𝐋𝐮𝐤𝐚 𝐋𝐚𝐦𝐚 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐊𝐞𝐮𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢
Oleh : Drs, Muhammad Bardansyah. Ch.Cht
Mudanews – Opini | Selama puluhan tahun, korupsi telah menjadi luka menganga dalam perjalanan ekonomi Indonesia. Ia bukan sekadar pelanggaran moral, melainkan penyakit struktural yang menggerogoti kemampuan negara untuk membiayai masa depannya.
Di tengah keterbatasan anggaran pembangunan, beban utang, dan ketergantungan pada pajak, ada satu sumber dana besar yang sering terlupakan: uang hasil korupsi yang hilang dari kas negara.
Gagasan ini mungkin terdengar idealis, bahkan utopis. Namun, jika dilihat dari angka dan realitasnya, potensi tersebut tidak bisa diabaikan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, nilai kerugian negara akibat korupsi mencapai ratusan triliun rupiah, jumlah yang — bila dipulihkan bahkan hanya separuhnya — dapat menjadi bahan bakar pembangunan nasional.
𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐧𝐠𝐤𝐚: 𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐃𝐞𝐤𝐚𝐝𝐞 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐚𝐡𝐚𝐥
Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam periode 2015 hingga 2024, tercatat lebih dari 1.000 kasus korupsi besar dan menengah ditangani di berbagai level — dari kepala daerah hingga menteri.
Total kerugian negara yang tercatat secara resmi mencapai lebih dari Rp 500 triliun, belum termasuk kerugian yang belum berhasil dihitung akibat proses hukum yang belum selesai.
Untuk memberi gambaran sederhana:
– Antara 2015–2017, kerugian negara akibat korupsi diperkirakan mencapai sekitar Rp 168 triliun, dengan dominasi kasus suap proyek dan pengadaan barang/jasa.
– Pada 2018–2020, nilainya melonjak menjadi sekitar Rp 250 triliun, seiring meningkatnya jumlah kasus korupsi di daerah dan BUMN.
– Antara 2021–2024, meskipun jumlah operasi tangkap tangan (OTT) KPK menurun, nilai kasus meningkat tajam karena melibatkan korupsi sistemik di sektor pajak, sumber daya alam, dan bansos. Estimasi total kerugian negara selama periode ini mencapai Rp 100–120 triliun.
Jika dijumlahkan secara konservatif, total kerugian 10 tahun terakhir (2015–2024) berkisar antara Rp 500–550 triliun. (Bisa lebih , angka ini saya comot berdasarkan data yang tersedia saja )
Sebagai perbandingan, angka ini setara dengan hampir 20% dari total APBN 2025, atau cukup untuk membangun sekitar 4.000 rumah sakit baru, 50.000 sekolah dasar, atau membiayai pendidikan tinggi gratis selama satu dekade.
𝐈𝐧𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐨𝐥𝐚: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐞𝐩𝐚𝐥𝐚 𝐃𝐚𝐞𝐫𝐚𝐡 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐊𝐨𝐫𝐩𝐨𝐫𝐚𝐬𝐢
KPK mencatat bahwa pola korupsi di Indonesia tidak lagi hanya dilakukan individu, tetapi melibatkan jaringan yang kompleks antara pejabat publik, swasta, dan birokrasi.
Selama satu dekade terakhir:
– Lebih dari 300 kepala daerah terjerat kasus korupsi.
– Puluhan anggota DPR dan DPRD divonis karena gratifikasi dan suap politik.
– Belasan pejabat kementerian dan lembaga terlibat dalam korupsi proyek besar, dari infrastruktur hingga bansos pandemi.
Korupsi tidak lagi bersifat “kasus perorangan”, melainkan menjadi mekanisme informal kekuasaan.
ICW (2024) menyebutkan bahwa setiap tahun Indonesia kehilangan rata-rata Rp 50–60 triliun akibat korupsi, baik dalam bentuk penyelewengan APBN, pengadaan barang/jasa fiktif, maupun suap dalam perizinan.
