Oleh: Muhammad Joni
Mudanews-Opini | Saya merenungkan opini siang ini dari lekok kota Medan. Seorang kawan memesan satu pertanyaan hukum nun dari kota Bandung, seorang dokter ortopedi senior, dedengkot IDI, dengan kalimat singkat tapi tajam mengajukan pertanyaan tunggal tapi fundamental yang nyata dan tak mengada-ada:
“Apa masalah etika kedokteran hari-hari ini, Pak Lawyer Joni?” Chat itu membuat saya agak lama bercakap dengan nurani; terlarut dalam renungan pagi di ujung bulevar Dr. Mansur van Deli.
Pertanyaan dokter itu bahasa sederhana, tapi tajam menembus lebih dalam dari jarum suntik ke pembuluh vena nurani.
Saya terdiam beberapa jenak sebelum meng-upload ini. Pertanyaan itu bukan untuk dijawab dengan teorisasi, tapi direnungkan dengan perkakas hati.
Lalu sontak saya menulis di catatan kecil: Etika kedokteran hari ini bermula dari tiga persimpangan besar: Mesin (AI), Modal (korporasi rumah sakit), dan Nurani (profesi dokter).
1. Dari Sumpah ke Sistem
Dulu, profesi kedokteran berdiri di atas satu kata suci: pengabdian. Setiap dokter bersumpah, bukan kepada negara, bukan kepada korporasi, melainkan kepada kemanusiaan.
Sumpah Hipokrates bukan sekadar teks, tetapi iman profesi—sebuah kontrak moral bahwa manusia yang sakit harus lebih dulu disembuhkan sebelum bicara soal biaya.
Namun kini, lanskapnya berubah. Saya terkenang tiori siklus Ibnu Khaldun. Etika kedokteran bukan geliat dalam ruang hampa tapi ruang sosial yang bersua dan bergaul-gaul dengan ragam kelakuan sosial masyarakat, modal, penguasa, teknologi, bahkan alam semesta.
Sumpah itu harus berjalan di atas sistem yang semakin mekanistik. Rumah sakit berubah jadi korporasi kesehatan. Pasien berubah jadi objek billing. Dokter berubah jadi “penanggung risiko finansial” dari keputusan medisnya sendiri.
Tekanan datang dari semua arah:
Manajemen rumah sakit menuntut efisiensi dan utilisasi alat. BPJS Kesehatan menekan tarif lewat sistem coding, dan pasien—yang kian kritis—menuntut kesempurnaan hasil.
Di tengahnya, dokter berdiri sendirian, seperti pengacara pemberani dalam kisah terkuak pun lelaku under cover kehidupan manusia, berhadapan dengan sistem besar yang tak sepenuhnya ia kendalikan.
2. Etika di Era AI dan Industri Kesehatan
Kita memasuki babak baru—ketika kecerdasan buatan (AI) mulai ikut memutuskan apa yang dulu hanya bisa diputuskan oleh nurani manusia.
AI membaca hasil rontgen lebih cepat dari dokter, menghitung dosis lebih akurat, memprediksi penyakit lewat algoritma. Tapi satu hal yang belum bisa dilakukan mesin: merasakan ketakutan pasien.
Etika kedokteran yang sejati bukan hanya soal diagnosis benar, tapi juga empati yang tepat. AI bisa memindai tumor, tapi tak bisa mendengar isak seorang ibu yang baru menerima hasil biopsi.
Ketika profesi kedokteran menyerahkan keputusan moral kepada mesin, di situlah etika kehilangan wajah manusianya.
Bukan berarti AI musuh. Namun, AI tak boleh menggantikan hati. Dokter bukan sekadar penerjemah algoritma, tetapi penjaga makna kehidupan.
3. Korporasi Rumah Sakit dan Kapitalisme Etik
Masalah etika hari ini juga berakar pada komersialisasi sistem kesehatan. Ketika rumah sakit menjelma jadi bisnis, etika dokter menjadi sandera target pendapatan. Kata “pelayanan” sering dikalahkan oleh “utilisasi”.
Alat kesehatan harus berputar cepat agar amortisasi tertutup. Operasi harus naik, tindakan harus penuh, kamar harus terisi.
