Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht.
Mudanews.com- Opini | Buruh adalah denyut nadi bangsa. Dari perkebunan kolonial di Deli pada awal abad ke-20 hingga kawasan industri modern di Karawang atau Batam hari ini, buruh selalu hadir sebagai penopang utama ekonomi.
Namun, di balik kerja keras mereka, kesejahteraan masih sering jauh dari layak. Mereka berhadapan dengan upah rendah, kontrak kerja tak pasti, relasi kuasa timpang dengan majikan, hingga terbatasnya kesempatan anak-anak mereka untuk bersekolah.
Persoalan ini sesungguhnya bukan hal baru. Tan Malaka, seorang pemikir dan pejuang kemerdekaan, sudah mengangkat masalah serupa dalam otobiografinya Dari Penjara ke Penjara.
Ia melihat langsung penderitaan buruh perkebunan Deli yang hidup dalam diskriminasi rasial, tanpa akses pendidikan, dan nyaris tak bersuara di ruang publik.
Tulisan ini berusaha menjembatani pengalaman historis tersebut dengan kondisi buruh Indonesia saat ini.
𝐊𝐞𝐬𝐞𝐣𝐚𝐡𝐭𝐞𝐫𝐚𝐚𝐧 𝐁𝐮𝐫𝐮𝐡: 𝐖𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐋𝐚𝐦𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐓𝐮𝐧𝐭𝐚𝐬.
BPS (2023) mencatat masih banyak buruh hidup di ambang garis kemiskinan. Upah minimum provinsi yang ditetapkan pemerintah sering kali tidak sebanding dengan kebutuhan hidup layak.
Outsourcing dan kontrak jangka pendek semakin menekan posisi buruh (Tjandra, 2021). Situasi ini mengingatkan pada apa yang Tan Malaka saksikan di Deli: buruh diperas keringatnya tetapi tak pernah diakui martabatnya.
Bagi Tan Malaka, buruh bukan sekadar alat produksi. Mereka adalah manusia yang berhak atas kehidupan bermartabat.
Kesadaran ini lahir dari pengalamannya hidup bersama buruh kontrak di perkebunan tembakau, menyaksikan penderitaan mereka, bahkan ikut merasakan diskriminasi dan kerasnya kerja paksa.
Kini, meski kolonialisme formal sudah tiada, banyak buruh Indonesia masih merasakan bentuk “penjajahan baru” melalui ketidakadilan ekonomi.
Sebagai perbandingan, negara seperti Jerman menunjukkan bagaimana buruh bisa hidup lebih sejahtera. Sistem Sozialstaat (negara kesejahteraan) di Jerman memberikan perlindungan menyeluruh bagi pekerja.
Upah buruh dinegosiasikan melalui collective bargaining yang melibatkan serikat pekerja kuat, sehingga standar gaji cenderung lebih tinggi dan stabil (Streeck, 1997). Selain itu, buruh mendapatkan asuransi kesehatan, jaminan pensiun, tunjangan pengangguran, dan perlindungan kerja yang komprehensif.
Pemerintah juga menyediakan sistem pendidikan vokasi (dual system) yang memungkinkan anak-anak buruh mengakses pelatihan keterampilan sejak dini dan langsung terserap ke dunia kerja.
Perbedaan mendasar dengan Indonesia adalah keberpihakan negara: di Jerman, buruh dipandang sebagai mitra pembangunan, bukan sekadar tenaga kerja murah.
𝐑𝐞𝐥𝐚𝐬𝐢 𝐊𝐮𝐚𝐬𝐚: 𝐃𝐚𝐫𝐢 “𝐊𝐨𝐞𝐥𝐢𝐞 𝐂𝐨𝐧𝐭𝐫𝐚𝐜𝐭” 𝐤𝐞 “𝐈𝐧𝐝𝐮𝐬𝐭𝐫𝐢𝐚𝐥 𝐃𝐞𝐬𝐩𝐨𝐭𝐢𝐬𝐦”
Relasi kuasa buruh dan majikan sejak era kolonial hingga sekarang memperlihatkan pola yang sama: ketimpangan.
Di Deli, Tan Malaka menyaksikan bagaimana buruh Jawa dan Melayu dipandang inferior hanya karena warna kulit. Mereka tidak punya ruang tawar-menawar, apalagi suara politik.
Hari ini, meski konteks berbeda, esensinya serupa. Banyak majikan memandang buruh sekadar “komoditas produksi.” Ketika buruh menuntut haknya, mereka kerap dihadapkan pada union busting atau bahkan kriminalisasi (Ford, 2019).
Edwards (1979) menyebut kondisi ini sebagai industrial despotism, di mana pengusaha bertindak layaknya penguasa kecil di pabrik. Dengan kata lain, bayang-bayang koelie contract masih terasa dalam wajah industri modern Indonesia.
𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐧𝐚𝐤 𝐁𝐮𝐫𝐮𝐡: 𝐋𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐭𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐦𝐢𝐬𝐤𝐢𝐧𝐚𝐧.
