Aznil Tan Nilai Perpol 10/2025 Pembangkangan Konstitusi, Ancaman Serius Supremasi Sipil

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com Jakarta | Pengamat kebijakan   dan tata kelola negara, Aznil Tan, menilai Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 sebagai kebijakan bermasalah yang berpotensi melanggar konstitusi dan melemahkan demokrasi. Penilaian tersebut disampaikan menyusul pernyataan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo yang membenarkan Perpol tersebut sebagai dasar penugasan anggota Polri aktif ke jabatan sipil di kementerian dan lembaga negara.

Menurut Aznil, secara hukum tata negara, Perpol tidak memiliki legitimasi untuk menafsirkan, menyesuaikan, apalagi mengoreksi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menegaskan bahwa dalam hierarki peraturan perundang-undangan, UUD 1945 dan putusan MK bersifat final dan mengikat, sementara peraturan internal institusi negara berada pada level administratif terendah.

Aznil menyebut klaim bahwa Perpol 10/2025 merupakan bentuk penyesuaian terhadap putusan MK sebagai eufemisme birokratis yang menutupi substansi persoalan. “Jika negara ingin menempatkan anggota Polri dalam jabatan sipil, satu-satunya jalan konstitusional adalah pengunduran diri atau pensiun, bukan melalui rekayasa regulasi internal,” tegasnya.

Dari perspektif demokrasi, Aznil menilai penempatan anggota Polri aktif di 17 kementerian dan lembaga negara telah mengaburkan batas antara ranah sipil dan ranah keamanan. Kondisi tersebut berpotensi menciptakan konflik kepentingan struktural dan menggeser karakter birokrasi sipil dari administrasi berbasis hukum menjadi birokrasi berwatak komando.

Dalam kajian perbandingan demokrasi, lanjut Aznil, pola tersebut merupakan gejala kemunduran demokrasi secara gradual, bukan melalui kudeta terbuka, melainkan lewat normalisasi peran aparat keamanan dalam pemerintahan sipil. “Ini bukan reformasi, melainkan restorasi cara bernegara lama dengan kemasan hukum,” ujarnya.

Dari sisi tata kelola negara, Perpol 10/2025 dinilai gagal memenuhi prinsip good governance. Aznil menyoroti pelanggaran terhadap rule of law, kaburnya akuntabilitas akibat dual loyalitas aparat, serta melemahnya mekanisme checks and balances karena aparat penegak hukum ditempatkan di institusi yang berpotensi mereka awasi.

Jika diuji menggunakan prinsip TARIF—Transparansi, Akuntabilitas, Responsibility, Independensi, dan Fairness—kebijakan ini dinyatakan gagal secara menyeluruh. Minim transparansi penyusunan regulasi, ketidakjelasan pertanggungjawaban, runtuhnya independensi, serta ketidakadilan sistem merit jabatan publik menjadi catatan kritis utama.

Aznil juga mengingatkan bahwa dalih “kebutuhan negara” bukanlah argumen hukum, melainkan argumentasi kekuasaan. Dalam sejarah ketatanegaraan, alasan tersebut kerap digunakan untuk membenarkan perluasan peran aparat dan penyempitan ruang sipil, yang pada akhirnya menggerus prinsip negara hukum.

Menurutnya, jika Perpol ini dibiarkan, maka akan tercipta preseden berbahaya yang menormalisasi keterlibatan aparat keamanan dalam seluruh lini pemerintahan. Reformasi Polri pasca-1998 pun berisiko mengalami kemunduran substantif dan kehilangan makna historisnya.

Atas dasar itu, Aznil merekomendasikan agar pemerintah dan Polri segera mencabut atau membekukan Perpol 10/2025, DPR memperkuat fungsi pengawasan, serta masyarakat sipil dan akademisi terus melakukan kontrol publik. “Negara tidak boleh dikelola dengan logika institusi bersenjata, melainkan dengan hukum, etika kekuasaan, dan akal sehat demokrasi,” pungkasnya.***(Red)

Berita Terkini