Oleh: Aznil Tan (Aktivis 98)
Mudanews.com OPINI – Saya masih ingat jelas ketika kami, mahasiswa, turun ke jalan pada peristiwa 1998 menuntut reformasi. Meski rakyat diliputi ketakutan terhadap sosok Soeharto yang memerintah dengan tangan besi, tuntutan reformasi itu menggaung kuat, lahir dari jeritan nurani rakyat yang lelah dan jenuh menghadapi otoritarianisme yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Menariknya, Presiden Soeharto saat itu mencoba merespons tuntutan reformasi dengan langkah simbolik. Ia merombak beberapa posisi kabinet, mengundang tokoh nasional seperti Gus Dur, Cak Nur, dan Emha Ainun Nadjib untuk berdialog, serta mengusulkan pembentukan Dewan Reformasi.
Pertanyaannya: apakah rakyat langsung percaya? Tentu saja tidak. Mayoritas menolak karena tidak percaya pada keseriusan langkah tersebut.
Rakyat tidak yakin reformasi bisa lahir dari tangan penguasa yang justru dianggap biang dari masalah itu sendiri. Bagaimana mungkin orang yang selama puluhan tahun mempertahankan status quo, tiba-tiba menjadi juru kunci reformasi?
Akhirnya, meski Soeharto mencoba tampil sebagai motor perubahan, rakyat justru semakin kencang menuntut agar ia turun. Reformasi hanya bisa berjalan tanpa campur tangan rezim Soeharto. 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri, membuka jalan bagi perubahan yang sesungguhnya.
Sejarah membuktikan bahwa reformasi hanya bisa terjadi dari luar kekuasaan, bukan dari dalam kekuasaan.
Sejarah reformasi 1998 masih menyisakan gema yang relevan hingga saat ini, khususnya dalam konteks agenda reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Desakan agar institusi kepolisian direformasi telah lama bergema di ruang publik, seiring munculnya berbagai kasus yang mencoreng kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
Namun, respons yang muncul justru mirip dengan pola lama: pemerintah membentuk Komite Reformasi, sementara Kapolri turut menginisiasi Tim Transformasi Reformasi Polri. Dari sisi logika publik, situasi ini tampak janggal.
Bagaimana mungkin institusi yang menjadi objek kritik sekaligus bertindak sebagai subjek yang mengatur arah reformasi? Analogi yang sering muncul adalah ibarat seorang pasien sakit keras diminta meracik obat untuk dirinya sendiri, padahal ia belum tentu mengakui penyakit yang dideritanya.
Publik pun bertanya-tanya, apakah ini wujud keseriusan atau justru siasat untuk mereduksi tujuan reformasi Polri?
Analisis Teori Reformasi
Dalam kerangka akademis, persoalan reformasi dapat dipahami sebagai dilema antara reformasi internal dan eksternal.
Reformasi yang sepenuhnya dilakukan dari dalam institusi kerap berakhir pada langkah-langkah lips service atau kosmetik, sekadar perubahan nomenklatur, pembentukan tim ad-hoc, atau slogan-slogan sementara yang tidak menyentuh akar persoalan.
Ketika Kapolri mengumumkan pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri lewat Surat Perintah yang diteken 17 September 2025, reaksi publik muncul cepat dan beragam. Polri menegaskan bahwa tim ini bukan untuk menggantikan Komite Reformasi bentukan Presiden, melainkan untuk mempercepat dan mengakomodir proses reformasi.
Namun, banyak pihak menilai narasi itu sebagai upaya mereduksi urgensi reformasi, karena dalam praktiknya tim internal Polri berpotensi mengambil ruang inisiatif dan legitimasi, sekaligus menggeser perhatian publik dari kelemahan struktural hingga fokus pada evaluasi administratif semata.
Kecurigaan publik muncul dari beberapa faktor. Pertama, pembentukan tim internal dipandang sebagai strategi defensif: Polri tampak ingin menunjukkan bahwa mereka “sudah bergerak”, bahkan sebelum Komite Reformasi Presiden beroperasi.
Hal ini menimbulkan persepsi bahwa narasi reformasi sedang direbut dan kritik publik dibingkai ulang sebagai bagian dari kontrol internal, sehingga tekanan eksternal, yang biasanya efektif, dapat dilemahkan.
