𝐌𝐞𝐦𝐮𝐭𝐮𝐬 𝐄𝐠𝐨 𝐒𝐞𝐤𝐭𝐨𝐫𝐚𝐥: 𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐊𝐨𝐥𝐚𝐛𝐨𝐫𝐚𝐭𝐢𝐟 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐟𝐫𝐚𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐮𝐫 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐑𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐔𝐌𝐊𝐌

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Drs. Muhammad  Bardansyah. Ch.Cht.

Mudanews-Opini | Untuk: Para Pembuat Kebijakan dan Ahli Kebijakan Publik Republik Indonesia

Dalam wacana pembangunan nasional, tantangan paling mendasar seringkali bukan terletak pada kurangnya sumber daya atau kemampuan teknis, melainkan pada kecenderungan kerja sektoral yang terkotak-kotak.

Pemerintahan yang beroperasi dalam “silo-silo” birokrasi—di mana setiap kementerian bekerja dengan tujuan dan indikator kinerja sendiri-sendiri—pada hakikatnya menyiapkan kegagalan dalam mencapai tujuan pembangunan yang inklusif.

Keberhasilan sebuah kabinet justru harus diukur melalui kemampuannya menumbuhkan kolaborasi substantif, sebuah sinergi yang mengubah ego sektoral menjadi modal kolektif untuk kesejahteraan rakyat.

Hakikat tata kelola pemerintahan yang efektif terletak pada kesadaran bahwa setiap intervensi kebijakan bersifat multidimensi. Pembangunan infrastruktur jalan, misalnya, bukan semata aktivitas teknis. Ia adalah proses yang memiliki dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang saling bertautan.

Pendekatan yang terisolasi hanya akan menghasilkan output fisik belaka, sementara mengabaikan outcome yang lebih luas bagi masyarakat, khususnya pelaku UMKM yang justru menjadi tulang punggung perekonomian.

Sayangnya, dalam banyak kasus, pembangunan infrastruktur justru mengabaikan kepentingan rakyat kecil. Pembangunan jalan tol yang tidak mempertimbangkan nasib pedagang pinggir jalan, atau proyek jalan berlarut-larut yang memutus akses pelanggan UMKM, adalah contoh nyata betapa pendekatan sektoral telah gagal memanusiakan pembangunan.

Di sepanjang ruas Trans-Jawa maupun Trans Sumetera ( yang terbaru adalah UMKM oleh-oleh Pasar Bengkel Deli Serdang Sumatera Utara yang terdampak Tol Medan-Tebing Tinggi serta UMKM di TanjungPura yang terdampak Tol Medan- Pangkalan Brandan), banyak pedagang yang kehilangan mata pencaharian karena arus kendaraan berpindah ke tol tanpa adanya skema mitigasi yang memadai.

Usaha warung makan dan bengkel tradisional yang telah puluhan tahun hidup tiba-tiba mati karena akses yang terputus dan durasi proyek yang molor. Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan kegagalan sistemik dalam melihat infrastruktur sebagai bagian dari ekosistem sosial-ekonomi.

Oleh karena itu, pendekatan kolaboratif menjadi sebuah keharusan. Sebuah proyek infrastruktur harus dilihat sebagai ekosistem kebijakan yang melibatkan semua pemangku kepentingan dengan peran yang saling melengkapi.

Pada tahap perencanaan,

Bappenas perlu melampaui analisis finansial-ekonomi semata dengan menginternalisasi kajian sosial-lingkungan sejak dini.

Perencanaan yang cerdas harus melibatkan konsultasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk penyempurnaan AMDAL, serta dengan Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk pemetaan sosial terhadap kelompok rentan terdampak, termasuk UMKM dan destinasi wisata yang mungkin terpengaruh.

Pada fase pendanaan, Kementerian Keuangan dapat berperan lebih strategis dengan merancang mekanisme dana khusus atau penganggaran terintegrasi yang mengalokasikan dana tidak hanya untuk konstruksi, tetapi juga untuk program mitigasi sosial dan pemberdayaan ekonomi yang diusulkan oleh kementerian terkait.

