Tragedi Kalibata Menuntut Kejujuran Aparat Kepolisian

Breaking News
- Advertisement -

_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Demokrasi Monitor (InDemo)._

Mudanews.com OPINI – Sebelumnya kami menyampaikan keprihatinan dan duka yang mendalam kepada keluarga korban tewas (Mata Elang) akibat pengeroyokkan.

Peristiwa pengeroyokan yang menewaskan dua orang debt collector (mata elang) di depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata bukan sekedar tragedi kriminal. Ini adalah ujian serius bagi integritas penegakan hukum, kecermatan komunikasi aparat, dan kematangan nalar kebangsaan kita.

Kasus ini menjadi sorotan nasional bukan hanya karena berujung pada kematian dua orang, tetapi karena narasi yang dibangun di ruang publik sejak awal justru menyisakan banyak kejanggalan, terutama ketika muncul pernyataan bahwa pengeroyokan dilakukan oleh “warga setempat”.

Sebagai penulis, saya merasa perlu menyampaikan kesaksian personal yang relevan secara faktual dan sosial. Sekitar 15 tahun saya bermukim di Kalibata, tidak jauh dari lokasi kejadian. Selama itu pula, saya menyaksikan langsung pola pergaulan, interaksi sosial, dan karakter warga setempat.

Faktanya, hubungan warga Kalibata dengan berbagai kelompok pekerja informal, juru parkir, pak ogah, pedagang kaki lima, hingga mata elang (debt collector) selama ini berjalan biasa dan relatif baik-baik saja.

Keberadaan mata elang di sepanjang jalan raya Pasar Minggu (depan Pomad), Potlot, hingga Duren Tiga bukan hal asing bagi warga sekitar. Bahkan ada juga pekerja Mata Elang yang bermukim di sekitar kalibata dan bergaul baik bersama warga setempat sebagaimana umumnya warga pendatang lainnya.

Dalam beberapa peristiwa penyitaan kendaraan di jalan oleh mata elang yang pernah terjadi sebelumnya, warga setempat tidak pernah merespons secara berlebihan. Sikap warga cenderung tidak ikut campur. Bukan karena apatis, tetapi karena kesadaran bahwa persoalan penagihan utang dan penyitaan kendaraan bukan urusan sederhana dan memiliki konsekuensi hukum. Maka, warga memilih menjaga jarak.

Perlu dicatat, kawasan Kalibata di sekitar lokasi kejadian bukanlah kawasan kumuh dengan potensi konflik sosial tinggi. Di wilayah ini terdapat, Kompleks perumahan DPR, Kompleks BIN, Kementerian Desa, Kementrian Dalam Negeri, BPK, Apartemen Kalibata City, Kantor ICW, Indef, dan kediaman berbagai tokoh aktivis nasional.

Dalam keseharian, tidak ada indikasi aktivitas sosial yang mengarah pada potensi pertikaian massal atau kerusuhan warga. Justru sebaliknya, lingkungan ini bisa dikatakan memiliki tingkat pemikiran intelektual dan kesadaran hukum yang relatif baik.

Dari realitas sosial ini saja, publik yang jernih dapat menarik kesimpulan awal, narasi bahwa pengeroyokan brutal hingga menewaskan dua orang dilakukan oleh “warga setempat” sangat lemah secara sosiologis.

Lebih jauh lagi, setiap tanggal 17 Agustus dan 10 November, kawasan TMP Kalibata selalu menjadi objek utama peringatan nasional. Dalam setiap acara tersebut, terlebih yang dihadiri Presiden, sterilisasi dan pengamanan wilayah dilakukan secara ketat dan menyeluruh, termasuk di sekitar permukiman warga.

Ini menjadi bukti bahwa segala potensi gangguan keamanan di kawasan ini sangat terpantau. Maka, secara rasional dan faktual, kemungkinan warga setempat melakukan pengeroyokan brutal di depan TMP Kalibata sangat kecil.

Informasi lapangan justru menyebutkan adanya sekitar enam orang pelaku yang keluar dari sebuah mobil di belakang kendaraan yang tengah disita. Jika benar demikian, maka aksi kekerasan ini bukan reaksi spontan warga, ada indikasi koordinasi dan keterlibatan pihak tertentu. Narasi “warga setempat” berpotensi mengaburkan aktor utama dan menyesatkan publik.

Di sinilah letak bahaya penggiringan opini. Ketika informasi awal dari aparat tidak disampaikan secara hati-hati dan berbasis verifikasi utuh, maka stigma sosial dapat lahir, kecurigaan tumbuh, dan sentimen identitas mulai dimainkan.

Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya ancaman atas nama solidaritas kedaerahan. Solidaritas yang sejatinya adalah nilai luhur, berubah menjadi alat tekanan dan intimidasi terhadap proses hukum.

Jika hukum mulai ditawar dengan identitas, jika keadilan dikaitkan dengan asal daerah, maka yang kita pertaruhkan bukan hanya satu kasus pidana, melainkan keutuhan NKRI itu sendiri.

Kasus Kalibata bukan sekedar soal debt collector, bukan pula sekedar konflik di jalanan. Ini adalah cermin tentang bagaimana kebenaran bisa dibelokkan, bagaimana opini bisa digiring, dan bagaimana persatuan bisa terancam jika fakta tidak dijaga dengan jujur.

Hukum harus berdiri tegak. Aparat harus profesional. Tokoh publik harus menahan diri.
Dan masyarakat termasuk pembaca opini ini berhak menarik kesimpulan berdasarkan fakta sosial yang utuh, bukan narasi yang disederhanakan.

Indonesia tetap satu, dari Sabang sampai Marauke, dari Manggias hingga Rote. Siapa pun pelakunya, harus diproses adil dan transparan. Keadilan ditegakkan, persatuan dijaga. ***

 

Kalibata, Sabtu, 13 Desember 2025, 23:45 Wib.

Berita Terkini