FGD Ungkap Fakta OTT PUPR Sumut : Fee 5 Persen Dinilai Menyakitkan Rakyat

Breaking News
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – MEDAN | Fakta baru terungkap dari persidangan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Topan Ginting Cs dalam proyek pembangunan jalan Hutaimbaru–Sipiongot dan Sipiongot–batas Labuhanbatu. Dalam sidang dengan terdakwa Direktur Utama PT Dalihan Natolu Group (DNG), Akhirun Piliang alias Kirun, serta Direktur PT Rona Mora, Rayhan Piliang, disebutkan adanya fee sebesar 5 persen untuk Dinas PUPR.

Pengamat anggaran menilai, potongan fee tersebut merupakan praktik yang sangat menyakiti rakyat. Dari dua proyek jalan provinsi itu saja, pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru diselewengkan hingga mencapai lebih dari Rp68 miliar.

Temuan ini menjadi topik hangat dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Kantor Suluh Muda Inspirasi (SMI), Medan, pada Senin (6/10/2025). Acara tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya perwakilan Seknas FITRA, pengamat anggaran Elfenda Ananda, dan akademisi hukum Farid Wajdi, dengan moderator Direktur SMI, Kristian Simarmata.

FITRA: Pergeseran Anggaran Boleh, Tapi Harus Sesuai Aturan

Perwakilan Seknas FITRA, Siska Barimbing, menjelaskan bahwa pergeseran anggaran dalam tata kelola keuangan daerah merupakan hal yang lazim, sepanjang dilakukan sesuai ketentuan hukum.

“Dasar hukumnya tercantum dalam Pasal 154 ayat (1) Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah,” kata Siska.

Menurutnya, pergeseran anggaran hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan DPRD dan maksimal satu kali dalam satu tahun anggaran. Namun, perubahan penjabaran APBD bisa dilakukan lebih dari sekali melalui Peraturan Kepala Daerah, selama tidak mengubah substansi Perda APBD.

Siska menambahkan, perubahan semacam itu wajib dilaporkan kepada DPRD paling lambat satu bulan setelah ditetapkan. Ia juga menyinggung PMK Nomor 56 Tahun 2025 yang memungkinkan efisiensi belanja dalam APBN.

“Hanya saja, dalam kasus ini, pergeseran dilakukan sangat singkat—hanya dua hari. Ini menimbulkan pertanyaan besar dan perlu dibuka kotak pandora-nya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi,” tegas Siska.

Elfenda: Dana Bencana Tidak Seharusnya Digeser

Pengamat anggaran sekaligus Dewan Pendiri SMI, Elfenda Ananda, menilai pergeseran anggaran proyek jalan yang terseret OTT tersebut tampak tergesa-gesa. Ia mempertanyakan dasar hukum yang digunakan dalam pengalihan dana tersebut.

Elfenda menjelaskan, dasar pergeseran dana bersumber dari surat Bupati Nias Barat Nomor 3002/644/2025 tanggal 7 Maret 2025 tentang bantuan perbaikan infrastruktur akibat bencana alam.

“Seharusnya pengeluaran itu menggunakan pos belanja tidak terduga (BTT), bukan dialihkan ke pos Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara,” tegasnya.

Ia menambahkan, belanja jalan dan jaringan mengalami lonjakan signifikan hingga 104 persen, dari Rp669 miliar pada masa Pj Gubernur Fatoni (Pergub No. 6/2025) menjadi Rp1,36 triliun pada masa Gubernur Bobby (Pergub No. 25/2025).

Elfenda juga menyoroti kesaksian terdakwa di persidangan yang menyebut adanya fee 4 persen untuk Kepala Dinas PUPR dan 1 persen untuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dengan sandi “sudah tahu kebiasaan lama.”

“Kalau setiap proyek di PUPR Sumut dipotong seperti itu, bisa dibayangkan besarnya kerugian daerah. Untuk kasus ini saja, 5 persen dari Rp1,36 triliun sudah sekitar Rp68 miliar. Itu baru dua proyek. Yang tidak terungkap berapa lagi?” ujarnya prihatin.

Elfenda juga menyoroti keterangan Ketua TAPD (Sekda) yang dinilai berbelit-belit di persidangan, dan menduga ada sesuatu yang disembunyikan oleh mantan Pj Sekda tersebut. Ia meminta aparat penegak hukum mendalami hal itu.

Farid Wajdi: Jaksa Harus Jalankan Perintah Hakim

Sementara itu, akademisi hukum sekaligus mantan Komisioner Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi, menyoroti sikap Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tidak menindaklanjuti perintah majelis hakim dalam persidangan.

Menurut Farid, majelis hakim telah memerintahkan agar diterbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru terhadap beberapa pihak, seperti Pj Sekda Efendi Pohan dan Yasir Ahmadi, yang dinilai tidak jujur dalam memberi keterangan.

“Apapun yang disampaikan majelis hakim di persidangan merupakan perintah yang wajib dilaksanakan tanpa menunggu surat perintah tertulis,” tegasnya.

Farid menekankan, kepatuhan terhadap perintah hakim merupakan tolok ukur integritas hukum dan cerminan penegakan keadilan. Ia mengajak masyarakat turut mengawal proses hukum kasus ini.

“Kasus ini harus dibuka seterang-terangnya. Masyarakat perlu mendukung majelis hakim agar semua pihak yang terlibat diseret dan diadili secara adil serta transparan,” pungkasnya.

🖊️ [Red] – 📄Berdasarkan FGD Suluh Muda Inspirasi (SMI), Medan.

Berita Terkini