Angka itu setara dengan dua kali lipat anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2023. Dalam perspektif ekonomi makro, kebocoran sebesar itu menciptakan efek domino: inflasi biaya proyek, rendahnya kualitas layanan publik, dan ketimpangan ekonomi antardaerah.
𝐔𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐇𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐥𝐮𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐫𝐥𝐮𝐩𝐚𝐤𝐚𝐧
Uang hasil korupsi, secara hukum, adalah aset negara yang hilang.
Namun, sayangnya, tingkat pemulihan aset (asset recovery) di Indonesia masih rendah.
Berdasarkan laporan PPATK dan Kejaksaan Agung (2023), hanya sekitar 20–25% dari total kerugian negara akibat korupsi yang berhasil dipulihkan melalui mekanisme penyitaan dan pengembalian ke kas negara.
Artinya, dari estimasi Rp 500 triliun uang korupsi dalam satu dekade terakhir, sekitar Rp 400 triliun masih “hilang di jalan.”
Andai saja separuh dari jumlah itu — sekitar Rp 200 triliun — dapat dipulihkan, dampaknya luar biasa besar bagi keuangan nasional.
Sebagai ilustrasi:
– Rp 200 triliun setara dengan 40% anggaran infrastruktur nasional tahun 2025.
– Jumlah itu juga cukup untuk membiayai subsidi pendidikan dan beasiswa bagi 10 juta mahasiswa selama lima tahun.
– Atau bisa menutup defisit anggaran nasional selama satu tahun penuh.
Dengan kata lain, uang yang “dikorupsi” selama ini sejatinya bisa menjadi solusi keuangan nasional.
𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐮𝐭𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧.
Setiap tahun, pemerintah menghadapi dilema klasik antara membangun dan berutang.
Dalam APBN 2025, misalnya, defisit anggaran diproyeksikan mencapai Rp 522 triliun. Pemerintah harus menutupinya melalui pinjaman dan penerbitan surat utang negara.
Namun, bayangkan jika separuh dari uang hasil korupsi selama satu dekade terakhir dapat dipulihkan.
Rp 200–250 triliun dana segar tanpa utang bisa:
– Menambah dana pendidikan hingga 30%.
– Membangun 100.000 rumah layak huni untuk masyarakat miskin.
– Menyediakan internet cepat bagi seluruh sekolah di Indonesia.
– Memperluas akses air bersih dan fasilitas kesehatan di 514 kabupaten/kota.
Potensi ini menunjukkan bahwa melawan korupsi bukan hanya urusan moral atau hukum, tetapi juga strategi ekonomi paling realistis untuk memperkuat keuangan negara.
𝐈𝐧𝐬𝐭𝐢𝐭𝐮𝐬𝐢 𝐝𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐢𝐦𝐩𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐉𝐚𝐥𝐚𝐧
Sayangnya, selama periode 2020–2024, publik menyaksikan penurunan kepercayaan terhadap lembaga antikorupsi.
Revisi UU KPK tahun 2019 yang membatasi kewenangan penyadapan dan penindakan membuat efektivitas lembaga itu menurun drastis.
Data KPK menunjukkan jumlah OTT turun dari 121 kasus (2018) menjadi hanya 62 kasus (2023).
Di sisi lain, PPATK dan Kejaksaan Agung kini memainkan peran penting dalam pemulihan asset
PPATK berhasil melacak lebih dari Rp 150 triliun transaksi mencurigakan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sepanjang 2023, sementara Kejaksaan mencatat pengembalian uang negara senilai Rp 29 triliun dari berbagai kasus mega-korupsi seperti Jiwasraya, ASABRI, dan BLBI.
Namun, angka-angka ini baru permulaan. Sebab, nilai total potensi dana yang masih bisa diselamatkan jauh lebih besar. Jika sistem hukum, lembaga pengawasan, dan mekanisme internasional dapat bekerja lebih terintegrasi, pemulihan aset korupsi bisa menjadi instrumen fiskal alternatif bagi negara.
𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐀𝐧𝐭𝐢𝐤𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐢𝐧𝐝𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞 𝐏𝐞𝐦𝐮𝐥𝐢𝐡𝐚𝐧
Pendekatan klasik dalam pemberantasan korupsi sering berhenti pada penindakan dan hukuman. Padahal, dari sisi ekonomi, yang lebih penting adalah bagaimana uang yang hilang bisa kembali ke negara.
Beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh:
1. Penguatan Unit Pemulihan Aset Nasional. Indonesia perlu memiliki lembaga khusus di bawah koordinasi Kemenkeu, KPK, dan Kejaksaan yang fokus mengelola dana hasil pemulihan korupsi — bukan sekadar menunggu hasil vonis pengadilan.
2. Kerjasama lintas negara. Banyak dana hasil korupsi disembunyikan di luar negeri. Melalui Mutual Legal Assistance (MLA) dan kerja sama dengan FATF, Indonesia dapat melacak dan menarik kembali aset yang tersebar di yurisdiksi asing.
3. Transparansi publik dan pelibatan masyarakat. Mekanisme pelaporan publik yang transparan bisa mempercepat pemulihan aset. Misalnya, portal daring untuk memantau dana hasil korupsi yang telah dipulihkan dan penggunaannya untuk proyek publik.
4. Konversi hasil korupsi menjadi “dana pembangunan bersih”
Alih-alih hanya disetor ke kas negara, dana hasil pemulihan bisa diarahkan langsung untuk membiayai program konkret seperti pembangunan sekolah, fasilitas kesehatan, atau pemberdayaan desa.
𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐌𝐨𝐫𝐚𝐥 𝐤𝐞 𝐊𝐞𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤𝐚𝐧: 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐧𝐭𝐢𝐤𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 𝐒𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐈𝐧𝐯𝐞𝐬𝐭𝐚𝐬𝐢
Kebanyakan wacana antikorupsi berhenti pada ranah moralitas: korupsi dianggap dosa sosial, pengkhianatan rakyat, dan tindakan tercela. Semua itu benar.Namun, dalam konteks ekonomi nasional, antikorupsi juga adalah investasi.
Investasi dalam arti paling konkret:
Setiap rupiah yang kembali ke kas negara adalah modal pembangunan.
Setiap proyek yang bersih dari suap adalah efisiensi anggaran. Setiap birokrasi yang jujur adalah kepercayaan pasar.
Negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura membuktikan bahwa keberhasilan reformasi antikorupsi tidak hanya menumbuhkan moral publik, tetapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Jika Indonesia mampu memulihkan 50% dari total uang hasil korupsi selama satu dekade terakhir, itu setara dengan tambahan PDB sekitar 1,5% per tahun — cukup untuk mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan.
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩 – 𝐔𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐇𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠, 𝐇𝐚𝐫𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐦𝐛𝐚𝐥𝐢
Solusi keuangan Indonesia tidak selalu harus datang dari utang luar negeri, pajak baru, atau penghematan ekstrem.
Kadang, jawabannya sudah ada di depan mata: mengambil kembali uang rakyat yang hilang karena korupsi.
Rp 500 triliun bukan sekadar angka di laporan hukum. Itu adalah sekolah yang tak jadi dibangun, jalan yang tak pernah diaspal, rumah sakit yang tak selesai berdiri.
Dan jika bahkan setengah dari uang itu bisa kembali, Indonesia tidak hanya menyembuhkan luka ekonominya — tetapi juga memulihkan kepercayaannya sendiri.
𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
– Indonesia Corruption Watch. (2024). Laporan Tren Penindakan dan Kerugian Negara Akibat Korupsi 2015–2024. https://antikorupsi.org
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2024). Laporan Tahunan KPK 2015–2024. https://www.kpk.go.id
– Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). (2023). Laporan Tahunan PPATK 2023. https://www.ppatk.go.id
– Kejaksaan Agung Republik Indonesia. (2024). Data Pemulihan Aset dan Pengembalian Keuangan Negara 2019–2024. https://www.kejaksaan.go.id
– Transparency International. (2024). Corruption Perceptions Index 2015–2024. https://www.transparency.org/en/cpi
– Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Data APBN, Defisit Fiskal, dan PDB Indonesia 2015–2025. https://www.bps.go.id
[Red]