Salah satu kritik tajam Tan Malaka adalah bagaimana sistem kolonial menutup pintu pendidikan bagi anak buruh. Sekolah rakyat yang tersedia lebih ditujukan mencetak buruh patuh ketimbang manusia merdeka.
Anak-anak dipaksa membantu orang tua bekerja di ladang, alih-alih diberi kesempatan belajar.
Masalah ini ternyata masih relevan. UNICEF (2020) mencatat anak-anak dari keluarga buruh berisiko besar putus sekolah di tingkat SMP dan SMA.
Faktor ekonomi, sosial, dan struktural membuat mereka kesulitan melanjutkan pendidikan. Akibatnya, lingkaran setan kemiskinan terus berulang: anak buruh cenderung tumbuh menjadi buruh lagi, dengan nasib yang sama beratnya.
Tan Malaka percaya bahwa pendidikan adalah kunci pembebasan. Ia melihat pendidikan bukan sekadar akses ke sekolah, melainkan sarana membangun kesadaran kritis.
Dalam konteks sekarang, pemikiran ini menegaskan bahwa negara perlu memberikan beasiswa afirmatif bagi anak buruh, agar mereka tidak selamanya terjebak dalam rantai kemiskinan.
𝐒𝐮𝐚𝐫𝐚 𝐁𝐮𝐫𝐮𝐡 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚: 𝐃𝐚𝐫𝐢 “𝐃𝐞𝐥𝐢 𝐂𝐨𝐮𝐫𝐚𝐧𝐭” 𝐤𝐞 𝐄𝐫𝐚 𝐃𝐢𝐠𝐢𝐭𝐚𝐥.
Di masa kolonial, Tan Malaka mengkritik keras surat kabar di Deli yang hanya menjadi corong pengusaha dan pemerintah, sementara penderitaan buruh dibungkam.
Media seharusnya menjadi ruang kritik, tetapi justru melanggengkan status quo.
Kini, situasi serupa juga bisa kita lihat. Meski media lebih bebas, isu buruh kerap terpinggirkan dibanding berita politik elitis atau gosip selebritas.
Perjuangan buruh lebih banyak terdengar di jalanan melalui demonstrasi ketimbang di halaman utama surat kabar. Bahkan di era media sosial, narasi buruh sering kalah oleh algoritma yang lebih mengutamakan sensasi.
𝐁𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐒𝐞𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬𝐧𝐲𝐚 𝐁𝐮𝐫𝐮𝐡 𝐃𝐢𝐩𝐞𝐫𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧?
Tan Malaka menegaskan bahwa perjuangan nasional tidak bisa dipisahkan dari perjuangan buruh dan tani.
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip Decent Work dari ILO (1999) yang menekankan empat pilar: 𝐩𝐞𝐤𝐞𝐫𝐣𝐚𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐨𝐝𝐮𝐤𝐭𝐢𝐟, 𝐩𝐞𝐫𝐥𝐢𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐬𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥, 𝐡𝐚𝐤-𝐡𝐚𝐤 𝐝𝐢 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐤𝐞𝐫𝐣𝐚, dan 𝐝𝐢𝐚𝐥𝐨𝐠 𝐬𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥.
Artinya, buruh seharusnya:
• Mendapat upah layak, bukan sekadar minimum.
• Dilindungi dengan jaminan sosial menyeluruh, termasuk buruh informal.
• Bebas berserikat tanpa intimidasi.
• Bekerja dalam kondisi manusiawi, dengan jam kerja wajar dan lingkungan aman.
• Anak-anak buruh mendapat akses pendidikan setara, agar masa depan mereka tidak terjebak dalam nasib serupa orang tuanya.
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩
Kondisi buruh Indonesia hari ini adalah cermin panjang dari sejarah.
Dari buruh kontrak di perkebunan Deli hingga buruh pabrik di era modern, penderitaan mereka memperlihatkan bahwa kemerdekaan politik belum sepenuhnya diikuti kemerdekaan ekonomi dan sosial.
Pemikiran Tan Malaka memberi kita pelajaran berharga: perjuangan buruh adalah perjuangan bangsa. Selama buruh masih hidup dalam kemiskinan, relasi timpang, dan keterbatasan pendidikan, maka cita-cita kemerdekaan sejati belum benar-benar tercapai.
Belajar dari negara-negara dengan sistem perlindungan buruh lebih maju seperti Jerman, Indonesia sesungguhnya memiliki peluang untuk membangun tatanan kerja yang lebih adil dan manusiawi.
𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐏𝐮𝐬𝐭𝐚𝐤𝐚
1. 𝘉𝘢𝘥𝘢𝘯 𝘗𝘶𝘴𝘢𝘵 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘪𝘴𝘵𝘪𝘬. (2023). 𝘒𝘦𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘒𝘦𝘵𝘦𝘯𝘢𝘨𝘢𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘈𝘨𝘶𝘴𝘵𝘶𝘴 2023. 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢: 𝘉𝘗𝘚.