Dengan demikian, biaya eksternalitas pembangunan telah diperhitungkan dan dianggarkan secara inklusif.

Selama implementasi, Kementerian PUPR harus bertindak sebagai koordinator lapangan yang proaktif. Ini termasuk menerapkan protokol manajemen lalu lintas yang manusiawi, pengendalian polusi debu yang ketat, dan—yang paling penting—menjaga komunikasi transparan dan berkelanjutan dengan pemerintah daerah serta komunitas terdampak.

Jadwal pembangunan harus dikomunikasikan secara jelas kepada pelaku UMKM agar mereka dapat beradaptasi, dan akses menuju usaha harus tetap terjaga.

Peran kementerian lain juga krusial. Kementerian Sosial dapat menyiapkan jaring pengaman sosial yang tepat sasaran, sementara Kementerian Koperasi dan UKM dapat fokus pada pemberdayaan ekonomi melalui pelatihan, akses permodalan, dan digitalisasi.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dapat memastikan bahwa akses destinasi wisata tidak terputus dan justru memanfaatkan infrastruktur baru untuk mengembangkan paket wisata yang melibatkan UMKM setempat.

Indonesia dapat belajar dari praktik baik internasional. Korea Selatan, misalnya, berhasil melakukan transformasi ekonomi berkat lembaga perencanaan pusat yang kuat dan legitimate—seperti Economic Planning Board (EPB)—yang mampu memaksa koordinasi antarkementerian.

Sementara Vietnam menunjukkan komitmen pada efisiensi melalui pembentukan badan pengarah khusus untuk proyek strategis yang mempertemukan perwakilan berbagai kementerian, memotong birokrasi, dan menyelesaikan konflik sektoral sejak dini.

Untuk menerapkan pendekatan whole-of-government, Indonesia perlu memperkuat lembaga koordinator seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Bappenas dengan memberikan kewenangan yang jelas dan legitimasi politik yang cukup untuk menyelesaikan kebuntuan koordinasi.

Pengembangan indikator kinerja bersama juga penting untuk menggantikan indikator sektoral yang selama ini digunakan. Indikator tersebut dapat mengukur hasil kolaboratif, seperti penurunan jumlah pengaduan masyarakat terdampak atau peningkatan jumlah UMKM yang tumbuh di sekitar infrastruktur baru.

Selain itu, pembangunan platform data terpadu yang dapat diakses oleh semua kementerian akan mendukung perencanaan yang berbasis bukti dan transparan. Yang tidak kalah penting adalah membentuk satuan tugas khusus untuk setiap proyek strategis—seperti yang dilakukan Vietnam—yang memastikan bahwa izin, analisis dampak, dan implementasi berjalan secara paralel, bukan berurutan.

Pada akhirnya, titik pangkal pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif adalah pengakuan bahwa tidak ada kementerian yang dapat bekerja sendiri.

Membangun jalan bukan hanya tentang menyambung dua titik di peta, tetapi tentang menyambung masa lalu masyarakat yang terdampak dengan masa depan yang lebih sejahtera. Ini hanya dapat dicapai melalui kolaborasi yang tulus, yang melampaui batasan-batasan birokrasi dan menempatkan rakyat sebagai penerima manfaat utama dari seluruh proses pembangunan.

Indonesia telah memiliki kerangka kelembagaannya; yang diperlukan sekarang adalah kemauan politik untuk mengisinya dengan semangat gotong royong yang substantif.

Disclaimer : tulisan ini tidak bermaksud mengajari , hanya sebuah pemikiran dan pengalaman di lapangan

Daftar Referensi:

1. 𝘒𝘪𝘮, 𝘠. (2018). 𝘛𝘩𝘦 𝘒𝘰𝘳𝘦𝘢𝘯 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵𝘢𝘭 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘦: 𝘍𝘳𝘰𝘮 𝘋𝘪𝘳𝘪𝘨𝘪𝘴𝘮𝘦 𝘵𝘰 𝘕𝘦𝘰𝘭𝘪𝘣𝘦𝘳𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮. 𝘗𝘢𝘭𝘨𝘳𝘢𝘷𝘦 𝘔𝘢𝘤𝘮𝘪𝘭𝘭𝘢𝘯.