Di ruang rapat, grafik kinerja menjadi kitab baru yang menentukan keputusan klinis. Dan di ruang tindakan, dokter berperang dengan batinnya sendiri—antara mematuhi standar etik profesi atau memenuhi target korporasi.
Etika yang dulu hidup di hati, kini harus bernegosiasi dengan spreadsheet dan laporan audit. Inilah kapitalisme mendesak ketahanan etik: ketika moral profesi harus berjuang taknak tunduk kepada neraca laba. Dan itu mulia.
4. UU Kesehatan dan Konstruksi yang Terbalik
Lalu ada UU Kesehatan. Sebuah regulasi besar yang semestinya menjadi pelita bagi sistem yang adil. Namun justru di sinilah paradoks bermula.
UU ini, dalam semangatnya menata ulang sistem kesehatan nasional, malah menempatkan profesi dokter bukan sebagai subjek utama pelayanan, melainkan sebagai komponen administratif dari sistem birokrasi kesehatan.
Di bawah naungan hukum baru itu, dokter lebih sering dilihat sebagai operator teknis, bukan penjaga nilai.
Mereka diawasi, dikontrol, dan dikalkulasi—bukan karena niat jahat negara, tapi karena paradigma hukum kita terlalu teknokratik dan korporatis.
Padahal, inti dari kesehatan bukanlah “sistem”, melainkan “manusia”. Dan dokter, dalam makna etiknya yang murni, adalah penjaga manusia dari reduksi sistem yang buta nilai.
5. Antara Coding BPJS dan Kendali Mutu
Di era Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS menjadi kekuatan besar yang menentukan arah layanan kesehatan. Koding diagnosis menjadi medan pertarungan baru—antara interpretasi medis dan kendali biaya.
Namun dalam banyak kasus, coding menggantikan klinik. Yang menulis kode seolah lebih berkuasa dari yang mendengar detak jantung pasien.
Sistem menekan biaya, tapi sering mengorbankan keutuhan etik. Dokter ingin memberi terapi terbaik, namun biaya tidak ter-cover.
Dokter ingin memesan pemeriksaan penting, tapi apa daya sistem menolak klaim. Dilema ini nyata: antara profesi dan prosedur, antara etik dan efisiensi.
6. Di Mana Nurani Berpihak
Etika kedokteran hari ini bukan lagi soal hitam-putih benar-salah. Ranah etika telah terbawa masuk menjadi perang sunyi antara nurani dan algoritma, antara hati dan neraca laba.
Namun saya percaya, di tengah segala tekanan, masih terlalu banyak dokter yang bertahan dan loyal di sisi yang benar.
Mereka yang masih tabah menatap pasien seperti manusia, bukan pelanggan. Mereka yang berani berkata “tidak” pada intervensi sistem yang menyalahi etik. Mereka yang lebih memilih reputasi moral daripada bonus tahunan.
Etika, sesungguhnya, tidak mati.
Mungkin hanya terluka—oleh kelakuan sistem yang lupa bahwa kesehatan bukan industri, tapi kemanusiaan.
Anehnya konsideran UU Kesehatan menjadikan industri kesehatan seakan lupa pasal hak konstitusional atas layanan kesehatan dan jaminan sosial.
7. Menutup Luka Etik: Kembali ke Akar
Maka, menjawab pertanyaan sang dokter senior nun dari Bandung itu,
saya Muhammad Joni hanya bisa berkata: “Masalah etika kedokteran hari ini adalah ketika dokter dipaksa menjadi alat dari sistem yang seharusnya ia kendalikan”.
Etika bukan lagi pilihan, tapi perlawanan. Perlawanan terhadap sistem yang menukar empati dengan efisiensi, menukar sumpah dengan spreadsheet, menukar manusia dengan kode klaim.
Etika kedokteran harus kembali ke akar:
bahwa setiap tindakan medis adalah tindakan moral. Dan moral tak bisa diukur dengan tarif, tak bisa digantikan mesin, tak bisa disubkontrakkan pada algoritma.
Seorang dokter sejati, meski dibungkam sistem, tetap punya ruang kebebasan terakhir: hatinya. Dan selama hati itu masih berpihak pada pasien,
etika kedokteran Indonesia tetap keren. Tahniah 75 tahun Ikatan Dokter Indonesia. Berkarya Membangun Keswhatan Bangsa.
Tabik. (Adv.Muhammad Joni, SH.MH).
[Red[

