Percaya Selip Lidah BPJS Kesehatan Hanya Untuk Orang Miskin? Wamenkes Koreksi Menkes

Breaking News
- Advertisement -

by: Muhammad Joni

Mudanews – Opini  | Ketika Rapat Dengar Pendapat (RDPU) dengan Komisi 9 DPR RI, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) yang mengurusi kesehatan tentu bicara serius, tapi bablas. Katanya, BPJS harus hanya untuk orang miskin. Warta berita jagat media menggelegar. Maka nalar negeri ini sontak bangkit. Suara terbelah beberapa hari. Saya cepat-cepat menulis opini: ‘BPJS Bukan Barang Dagangan’

Karena, satu saja pernyataan BGS yang lagi-lagi kontroversi menusuk ruang publik RI: seolah BPJS Kesehatan ini hanyalah kantong amal negara, bukan fondasi jaminan sosial. Itu hak yang dijamin konstitusi negara. Amal versus hak, iki duo kutup kontras yang dampaknya beda jauh kali.

Dan ketika beberapa hari, terkini Wamenkes Dante Saksono dihadapan mik yang disodorkan media bernyali mengoreksi Menterinya sendiri. Alamak gema getir  kegaduhan justru semakin memekakkan “gendang” nurani. Baru kali ini Wamenkes koreksi ujaran Menkes BGS.

Dalam hukum, selip lidah: slip-of-the-tongue a la Menkes BGS  bukan sekadar kesalahan teknis—itu cerminan cara pandang dan alam pikiran yang menjadi habit kebiasaan lepas dalil landasan.

Dan cara pandang a la industri kesehatan yang rupanya bunyi dalam konsideran UU Kesehatan omnibus law itu jelas keliru. Catat hukum bawaan yang tak baru.

Tamsilan pesawat udara tergelincir lepas landasan membahayakan yang kudu pemeriksaan komite keselamatan transportasi. Untuk laporan evaluasi demi perbaikan maka perlu mengetahui ‘what is wrong’; bukan ‘who is wrong’.   Selalu begitu.

Ketahuilah, BPJS Kesehatan bukan charity, bukan sedekah negara, bukan lotre, bukan pula kupon antrean bagi rakyat dirundung malang.

Jaminan Sosial-cum-BPJS Kesehatan adalah hak ekosob (ekonomi, sosial, buudaya), yang dipahat di badan konstitusi, makanya negara kudu bertindak ‘Aktif-Positif’.

Penting diungkap bahwa prinsip ekosob itu: ‘progresively and full realization’.  Hak dasar  yang dipatri berkali-kali oleh putusan MK RI. Yang dilahirkan atas darah-daging asas gotong royong yang Indonesiawi.

Malah saya menyebut hak atas jaminan kesehatan itu senafas-sejiwa dengan hak atas hidup (right to life) yang merupakan hak utama (supreme right) yang tak bisa dikurangi walau sedikit.

Orang kaya, orang miskin, orang yang merasa kaya, bahkan pejabat yang kadang over acting  lupa diri—semua wajib ikut, semua dilindungi. Itu sistem, bung. Bukan belas kasihan antar warga kampung.

Pernyataan itu seperti ajakan dialog keliru waktu. Seakan ada jarak psikologis antara pejabat dengan perasaan getir rakyatnya. Gerah selalu menjadi ikutan paska pernyataan. Gerah bulan november yang cuacanya dingin.

Dalam novel kriminal ‘Crime and Punisnment’ karya Fyodor Dostoyevski: sebuah kalimat kecil yang membuka tabir besar tentang bagaimana kekuasaan  memandang warganya. Bukan sebagai pemegang hak, tapi objek kontrol.

Dan koreksi Wamenkes kemudian? Bukan penjelasan ori, hanya diminta “keluar dari kamarnya” untuk meredam kebakaran. Tapi bukti nyata  asapnya tetap membumbung, menandai luka berpikir yang lebih dalam. Tapi tak mudah lari ke luar kamar mengendap ke jembatan penyebarangan.

Dalam logika hukum pidana, perintah tak harus disposisi,  turut serta bisa kode kedipan mata. Pun, diskriminasi tidak butuh deklarasi; cukup bias  mengendap-endap tersembunyi. Cukup instalasi gaya rahasia, pun bangunan kecil suasana. Tapi hukum yang tegak punya sumber cahaya yang lebih terang dari matahari.

Analisis publik,  ucapan Menkes BGS di Senayan itu menunjukkan bias: bias kelas, bias kuasa, bias terhadap hak warga yang sejak awal dijamin negara—bukan karena mereka miskin, tapi karena mereka manusia.

Jika pejabat negara-cum- pembantu Presiden mulai membedakan siapa yang layak sehat dan siapa yang harus antre, maka kita sedang mundur ke zaman cidera parah demokrasi ketika hukum menjadi pagar besi untuk penguasa, bukan pelindung rakyat semesta.

BPJS Kesehatan bukan program kedermawanan; tapi perisai sosial. Agar rakyat iso nguyu (tersenyum). Mengoyak asas universalitas sama dengan memecahkan perisai itu—dan ketika perisai retak, semua warga, kaya–miskin, akan berdarah.

Itulah inti polemik serius ini:

satu kalimat yang mengguncang tiang konstitusi. Satu koreksi yang  tak menyembuhkan,

dan satu pesan menggelegar bagi bangsa hendak dibawa ke industri kesehatan?

Hati-hati dengan kalimat pejabat. Meminjam tiori hukum kritis, acap ada persembunyian kepentingan.

Kadang dari kata-kata sederhana itulah, pelan-pelan, hukum mulai dibelokkan.

Perhatikan-lah dengan seksama: cita kondisi, bangun narasi,  alur dan  modusnya. Rakyat kudu kritisi inci demi inci,  jangan kalah tondi tegakkan narasi.

Seperti kalimat pertama  dari novel ‘Crime and Punishment’  yang berbunyi: “Udara sore di bulan Juli itu bukan main gerahnya. Seorang pemuda tampak keluar dari kamarnya yang terletak di loteng sebuah pondokan. Dengan mengendap-endap ia melangkah ke arah Jembatan K”.  Kata-kata koreksi Wamenkes yang  keluar  dari kamarnya, seakan polemik  konstitusi hendak dibelokkan,  mengendap-endap dari motif-asli mengusung  industri kesehatan menjadi hanya selip lidah yang tak disengajakan. Tanpa ada pemeriksaan “komite keselamatan hak rakyat” mencari ‘what is wrong’ dan ‘who is wrong’.

Dan ketika hukum berhasil dibelokkan, hak publik atas kesehatan bersalin rupa menjadi industri kesehatan maka dan maka  rakyatlah yang pertama kali tersungkur. Nalar publik kudu menegur pernyataan ngawur. Tak usah ragu, jangan mengendap-endap menegakkan hak.

Ahoi.

**) Muhammad Joni, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekjen PP IKA USU.

[Red]

Berita Terkini