Mudanews.com OPINI – Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, adalah tokoh pertama yang berani mendorong pemisahan Polri dari TNI. Langkah ini sejalan dengan tuntutan Reformasi 1998, menjadikan Polri aparat sipil yang demokratis, profesional, dan netral dari politik.
Juru Bicara Resmi Presiden RI, KH Abdurahman Wahid kala itu, Adhie Massardi, mengingatkan bahwa cita-cita mahasiswa dan rakyat diwujudkan melalui Tap MPR No. VI/2000 dan Ketetapan MPR No. VII/2000. Aturan itu menegaskan Polri bukan lagi bagian TNI, melainkan institusi sipil yang berfungsi memelihara keamanan, melayani, dan menegakkan hukum.
Gus Dur berulang kali menegaskan, polisi tidak boleh jadi “alat pemukul” penguasa. Slogan “Polisi Sipil” pun diperkenalkan sebagai arah baru: polisi bukan kekuatan yang menakutkan, melainkan pengayom rakyat.
Namun, idealisme itu tak bertahan lama. Pada 2001, Gus Dur memerintahkan pencopotan Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro yang dinilai tak loyal pada agenda reformasi. Instruksi itu ditolak mentah-mentah. Untuk pertama kalinya, Polri secara terbuka membangkang presiden sebuah preseden yang mencederai prinsip supremasi sipil.
Puncaknya terjadi saat Sidang Istimewa MPR 23–27 Juli 2001 digelar untuk menjatuhkan Gus Dur. Polri di bawah Bimantoro bukannya netral, malah berpihak pada Megawati Soekarnoputri. Sejak itu, Polri keluar dari rel reformasi dan kembali menjadi instrumen politik.
Perlawanan terhadap Gus Dur menandai kegagalan awal reformasi Polri. Momentum membangun institusi sipil independen hilang. Polisi lebih loyal kepada kekuasaan politik daripada konstitusi dan hukum.
Dua dekade berlalu, bayang-bayang sejarah itu kembali muncul. Presiden Prabowo Subianto kini membawa mandat besar, membersihkan Polri dari kultur transaksional, koruptif, serta menariknya kembali ke khitah sebagai aparat sipil netral.
Namun tanda resistensi mulai tampak. Munculnya dualisme tim reformasi Polri ditafsir sebagai bentuk “perlawanan senyap”.
Jika dulu perlawanan bersifat terbuka Bimantoro terang-terangan menolak perintah presiden, kini bentuknya bisa lebih licin, memperlambat kebijakan, menggembosi instruksi dari dalam, atau memainkan opini publik untuk mengaburkan arah reformasi. Bahaya perlawanan senyap justru lebih serius karena bekerja diam-diam, tapi melemahkan agenda reformasi dari akar.
Sejarah mengajarkan satu hal: saat Polri tidak loyal pada agenda reformasi, yang runtuh bukan hanya presiden, melainkan juga marwah institusi itu sendiri.
Karena itu, ujian terberat Prabowo bukan sekadar meneken regulasi atau membentuk tim reformasi, melainkan memastikan Polri tunduk pada konstitusi dan hukum, bukan pada elite politik.
Jika gagal, reformasi Polri kembali hanya akan jadi slogan kosong. Tapi jika berhasil, Prabowo bisa menuntaskan warisan yang dulu dimulai Gus Dur, membangun Polri sipil yang independen, profesional, dan dipercaya rakyat.
Kini, pertanyaannya jelas apakah Polri berani kembali ke rel reformasi, atau sekali lagi memilih jalan perlawanan kali ini dalam versi yang lebih senyap dan berbahaya?
Penulis: Agusto Sulistio
Jakarta, Minggu 28 September 2025, 20:45 Wib.