Kedua, publik melihat risiko bahwa tim internal ini bisa menjadi alat legitimasi tanpa kejelasan sanksi atau implementasi nyata. Evaluasi internal tanpa diikuti perombakan regulasi, revisi undang-undang, pemisahan kepentingan, atau pengurangan kewenangan yang rawan disalahgunakan, dapat membuat reformasi berhenti di level dokumen saja.
Ketiga, ada kekhawatiran bahwa tim internal dapat “membangkang” atau mengambil jarak dari arahan Komite Presiden, bahkan arahan Presiden sendiri, dengan alasan teknis-operasional, stabilitas organisasi, atau hambatan internal Polri.
Walaupun Polri membantah dan menyatakan tim bertujuan akselerasi dan akuntabilitas, publik tetap khawatir bahwa alasan tersebut menjadi topeng untuk mempertahankan status quo.
Keempat, ketidakjelasan komposisi tim dan transparansi mandat memperkuat kecurigaan. Beberapa laporan menyebut tim sebagian besar terdiri dari internal Polri (perwira), sementara belum jelas seberapa besar ruang diberikan bagi unsur masyarakat sipil, akademisi, pegawai non-perwira, atau institusi pengawas eksternal.
Ketidakjelasan ini membuka kemungkinan tim bekerja dalam lingkup yang aman bagi institusi, bukan sebagai agen perubahan yang menantang struktur.
Publik pun mempertanyakan apakah tim transformasi internal ini akan berani menegakkan reformasi yang dapat “menyakiti” kepentingan internal Polri — misalnya memecat anggota bermasalah, membongkar sistem promosi tidak transparan, atau menangani kasus pelanggaran HAM dan kekerasan aparat secara tegas.
Di sisi lain, Polri dan pendukung reformasi internal menekankan bahwa tim ini adalah bentuk tanggung jawab organisasi agar reformasi tidak berhenti pada jargon. Tanpa kerja internal, reformasi dari luar bisa jadi sia-sia karena institusi sendiri tidak siap menghadapi lonjakan tuntutan, atau bisa terjadi konflik internal yang kontraproduktif.
Dalam perspektif teori kekuasaan, sulit membayangkan sebuah institusi yang begitu kuat rela melucuti kekuatan dirinya sendiri. Analogi klasiknya: tidak ada pemilik pistol yang menyerahkan pistolnya untuk ditembakkan ke kepalanya sendiri.
Lembaga yang memiliki privilese kekuasaan, wewenang hukum, dan monopoli kekerasan sah cenderung mempertahankan status quo. Reformasi internal sering berisiko melahirkan simulasi perubahan, bukan perubahan substansial.
Polri, sebagai institusi dengan struktur hirarkis ketat dan akses luas terhadap alat negara, menghadapi dilema tersebut. Pembentukan tim internal justru mempertegas kecenderungan alami ini: alih-alih memfasilitasi transformasi, tim internal bisa berfungsi sebagai mekanisme pengaman untuk menghindarkan institusi dari guncangan.
Dengan kata lain, reformasi internal sering bekerja sebagai strategi penundaan, bukan strategi perombakan.
Inilah alasan mengapa reformasi sejati memerlukan tekanan eksternal yang kuat, pengawasan independen, dan kesediaan politik dari pucuk kekuasaan.
Tanpa reformasi dari luar, setiap janji reformasi berpotensi redup menjadi jargon administratif yang aman bagi institusi, tetapi gagal menjawab keresahan rakyat.
Belajar Reformasi Kepolisian dari Negara Lain
Belajar dari negara lain memberikan pelajaran berharga bagi reformasi kepolisian yang akan dilakukan di Indonesia. Di Hong Kong, lembaga kepolisian pernah dikenal korup dan kehilangan kepercayaan publik pada era 1960-an.
Pemerintah kemudian membentuk Independent Commission Against Corruption (ICAC), sebuah komisi independen yang benar-benar terpisah dari kepolisian. ICAC tidak hanya berwenang menyelidiki kasus korupsi di luar kepolisian, tetapi juga menindak aparat kepolisian sendiri.
Anggota kepolisian yang terbukti bersalah dapat dipecat, diproses hukum, dan dijatuhi hukuman penjara. Dengan pengawasan eksternal yang tegas ini, kepercayaan publik terhadap institusi negara dapat dipulihkan.
Di Amerika Serikat, berbagai skandal polisi yang melibatkan diskriminasi rasial mendorong lahirnya Civilian Review Boards atau dewan pengawas sipil di sejumlah kota. Dewan ini menampung laporan warga, melakukan investigasi independen, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah kota.