2. 𝘌𝘥𝘸𝘢𝘳𝘥𝘴, 𝘙. (1979). 𝘊𝘰𝘯𝘵𝘦𝘴𝘵𝘦𝘥 𝘛𝘦𝘳𝘳𝘢𝘪𝘯: 𝘛𝘩𝘦 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘧𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘞𝘰𝘳𝘬𝘱𝘭𝘢𝘤𝘦 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘛𝘸𝘦𝘯𝘵𝘪𝘦𝘵𝘩 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘶𝘳𝘺. 𝘕𝘦𝘸 𝘠𝘰𝘳𝘬: 𝘉𝘢𝘴𝘪𝘤 𝘉𝘰𝘰𝘬𝘴.
3. 𝘍𝘰𝘳𝘥, 𝘔. (2019). 𝘉𝘦𝘺𝘰𝘯𝘥 𝘓𝘢𝘣𝘰𝘳 𝘈𝘤𝘵𝘪𝘷𝘪𝘴𝘮: 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘛𝘳𝘢𝘥𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘧𝘵𝘦𝘳𝘮𝘢𝘵𝘩 𝘰𝘧 𝘙𝘦𝘧𝘰𝘳𝘮𝘢𝘴𝘪. 𝘐𝘵𝘩𝘢𝘤𝘢: 𝘊𝘰𝘳𝘯𝘦𝘭𝘭 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
4. 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘓𝘢𝘣𝘰𝘶𝘳 𝘖𝘳𝘨𝘢𝘯𝘪𝘻𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯. (1999). 𝘋𝘦𝘤𝘦𝘯𝘵 𝘞𝘰𝘳𝘬. 𝘎𝘦𝘯𝘦𝘷𝘢: 𝘐𝘓𝘖.
5. 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘓𝘢𝘣𝘰𝘶𝘳 𝘖𝘳𝘨𝘢𝘯𝘪𝘻𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯. (2020). 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘑𝘰𝘣𝘴 𝘋𝘪𝘢𝘨𝘯𝘰𝘴𝘵𝘪𝘤: 𝘛𝘰𝘸𝘢𝘳𝘥𝘴 𝘉𝘦𝘵𝘵𝘦𝘳 𝘑𝘰𝘣𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘐𝘯𝘤𝘭𝘶𝘴𝘪𝘷𝘦 𝘎𝘳𝘰𝘸𝘵𝘩. 𝘎𝘦𝘯𝘦𝘷𝘢: 𝘐𝘓𝘖.
6. 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘬𝘢, 𝘛. (1948). 𝘋𝘢𝘳𝘪 𝘗𝘦𝘯𝘫𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘦 𝘗𝘦𝘯𝘫𝘢𝘳𝘢. 𝘠𝘰𝘨𝘺𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢: 𝘗𝘶𝘴𝘵𝘢𝘬𝘢 𝘙𝘢𝘬𝘫𝘢𝘵.
7. 𝘚𝘵𝘳𝘦𝘦𝘤𝘬, 𝘞. (1997). 𝘎𝘦𝘳𝘮𝘢𝘯 𝘊𝘢𝘱𝘪𝘵𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮: 𝘋𝘰𝘦𝘴 𝘐𝘵 𝘌𝘹𝘪𝘴𝘵? 𝘊𝘢𝘯 𝘐𝘵 𝘚𝘶𝘳𝘷𝘪𝘷𝘦? 𝘐𝘯 𝘊. 𝘊𝘳𝘰𝘶𝘤𝘩 & 𝘞. 𝘚𝘵𝘳𝘦𝘦𝘤𝘬 (𝘌𝘥𝘴.), 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺 𝘰𝘧 𝘔𝘰𝘥𝘦𝘳𝘯 𝘊𝘢𝘱𝘪𝘵𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮: 𝘔𝘢𝘱𝘱𝘪𝘯𝘨 𝘊𝘰𝘯𝘷𝘦𝘳𝘨𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘋𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 (𝘱𝘱. 33–54). 𝘓𝘰𝘯𝘥𝘰𝘯: 𝘚𝘢𝘨𝘦.
8. 𝘛𝘫𝘢𝘯𝘥𝘳𝘢, 𝘚. (2021). 𝘖𝘮𝘯𝘪𝘣𝘶𝘴 𝘓𝘢𝘸 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘤𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘩𝘢𝘬 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘩 𝘥𝘪 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢. 𝘑𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘏𝘶𝘬𝘶𝘮 & 𝘗𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯𝘢𝘯, 51(2), 245–268.
9. 𝘜𝘕𝘐𝘊𝘌𝘍. (2020). 𝘌𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘉𝘶𝘥𝘨𝘦𝘵 𝘉𝘳𝘪𝘦𝘧 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 2020. 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢: 𝘜𝘕𝘐𝘊𝘌𝘍 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢.