Rezim COVID-19

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Covid 19 adalah pandemi yang memprihatinkan. Hingga kini belum dapat diatasi dengan tuntas. Korban terus berjatuhan dan hampir semua sektor porak poranda. Kejahatan terberat adalah memanfaatkan pandemi Covid 19 untuk kepentingan pendek dan keuntungan kelompok. Pemerintah dimana pun tidak boleh mencari kesempatan dalam kesempitan.

Ketua KPK Firli pernah mengancam siapapun yang melakukan korupsi dana Covid 19 akan berhadapan dengan hukuman mati. Meski pada prakteknya ia inkonsisten saat menuntut Mensos PDIP Juliari yang mengkorupsi dana bansos Covid 19. Pasal 2 ayat (2) UU No 20 tahun 200 yang berisi ancaman mati untuk perbuatan tersebut tidaklah digunakan.

Longgar dan ketat yang digantungkan pada kemauan politik membuat Covid 19 menjadi alat mainan rezim. Memanipulasi kegagalan pelaksanaan tugas pemerintahan untuk mensejahterakan rakyat. Menutupi hutang besar dan pertumbuhan ekonomi yang semakin merosot.

Tiga indikasi berbahaya dari kerja rezim Covid 19, yaitu :

Pertama, membuka lebar pintu korupsi. UU No 2 tahun 2020 yang berasal dari Perppu No 1 tahun 2020 melalui Pasal 27 ayat (2) membolehkan penggunaan dana negara untuk kepentingan penanggulangan pandemi Covid 19 tanpa sanksi hukum baik perdata maupun pidana.

Kedua, menafsirkan sekehendaknya pelaksanaan Undang-Undang. Memilah dan memilih target kepentingan politik. Kebijakan PSBB dapat bersanksi Karantina. Sanksi administrasi bisa bergeser menjadi pidana. Sebagai contoh adalah pemidanaan HRS akibat kerumunan perkawinan dan pengajian. Sementara kerumunan Pilkada atau lainnya oleh figur lain bebas bebas saja.

Ketiga, pelaksanaan yang tidak adil. Untuk penyuntikan vaksin sepertinya beban risiko lebih ringan kepada pejabat negara. Tenaga kerja kesehatan dan TNI Polri menjadi prioritas, sementara pejabat publik justru terakhir. Artinya Presiden dan Menteri adalah klaster terakhir dari urutan. Beban risiko ini dikaitkan bahwa vaksin Sinovac China yang masih diragukan aspek keamanan dan kehalalannya. WHO dan BPOM belum merekomendasi.

Keempat, melanggar HAM. Dengan alasan melindungi dari keterpaparan Covid 19, maka seseorang yang dalam proses penahanan tidak boleh dijenguk baik oleh pengacara maupun keluarga. Aturan hukum yang menjamin HAM dikesampingkan begitu saja. Sebagai contoh adalah kasus HRS dan tahanan politik lainnya.

Kelima, membunuh demokrasi. Aksi dan demonstrasi yang dibatasi baik atas ancaman delik populer di era pandemi ini yakni penghasutan berdasarkan Pasal 160 KUHP Jo 216 KUHP maupun UU Kekarantinaan Kesehatan. Secara psiko-politis meredam agenda aksi-aksi. Apalagi jika ada rencana penerapan kebijakan PSBB kembali secara nasional tentu akan berimplikasi pada aksi penyaluran aspirasi.

Semua dapat memahami akan bahaya pandemi, akan tetapi jika pandemi Covid 19 digunakan menjadi peluang untuk mencari kesempatan dalam kesempitan, maka hal ini harus dievaluasi dan dikritisi. Rakyat tidak boleh menjadi korban dari pemanfaatan situasi.

Sementara ada pihak lain yang berbuat semaunya dengan bermodal kekuasaan dan alat pemaksa.

Oleh : M Rizal Fadillah – Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 8 Januari 2021

- Advertisement -

Berita Terkini