Oleh : Henri Subiakto
Mudanews.com OPINI – Beberapa pasal yang disorot oleh publik memang sangat keras dalam memberikan kewenangan pada aparat negara. Hal ini akan menjadi sangat baik jika aparat negaranya bersih, adil dan berintegitas.
Tapi belajar dari UU lain, problematika hukum di Indonesia itu bukan persoalan norma UU semata. Tapi masalah utamanya ada di para penegak hukum yang sering menerapkan UU sesuai kepentingan mereka. Yaitu relasi para penegak hukum dengan penguasa politik dan ekonomi.
Undang-Undang No 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebenarnya juga bisa dipakai merampas asset bermasalah. Tapi jarang diterapkan oleh para penegak hukum.
UU hanya diterapkan secara galak kalau targetnya berseberangan secara politik. Tapi tumpul saat terkait ada kepentingan relasi elit dan politik.
RUU Perampasan Aset Pasal 2, yang menyatakan aset bisa dirampas tanpa menunggu keputusan pidana. Pasal ini menyatakan ketentuan tersebut seperti pedang bermata dua, jika penegak hukum belum ditata dan diawasi secara nyata.
Negara kita masih terbelit korupsi dan korupsinya juga sampai masuk ke ranah aparat pembasmi korupsi itu sendiri.
Hukum atau UU dan penegak hukum itu obat untuk penyembuh penyakit korupsi.
Tapi bisa berbahaya jika penyakit itu sudah bercampur dengan obatnya. Obat yang harusnya menyembuhkan malah jadi bagian dari penyakit yang bikin parah.
Montesquieu, “The most dangerous corruption is when laws corrupt the people. It’s an incurable disease because it’s in the remedy itself.” (Korupsi yang paling berbahaya adalah ketika hukum merusak rakyat. Penyakit ini tak tersembuhkan karena sudah tercampur dalam obatnya).
Maka tidak bisa tidak harus ada reformasi dibersihkan dulu para penegak hukum yang tidak memiliki integritas atau bercampur dekat dengan korupsi itu sendiri.
Inilah pentingnya reformasi lembaga polisi dan lembaga penegak hukum lainnya, perlu segera dibentuk dan bekerja.***
Prof Dr Henri Subiakto pakar hukum dan komunikasi Unair Surabaya