Walaupun efektivitasnya berbeda-beda di tiap kota, keberadaan mekanisme sipil menegaskan pentingnya kontrol eksternal dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Pengalaman Afrika Selatan pasca-runtuhnya apartheid juga menarik. Reformasi kepolisian di sana tidak hanya soal pembenahan struktur, tetapi juga transformasi budaya. Aparat yang terbukti bersalah diberhentikan atau dipindahkan, sementara pendidikan ulang dilakukan secara besar-besaran agar mereka meninggalkan mentalitas represif rezim lama dan mengadopsi nilai-nilai demokrasi.
Dalam beberapa kasus, anggota yang melanggar hukum diproses secara hukum. Hasilnya, meskipun belum sempurna, kepolisian di Afrika Selatan lebih diarahkan menjadi instrumen pelayanan publik, bukan alat politik.
Selain itu, beberapa negara mengambil langkah lebih tegas berupa pemecatan massal aparat kepolisian sebagai bagian dari reformasi institusi.
Di Georgia, Presiden Mikheil Saakashvili pada 2005 memecat sekitar 30.000 personel kepolisian, terutama dari kepolisian lalu lintas, untuk menanggulangi maraknya korupsi. Pemerintah kemudian merekrut polisi baru, memberikan pelatihan intensif, dan meningkatkan gaji untuk membangun institusi yang lebih bersih dan profesional.
Di Peru, Presiden Ollanta Humala pada 2011 memecat sekitar dua pertiga jajaran petinggi kepolisian, termasuk Kepala Kepolisian dan Kepala Satuan Pemberantasan Narkoba, sebagai langkah membersihkan institusi dari praktik ilegal dan penyalahgunaan wewenang.
Afrika Selatan, pada 2012, juga memecat Kepala Kepolisian Jenderal Bheki Cele terkait kasus korupsi penyewaan gedung, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi di tingkat tinggi.
Di Rusia, Presiden Vladimir Putin pada 2015 memecat lebih dari 1.000 petinggi kepolisian yang terlibat kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, bagian dari upaya untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Dari berbagai contoh tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa reformasi kepolisian yang efektif membutuhkan dua hal utama: pengawasan eksternal yang benar-benar independen, serta kesediaan internal untuk berubah melalui transformasi budaya, pendidikan, dan perombakan struktural, termasuk pemecatan aparat yang terbukti melanggar hukum, bahkan sampai level jabatan tinggi.
Reformasi tanpa langkah tegas ini berisiko hanya menjadi retorika tanpa perubahan substansial
Jalan Keluar Reformasi Polri Dipercaya Publik
Indonesia dapat belajar dari pengalaman tersebut. Reformasi Polri tidak cukup hanya dibicarakan dalam komite atau tim internal yang dibentuk pemerintah.
Diperlukan lembaga independen yang memiliki otoritas nyata untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja kepolisian, bahkan menindak jika diperlukan.
Pada saat yang sama, Polri perlu melakukan transformasi internal melalui kurikulum pendidikan baru yang menekankan etika, pelayanan publik, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Restrukturisasi kelembagaan juga harus dilakukan agar Polri lebih fokus. Fungsi-fungsi yang tumpang tindih atau dapat diotomatisasi sebaiknya dipangkas untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan.
Namun, masalahnya kini bukan hanya soal teknis reformasi, melainkan juga soal kepercayaan publik. Banyak kalangan curiga bahwa pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri tidak lebih dari strategi untuk meredam kritik.
Alih-alih menunjukkan keseriusan, tim ini justru menimbulkan tanda tanya besar: apakah polisi benar-benar berniat berubah, atau hanya berusaha mengendalikan narasi reformasi agar tetap aman di bawah kendali mereka?
Kecurigaan ini wajar, sebab publik sudah terlalu sering disuguhi janji perubahan yang berakhir menjadi jargon. Tanpa keterlibatan independen dari masyarakat sipil dan tanpa kesediaan menyerahkan sebagian kontrol kepada mekanisme eksternal, reformasi Polri akan sulit dipercaya.
Apalagi, jika reformasi hanya dijalankan melalui tim internal, besar kemungkinan hasilnya sekadar kosmetik. Terlihat rapih di permukaan, tetapi busuk di dalam.
Sejarah 1998 menunjukkan bahwa rakyat tidak akan percaya reformasi yang digerakkan penguasa yang mempertahankan status quo. Untuk Polri menjadi profesional dan memulihkan legitimasi, reformasi harus dilakukan dari tekanan eksternal.***