2. 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬. (2019). 𝘝𝘪𝘦𝘵𝘯𝘢𝘮 2035: 𝘛𝘰𝘸𝘢𝘳𝘥 𝘗𝘳𝘰𝘴𝘱𝘦𝘳𝘪𝘵𝘺, 𝘊𝘳𝘦𝘢𝘵𝘪𝘷𝘪𝘵𝘺, 𝘌𝘲𝘶𝘪𝘵𝘺, 𝘢𝘯𝘥 𝘋𝘦𝘮𝘰𝘤𝘳𝘢𝘤𝘺. 𝘛𝘩𝘦 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬 𝘎𝘳𝘰𝘶𝘱. 𝘋𝘪𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘰𝘱𝘦𝘯𝘬𝘯𝘰𝘸𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.𝘸𝘰𝘳𝘭𝘥𝘣𝘢𝘯𝘬.𝘰𝘳𝘨/𝘩𝘢𝘯𝘥𝘭𝘦/10986/29724

3. 𝘖𝘌𝘊𝘋. (2020). 𝘞𝘩𝘰𝘭𝘦-𝘰𝘧-𝘎𝘰𝘷𝘦𝘳𝘯𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘈𝘱𝘱𝘳𝘰𝘢𝘤𝘩𝘦𝘴 𝘵𝘰 𝘈𝘤𝘩𝘪𝘦𝘷𝘦 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘶𝘴𝘵𝘢𝘪𝘯𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘎𝘰𝘢𝘭𝘴 𝘪𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢. 𝘖𝘌𝘊𝘋 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘤 𝘎𝘰𝘷𝘦𝘳𝘯𝘢𝘯𝘤𝘦 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 𝘗𝘢𝘱𝘦𝘳𝘴, 𝘕𝘰. 13. 𝘋𝘪𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘥𝘰𝘪.𝘰𝘳𝘨/10.1787/5𝘧4𝘣7𝘧5𝘧-𝘦𝘯

4. 𝘉𝘢𝘯𝘬 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢. (2021). 𝘓𝘢𝘱𝘰𝘳𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘯𝘨𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘜𝘔𝘒𝘔 𝘕𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭: 𝘋𝘢𝘮𝘱𝘢𝘬 𝘐𝘯𝘧𝘳𝘢𝘴𝘵𝘳𝘶𝘬𝘵𝘶𝘳 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘈𝘬𝘴𝘦𝘴 𝘗𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘜𝘔𝘒𝘔. 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢: 𝘉𝘢𝘯𝘬 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢.

5. 𝘚𝘔𝘌𝘙𝘜 𝘙𝘦𝘴𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦. (2020). 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘐𝘮𝘱𝘢𝘤𝘵 𝘈𝘴𝘴𝘦𝘴𝘴𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘰𝘧 𝘛𝘰𝘭𝘭 𝘙𝘰𝘢𝘥 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘰𝘯 𝘓𝘰𝘤𝘢𝘭 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘦𝘴. 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢: 𝘚𝘔𝘌𝘙𝘜.

6. 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬. (2022). 𝘐𝘯𝘤𝘭𝘶𝘴𝘪𝘷𝘦 𝘐𝘯𝘧𝘳𝘢𝘴𝘵𝘳𝘶𝘤𝘵𝘶𝘳𝘦: 𝘏𝘰𝘸 𝘵𝘰 𝘗𝘳𝘰𝘵𝘦𝘤𝘵 𝘓𝘪𝘷𝘦𝘭𝘪𝘩𝘰𝘰𝘥𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘌𝘮𝘱𝘰𝘸𝘦𝘳 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘪𝘦𝘴 𝘋𝘶𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘗𝘳𝘰𝘫𝘦𝘤𝘵 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵. 𝘞𝘢𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨𝘵𝘰𝘯, 𝘋𝘊: 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬.

Berita Terkini