Oleh: Muhammad Joni
Mudanews.com – Opini | Medan Selasa, 16 September 2025.
“Ini bukti penting!” Saya tersentak ketika menemukannya, terpampang di laman resmi USU. Sebuah lembar data kusam yang bercerita tentang kasih antara rakyat dan Universitas Sumatera Utara (USU).
Inilah fakta sejarah: rakyat pengabdi USU lebih dulu, otentik, dan begitu tulus—lebih dari sekadar jargon USU Pengabdi Bangsa, seperti sepotong lirik Mars USU.
Di balik lembar arsip tua yang menguning, tercatat Serie C No. 02491. Angka itu menandakan adanya Serie A dan Serie B. Menelusuri jejaknya, saya seperti menambang fakta dan mencari alibi sejarah di lumbung data.
Sekilas, hanya tanda penerimaan sumbangan. Namun ketika kaca pembesar sejarah diarahkan ke sana, terbukalah kebenaran: rakyatlah yang ikut membiayai lahirnya Fakultas Kedokteran Sumatera Utara, cikal bakal USU.
Pada dokumen berseri C No. 02491 itu, tampak tinta hitam yang mulai pudar, cap garuda yang menembus kertas, serta tanda tangan panitia dengan goresan penuh keyakinan—semua menjadi saksi bisu.
Pemilik dokumen ini bukan pejabat pusat, bukan kolonial Belanda, apalagi oligark. Ia milik masyarakat yang merelakan rupiah demi berdirinya universitas di Kota Medan.
Universitas di sini memang jauh lebih muda ketimbang di India. Belanda telat, mangkir dari politik etis pendidikan. Beda dengan Inggris Raya yang menjajah India: pasar, daya beli, dan pendidikan sejak awal disiapkan. Tesis saya sederhana, makin tinggi pendidikan, makin tinggi pula konsumsi dan belanja publik.
Maka dokumen 02491 ini bukan sekadar kuitansi, melainkan bukti kontrak sosial. Mari kita bedah secara forensik.
Analisis Forensik Dokumen 02491
“Serie C”
Jejak sistem administrasi kolonial yang masih dipakai awal 1950-an. Ditulis “Serie”, bukan “Seri”. Huruf “C” adalah klasifikasi, bisa berarti tingkat arsip atau jenis penerimaan. Legal marking ini memastikan tiap lembar sah dalam register resmi.
“No. 02491”
Bukan angka biasa, melainkan identitas unik. Ribuan orang telah lebih dulu menyumbang sebelum nomor ini terbit. Bukti bahwa dokumen ini bagian dari kontrol keuangan publik berbasis swadaya rakyat.
“Tanda Penerimaan”
Frasa sederhana, tapi maknanya dalam. Administratif: bukti sah pengalihan harta dari warga ke panitia pendiri FK-USU. Perdata: tanda kwitansi. Administrasi negara: bentuk pertanggungjawaban pejabat atau panitia. Inilah “akta otentik rakyat”.
Cap dan Lambang Garuda
Cap negara menjadikan secarik kertas ini dokumen sah. Tanpa cap, ia hanya kertas. Dengan cap, ia bukti hukum.
“Sumbangan … Perguruan Tinggi Kedokteran Sumatera Utara di Medan”
Pengakuan eksplisit: rakyat ikut membiayai lahirnya FK USU. Kata “sumbangan” menegaskan peran sipil.
“Surat Gubernur Provinsi Sumatera Utara, 26 Nov 1951 No. 24293/12/14”
Rujukan administratif. Tanpa surat gubernur, sumbangan bisa dianggap ilegal.
“Padangsidempoean, 1 Jan 1952”
Tanggal dan tempat menjadi kunci forensik. Awal tahun baru 1952 menandai era baru pendidikan tinggi di Sumut. Lokasinya di Padangsidimpuan, bukan Medan—menunjukkan semangat kolektif seluruh daerah.
“Panitia Pendirian Perguruan Tinggi Kedokteran Kab. Tap. Selatan”
Panitia lokal yang berjejaring dengan panitia provinsi. Badan ad hoc ini sah karena mandat sosial dan restu gubernur.
“Ketua: (R. Djudjunggan)”
Nama penting, personalisasi tanggung jawab. Tanda tangan menjadikannya “legal face” panitia.
“Sec./Bendahara: (A. Tanafiah Lubis)”
Bendahara adalah pengendali dana, penanggung jawab mutlak. Titik rawan sekaligus penjaga kepercayaan.
Kesimpulan Forensik
Pertama, dokumen ini membuktikan rakyatlah yang membiayai kelahiran USU.
Kedua, ia instrumen hukum sah, lengkap dengan nomor, serie, cap negara, dan surat gubernur.
Ketiga, ia menyingkap kisah besar: rakyat bukan obyek pembangunan, melainkan subyek pendiri universitas.
Seperti di pengadilan, kertas ini bisa jadi bukti kunci: apakah USU benar Universitas untuk Rakyat, ataukah kini justru melupakan akar sosialnya?
Bung Karno berpesan: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” (Jasmerah). Pesan ini kini relevan bagi civitas academica USU dan alumni.
Jika USU melupakan Serie C No. 02491, berarti melupakan akarnya sebagai Kampus Rakyat. Dan pohon yang melupakan akar, niscaya akan tumbang.
Jejak Historis
Dari buku In Memoriam Abdul Hakim – Gubernur Sumatera Utara 1950–1953, tercatat SK Gubernur No. 94/XII/PSU, 31 Desember 1951, tentang pembentukan Panitia Persiapan Mendirikan Perguruan Tinggi (PPMT) di Medan.
Isi SK menegaskan keinginan masyarakat untuk mendirikan perguruan tinggi, dimulai dengan Fakultas Kedokteran, meski tanpa dana pusat dan dengan segala keterbatasan.
Dikutip pula dari karya Prof. Amri Amir dkk., keputusan itu diambil dengan segala “kenekatan”: tanpa dana pusat, tanpa badan pengelola, tapi berani menetapkan tahun ajaran dimulai 1952.
Artinya, USU lahir dari gotong royong rakyat, bukan seminar internasional atau hibah asing.
Relevansi Kini
Ketika Prof. Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum. menyampaikan dokumen penjaringan calon Rektor ke MWA USU, beliau mengusung visi University for Society. Esai ini menjadi justifikasi.
Secara historis, rakyat mendirikan universitas, maka USU wajib mengabdi.
Secara moral, rakyat menanggung biaya awal, maka USU berutang pengabdian.
Secara hukum, dokumen Serie C No. 02491 adalah akta otentik.
University for Society bukan slogan akademik, melainkan jalan pulang menuju jati diri USU.
Pertanyaannya: maukah USU kembali ke pangkuan rakyat? Atau larut dalam kompetisi global, menjauh dari nelayan Belawan, petani sawit, pasien miskin RS pendidikan, dan rakyat kecil yang dulu menghidupkannya?
Penutup
Dokumen bernomor 02491 adalah saksi, dakwaan, sekaligus justifikasi. Bahwa USU sejatinya adalah Kampus Rakyat.
Jangan melupakan sejarah. Jangan melupakan rakyat. USU lahir dari sumbangan rakyat kecil, dari hati yang percaya pendidikan adalah jalan pembebasan.
Maka jika visi University for Society digemakan, itu bukan mimpi baru, melainkan panggilan pulang ke janji yang diukir tinta rakyat sejak 1 Januari 1952.
02491 bukan arsip. 02491 adalah alarm sejarah.
Tabik. (Adv. Muhammad Joni, SH., MH