Tujuh Babak Intervensi Ala Menkes BGS

Breaking News
- Advertisement -

Ketika Seorang Menteri Mengguncang Tiang Konstitusi

Oleh: Muhammad Joni

Mudanews – Opini | Jangan baca setengah. Anda akan rugi. Ada kalimat-kalimat yang, jika keluar dari mulut pejabat publik, ibarat puntung rokok yang dilemparkan ke ladang kering: sekali jatuh, api membumbung, merembet, dan membakar fondasi yang seharusnya tak disentuh.

Dan pekan ini, Menteri Kesehatan Budi G. Sadikin menyalakan api itu.

Bukan bara kecil.
Tapi nyala berbahaya — tepat di jantung bangunan negara hukum.

BABAK I – Ketika Seorang Menteri Menendang Gerbang MK

Dalam rapat dengan Komisi X DPR (13/11/2025), Menkes BGS melontarkan kalimat yang seolah keluar dari naskah distopia:

“DPR ada wakil di MK tiga, tolong diimbau…”

Kalimat yang tidak seharusnya pernah ditulis, dipikirkan, apalagi terucap oleh pejabat negara.

BGS bukan sekadar salah bicara. Ia menembus garis merah konstitusi dengan kepolosan yang justru menakutkan. Ia meminta DPR “mengimbau” hakim Mahkamah Konstitusi—terang-terangan, tanpa ragu, seolah itu bukan tindakan gelap yang memalukan.

Ini bukan blunder.
Ini bukan selip lidah.
Ini serangan verbal terhadap independensi kekuasaan kehakiman.

BABAK II – Kebodohan yang Berbahaya

Dalam negara hukum, judicial independence itu suci.
Bukan simbol. Bukan jargon.
Ia adalah pagar hidup yang melindungi rakyat dari kesewenangan kekuasaan.

Dan BGS merobek pagar itu dengan satu kalimat.

Ia menganggap hakim MK masih “wakil DPR”.
Ia menganggap DPR bisa “mengimbau” hakim.
Ia menganggap MK sekadar bidak politik yang menunggu aba-aba dari Senayan.

Cara pikir seperti ini bukan sekadar dangkal.
Ini mengkhianati logika bernegara.

Hakim MK, begitu diangkat, melepaskan identitas lembaga pengusulnya.
Mereka bukan lagi “orang DPR”, “orang Presiden”, atau “orang MA”.

Mereka milik konstitusi.
Titah mereka berdiri di atas segala kepentingan.

Jika seorang menteri menganggap hakim bisa ditelepon, diarahkan, atau “dibantu”—itulah momen ketika republik layak ketakutan.

BABAK III – Menyeret DPR ke Jurang yang Tidak Seharusnya

Ironisnya, BGS tampak tidak sadar bahwa ucapannya juga menyeret DPR ke ruang gelap.

Jika DPR mengikuti “imbauan” itu?
Hancur sudah marwahnya.

DPR tidak boleh, dan tidak boleh dicurigai, sebagai lembaga yang mengarahkan hakim.
DPR bukan operator di balik layar MK.

Begitu DPR melangkah ke ruang intervensi, runtuh reputasinya, tercoreng sejarahnya.

Dan semuanya berawal dari satu kalimat sembrono seorang menteri.

BABAK IV – Keluhan Menkes: Potret Ketidaktahuan yang Mengancam

BGS mengeluhkan UU Kesehatan yang sering digugat ke MK.
Ia terdengar seperti menganggap judicial review sebagai teror, bukan mekanisme kontrol rakyat.

Ini logika kekuasaan—bukan logika negara hukum.

UU digugat karena bermasalah.
Digugat karena prosesnya cacat.
Digugat karena substansinya goyah.
Digugat karena masyarakat mencium ancaman di dalamnya.

Gugatan bukan sabotase.
Gugatan adalah koreksi agar negara tetap di rel konstitusi.

Menkes boleh tidak hafal pasal.
Tapi Menkes tidak boleh tidak tahu batas kewenangannya.

BABAK V – Ancaman yang Tidak Boleh Diremehkan

Jangan keliru: kalimat BGS bukan sekadar buruk. Ia membangun preseden mematikan.

Jika seorang menteri boleh meminta hakim “diimbau”, maka lembaga lain bisa meminta hal yang sama.
Jika pola ini dianggap biasa, putusan MK kehilangan wibawa.
Dan ketika MK runtuh, konstitusi tinggal simbol.

Republik ambruk perlahan—bukan lewat kudeta, tetapi lewat normalisasi intervensi.

Ini bukan fiksi ala Grisham.
Ini ancaman nyata.

BABAK VI – Garis yang Tidak Boleh Dilintasi

Pemerataan dokter spesialis itu penting.
Tetapi tidak ada program, sebesar apa pun, yang boleh dijadikan alasan untuk mencampuri peradilan konstitusi.

BGS harus tahu:

Perbaikan kebijakan adalah tugas eksekutif.

Perbaikan UU adalah tugas pembentuk UU.

Pembelaan di pengadilan adalah tugas jaksa pemerintah.

Tetapi mengatur hakim MK?
Itu bukan domainnya.
Tidak sah. Tidak patut. Tidak boleh diucapkan.
Dan tidak boleh dibiarkan.

BABAK VII – Peringatan Terakhir untuk Negara

Presiden harus waspada.
DPR harus menjaga martabatnya.
Publik harus bersuara lantang.

Independensi MK bukan milik sembilan hakim itu saja.
Independensi MK adalah jaminan bahwa rakyat tidak ditaklukkan oleh kekuasaan absolut.

Jika Menkes resah karena gugat-gugatan, itu bukan salah MK.
Itu tanda keras bahwa UU Kesehatan rapuh dan perlu dibedah total.

EPILOG – Demi Republik yang Tidak Tergelincir

Negara hukum berdiri karena tiga cabang kekuasaan menjaga jarak dan saling menghormati wilayah masing-masing.

Ketika seorang menteri mencoba menjarah wilayah yudikatif, kita sedang berdiri di tepi jurang yang licin menuju otoritarianisme.

Karena itu saya tegaskan—tanpa tedeng aling-aling:

Urusan konstitusi bukan urusan Menkes.
Menkes tidak boleh menyentuh hakim MK.
Tidak boleh “mengimbau”. Tidak boleh “meminta tolong”.
Tidak boleh membayangkan hakim bisa diarahkan.

Itu intervensi.
Itu pelanggaran.
Itu bahaya.

Dengan tegaknya independensi MK, tegak pula republik ini.

Demi keselamatan konstitusi, Menkes BGS harus berhenti mengacau, berhenti menyeret DPR, dan berhenti menganiaya konstitusi dengan ucapan yang membakar negara hukum.

BGS harus berhenti.

Tabik.
Muhammad Joni, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekjen PP IKA USU.

[Red]

Berita Terkini