Benarkah Uang 204 Miliar Hasil Sitaan Polisi Masuk ke Kas Negara?

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Mudanews.com OPINI – Bareskrim memamerkan tumpukan uang 204 miliar. Uang itu hasil kejahatan dari penipuan rekening dormant. Sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini sudah saya tulis, dan banyak pertanyaan dari netizen muncul. Salah satunya, benarkah uang itu akan masuk ke kas negara? Mari kita ungkap sambil seruput kopi tanpa gula di Hotel Harris Pontianak.

Kasus pembobolan rekening dormant senilai Rp204 miliar yang berhasil diungkap Bareskrim Polri memang terdengar seperti episode terbaru Black Mirror versi lokal: penuh intrik, cepat, dan bikin publik bertanya lebih banyak daripada jawaban yang tersedia. Data resmi menyebutkan, sindikat menyamar sebagai Satgas Perampasan Aset untuk menekan Kepala Cabang Pembantu bank BUMN di Jawa Barat. Mereka memaksa KCP menyerahkan User ID Core Banking System milik teller dan kepala cabang, dengan ancaman terhadap keselamatan keluarga. Eksekusi dilakukan Jumat pukul 18.00 WIB, di luar jam operasional, sehingga sistem deteksi bank terlena dalam tidur nyenyak. Hasilnya, Rp204 miliar dipindahkan lewat 42 transaksi hanya dalam 17 menit, masuk ke lima rekening penampungan, sebelum akhirnya berhasil disita oleh polisi.

Secara prosedur hukum, uang sitaan harus dibuatkan berita acara, dihitung, dicatat, lalu disimpan dalam rekening penitipan khusus milik kejaksaan atau pengadilan. Idealnya begitu, elegan, dan transparan. Namun publik lalu bertanya dengan gaya sok filsuf, kalau semua uang itu sudah masuk rekening khusus, kenapa kita bisa melihatnya tertata rapi di meja konferensi pers? Bukankah logikanya yang dipamerkan cukup struk transfer, bukan selembar-selembar uang segar seperti habis dicetak Bank Indonesia? Plato mungkin akan menepuk jidat dan bertanya, apakah uang sitaan itu realitas, atau hanya bayangan uang ideal di dinding gua?

Ada sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka, dibagi dalam tiga klaster, yakni karyawan bank, eksekutor termasuk mantan teller, dan pelaku pencucian uang. Polisi juga menyita 22 unit handphone, 1 hard disk eksternal, 2 DVR CCTV, 1 PC dan 1 notebook. Lengkap, sistematis, sesuai standar investigasi. Tapi publik justru menyoroti barang bukti utama, uang tunai Rp204 miliar. Bagaimana cara menghitung uang sebanyak itu? Apakah polisi punya tim elite jari-berotot yang bisa menghitung miliaran lembar tanpa salah? Kalau dihitung manual, butuh berapa jam, berapa cangkir kopi, dan berapa kali berhenti untuk meluruskan punggung? Kalau dihitung dengan mesin penghitung uang, apakah mesinnya sanggup bertahan tanpa meledak seperti kipas angin di ruang rapat tanpa AC?

Pertanyaan lain lebih jenaka tapi logis, uang sebanyak itu disimpan di mana sebelum disetor? Apakah di ruang berpendingin khusus yang dijaga 24 jam, atau sekadar di gudang sebelah dispenser air galon? Kita tahu, tumpukan Rp204 miliar tidak bisa diselipkan di bawah bantal. Kalau benar ditumpuk, tinggi uang itu bisa menyaingi panggung dangdut keliling. Bagaimana jaminan keamanan uang sebesar itu? Kalau hilang selembar, siapa yang tahu? Bagaimana kalau ada yang iseng selfie dengan uang sitaan, lalu fotonya bocor?

Publik juga penasaran soal keaslian. Apakah setiap lembar diperiksa dengan sinar ultraviolet? Kalau ya, berapa lama waktu yang dibutuhkan? Bagaimana kalau ternyata ada lembaran uang mainan nyelip di tengah, ikut difoto, lalu jadi bahan meme nasional? Puncaknya, bagaimana memastikan Rp204 miliar ini benar-benar masuk ke kas negara? Apakah ada bukti transfer yang bisa diakses publik, atau cukup percaya saja seperti percaya ramalan zodiak bahwa “uang Anda aman bulan ini”?

Mungkin Plato akan menutup dialog ini dengan pertanyaan paling absurd, apakah uang sitaan ini masih “uang” atau sudah berubah esensinya jadi “artefak hukum”? Apakah Rp204 miliar itu bisa digunakan membeli bakso setelah disita, atau ia hanya jadi simbol, dipuja sebentar, lalu lenyap ke dalam catatan negara. Publik terus bertanya, sebab tanpa pertanyaan, uang sitaan hanya jadi tontonan, dengan pertanyaan, ia berubah jadi filsafat absurd bangsa ***

Berita Terkini