ivar Lundin, dan Lizza.

Surat tertanggal 1 Oktober 2024, ditujukan kepada Accounting and Corporate Regulatory Authority (ACRA), Singapore, diterima redaksi menunjukkan dugaan pemalsuan alamat yang diberikan untuk mendirikan perusahaan.

“This will certainly breach the Singapore Corporations Act 1967, related to compliance issues, with alleged CA sec. 157(1) & 173G / False Address / Foreign Directors & Shareholders. It appears that JL’s (John Lundin) address as both a director and/or shareholder that has been provided to ACRA with respect to NSB, SDI, and ABI (annexes 5, 8 & 9) may be false,” seperti dikutip dari surat yang dimiliki oleh media ini.

Kutipan itu pada intinya menyebutkan sesuai dengan UU Perusahan Singapura 1967, terkait dengan ketaatan pada aturan, dengan potensi pelanggaran terkait dengan bab 157(1) dan 173G tentang Alamat Palsu yang menyangkut Direktur dan Pemegang Saham Asing di mana John Lundin sebagai direktur dan pemegang saham menyerahkan ke ACRA, terkiat dengan perusahaan NSB, SDI, dan ABI adalah palsu.

“Praktik mengendalikan bisnis model SDI dan NSB ini, di mana Lundin dan Lizza mengendalikan manajemen kedua entitas perusahaan itu dilakukan juga dengan PT Lundin Industry Invest dan Banyuwangi International Yacht Club (BIYC),” kata Alex.

Di Indonesia, ternyata John Lundin dan Lizza mendirikan perusahaan PT Super Dry Marine dan PT Inter Sub Tech, untuk menjaring investor dengan modus sama dengan yang mereka lakukan dengan mengajak investor mendirikan perusahaan PMA, yakni PT BIYC.

Seperti praktik menjaring investor untuk PT BIYC, Maksim Ananev, warga negara Swedia, menjadi investor sekaligus pemegang saham 50% untuk PT Inter Sub Tech, sisanya dimiliki oleh John Lundin dan Lizza yang memegang saham atas nama PT Lundin Industry Invest, sebesar 50% saham.

PT. Inter Sub Tech dikelola oleh Lizza sebagai direktur dan kaki tangannya, Rustiana Ginting yang menjadi komisaris.

“Yang sangat aneh dan jelas menjadi praktik culas John dan Lizza dilakukan di PT Super Dry Marine, di mana John Lundin sebagai Direktur Utama, dan William Robin Fodzgerald sebagai Komisaris, dengan kepemilikan saham di Super Dry Marine (Indonesia) sebesar 426,193 saham, dan Super Dry International (Singapore) sebesar 5,000 saham, artinya seluruh keputusan dan pengelolaan PT Inter Sub Tech mutlak di tangan John Lundin dan Lizza yang menjadi pemegang saham mutlak di PT Lundin Industry Invest,” lanjut Alex.

Jelas sekali, lanjut Alex, praktik menguasai perusahaan dengan melakukan manipulasi kepemilikan saham atas nama pribadi John Lundin dan Lizza, serta praktik menggunakan perusahaan (Super Dry International) sebagai pemegang saham, sementara perusahaan itu dikendalikan sepenuhnya oleh john Lundin, yang dilakukan oleh John Lundin dan Lizza, tentu merugikan para investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Pada pertengahan April 2025 akan berlangsung forum Komisi Antar Pemerintah Rusia-Indonesia untuk Kerja Sama Perdagangan, Ekonomi, dan Teknik, yang dijadwalkan berlangsung di Jakarta pada April 2025. Dalam rangkaian sidang tersebut, juga direncanakan penyelenggaraan forum bisnis yang melibatkan perusahaan-perusahaan dari Rusia dan Indonesia yang berminat untuk memperluas kerja sama bilateral.

“Saya melaporkan John Lundin dan Lizza ke Bareskrim dengan tujuan untuk menghentikan praktik bisnis yang tidak akuntabel yang mereka jalankan, ini untuk kepentingan investor di Indonesia, sekaligus peringatan agar berhati-hati untuk bekerjasama dengan John Lundin dan Lizza, agar tidak menjadi korban konspirasi investasi korporasi,” pungkas Alex.***(Red)

Berita Terkini