Reformasi Polisi Upaya Ciptakan Polisi seperti Malaikat

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Mudanews.com OPINI | Beberapa waktu lalu saya menulis tentang polisi mengeluarkan SKCK pada seorang DPO. Si DPO malah jadi Dewan. Semua netizen menyalahkan polisi. Saatnya memang si baju cokelat direformasi. Bahkan, ada menginginkan polisi harus seperti malaikat. “Mane bise, Bang?” kata budak Pontianak. Reformasi polisi, dimulai aja dulu sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Reformasi polisi itu kayak cerita sinetron ke-1.234, janji manis, dramatis, tapi ending-nya bisa ditebak, polisi tetaplah polisi. Bedanya, di layar televisi mereka suka jadi pahlawan dengan sirine meraung bak malaikat penjaga kota, sementara di dunia nyata, mereka sering jadi makelar hukum dengan tarif fleksibel, “nego sampai jadi”.

Presiden Prabowo Subianto katanya mau reformasi Polri. Katanya. Publik tepuk tangan, wartawan heboh, DPR pura-pura serius. Lalu apa yang terjadi? Rumor pergantian Kapolri Listyo Sigit berembus kencang, seakan-akan mengganti satu kepala naga akan membuat sisanya tobat jadi biksu. Padahal, tubuh naga tetap melilit rakyat sambil ketawa, “reformasi? hahaha.”

Polisi itu kalau dilihat pakai filsafat Socrates, adalah penjaga kebenaran. Tapi kalau dilihat pakai kaca mata emak-emak pasar, polisi itu penjaga dompet, terutama dompet rakyat yang tipis. Kalau ada orang kaya bikin laporan, polisi langsung berubah jadi The Flash, kecepatan supersonik, bahkan lebih cepat dari transfer dana via mobile banking. Tapi kalau orang miskin datang melapor, polisi tiba-tiba berubah jadi kura-kura galau, lamban, malas, dan kadang pura-pura sakit perut.

Survei? Aih, itu lebih ajaib dari mukjizat Nabi Musa. Katanya tingkat kepercayaan masyarakat pada Polri naik. Naik ke mana? Mungkin ke langit ke tujuh, sebab di bumi, rakyat lebih sering melihat polisi nongkrong di kafe mewah dari patroli di gang becek. Survei itu kayak sinetron, penuh cinta semu, tapi bikin penonton bodoh percaya.

Muhamad Isnur dari YLBHI bilang, reformasi bukan cuma ganti Kapolri. Betul, bang. Itu sama saja seperti ganti topeng Spiderman, tapi dalangnya tetap maling sandal. Usman Hamid dari Amnesty bilang pengawasan Polri lemah. Betul lagi, bro. Divisi Propam dan Irwasum itu ibarat cermin retak. Polisi bercermin pada dirinya sendiri, lalu bilang, “keren juga ya gue.”

Kalau mau jujur, Polri ini butuh terapi jiwa, bukan sekadar rotasi jabatan. Mereka perlu meditasi ala Buddha, tafakur ala sufi, bahkan mungkin disetrum sedikit ala Frankenstein biar sadar bahwa seragam cokelat bukan kostum cosplay mafia. Polisi itu harus jadi pelindung, bukan predator. Kalau tidak, lambang Bhayangkara lebih cocok diganti jadi logo parkiran liar, tarif sesuai negosiasi.

Bayangkan kalau polisi benar-benar jadi pelindung. Masyarakat akan tidur nyenyak tanpa harus khawatir motor hilang. Anak sekolah bisa jalan tanpa takut razia misterius. Emak-emak pasar bisa berjualan tanpa takut diusir pakai pentungan. Tapi sayangnya, yang terjadi sekarang, polisi lebih sibuk ngejar demo mahasiswa dari ngejar bandar narkoba. Padahal mahasiswa hanya bawa spanduk, sementara bandar bawa pistol.

Reformasi Polri itu bukan sekadar ganti Kapolri. Itu harus ganti pola pikir, ganti budaya, bahkan kalau perlu ganti baterai moral. Kalau tidak, kita cuma akan menyaksikan sinetron lanjutan berjudul, Kapolri Baru, Masalah Lama.

Filsafat terakhir, polisi itu ibarat superman. Tapi sayangnya, kryptonite mereka bukan batu hijau dari planet Krypton, melainkan amplop cokelat dari pengusaha hitam. Setiap kali amplop itu datang, superman kita pun berubah jadi super malas.

Maka wahai polisi, kembalilah jadi pelindung, bukan pelicin. Jadilah malaikat, bukan makelar. Kalau tidak, rakyat hanya bisa berdoa, semoga reformasi polisi tidak sekadar jadi bahan stand up comedy nasional.

“Kalau polisi jadi malaikat, tak ada SIM tembak, Bang.”

“Pasti tak ada lagi, karena sudah bersih, suci, tanpa noda.”

 

Berita Terkini