Mudanews.com-Opini | Ketika profesi wartawan kembali menjadi perbincangan di ruang Mahkamah Konstitusi, yang diuji sebenarnya bukan hanya pasal dalam undang-undang, tetapi sejauh mana negara hadir melindungi suara kebenaran.
Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) menggugat Pasal 8 UU Pers karena dianggap multitafsir dan tidak memberi kepastian hukum bagi wartawan.
Pasal itu menyebut wartawan memperoleh perlindungan hukum, tetapi penjelasannya menyatakan bahwa perlindungan tersebut berupa jaminan dari pemerintah dan/atau masyarakat. Kalimat yang terdengar baik, tapi tanpa gigi hukum yang jelas.
IWAKUM menilai, ketidakjelasan itu membuat wartawan rawan dikriminalisasi, seperti dalam kasus Muhammad Asrul dan Diananta Pramudianto.
Mereka menuntut agar Pasal 8 diberi tafsir yang menegaskan imunitas terbatas bagi wartawan — sepanjang karya jurnalistiknya dibuat dengan itikad baik dan sesuai Kode Etik Jurnalistik.
Pemerintah menolak tudingan itu.
Melalui Komdigi, pemerintah menilai Pasal 8 bukan multitafsir, melainkan norma terbuka yang memberi ruang fleksibilitas sesuai sistem hukum nasional.
Dirjen Komunikasi Publik dan Media, Fifi Aleyda Yahya, menegaskan perlindungan hukum tidak berarti kekebalan hukum.
Masalahnya, fleksibilitas itu sering kali tidak berjalan di lapangan.
Banyak aparat yang langsung menggunakan KUHP atau UU ITE tanpa mengacu dulu pada mekanisme Dewan Pers. Di sinilah muncul ruang kriminalisasi yang membuat wartawan kehilangan jaminan profesinya.
Jika MK menolak permohonan IWAKUM, besar kemungkinan MK akan memberi tafsir konstitusional baru bahwa wartawan tidak boleh dikriminalisasi selama menjalankan tugas jurnalistik sesuai UU Pers dan Kode Etik.
Perlindungan hukum bagi wartawan bukan soal privilese, melainkan kewajiban negara dalam menjaga hak publik untuk tahu.
Wartawan tidak meminta kekebalan, mereka hanya menuntut kepastian bahwa kebenaran tak berujung di meja interogasi.
Karena tanpa perlindungan yang nyata, kebebasan pers hanya akan menjadi slogan di atas kertas, sementara di lapangan — kebenaran tetap bisa dipidana.
Opini Hukum [IM]-Berdasarkan sidang MK perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 dan dokumen resmi Komdigi.

