Oleh : Prof Henri Subiakto pakar hukum dan komunikasi UNAIR Surabaya
Mudanews.com OPINI | Orang pintar, bisa berpikir cepat, cerdas dan lulus sekolah yang berkualitas. Tak disangsikan pak Menkeu yg lulusan Teknik Elektro ITB itu tentulah pintar, berintelktualitas tinggi dan cerdas. Terlebih Ia juga seorang Ph.D alumni Purdue University. Itulah menteri baru kita pengganti Sri Mulyani.
Latar belakang pendidikan dan reputasinya menunjukkan ia memiliki IQ, kecerdasan intelektual, Kecerdasan kognitif dan kemampuan logika yg baik. Walau tak terbukti punya kecerdasan empati.
Padahal kecerdasan empati itu penting. Merupakan Kecerdasan yang membuat seseorang peduli penderitaan orang lain. Empati itu kemampuan memahami dan merasakan emosi yg dirasakan orang lain. Ini terkait area otak tengah, korteks prefrontal dan sistem saraf cermin (mirror neurons).
Bagian otak yg berfungsi tidak hanya berhubungan dengan unsur tubuh, tapi juga dengan faktor luar, terkait manusia lain. Karena itu logis jika ada ahli psikologi menyarankan agar para pejabat Pemegang Kekuasaan (Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif) direkomendasi supaya ikut Pelatihan Empati dan komunikasi.
Karena fenomena pejabat dan keluarganya tak punya empati nampak marak belakangan ini. Ada yg flexing, joged joged, hingga bicara tanpa mencerna, seolah tdk ada yg perhatian.
Itu yg jadi salah satu faktor munculkan demonstrasi. Eh malah terjadi lagi dilakukan menteri baru yg dilantik sehari. Ditambah video viral anak sang menteri.
Kemampuan empati kadang diremehkan, dibanding IQ. Empati itu wujud kecerdasan emosional, hasil interaksi kompleks antara emosi, kognisi, dan pengalaman sosial yg bisa diasah dan ditajamkan.
Di era digital, rakyat begitu mudah berekspresi di media sosial. Makanya Kemampuan empati menjadi sangat penting agar tidak gagap saat pejabat berkomunikasi di media sosial.
Sebenarnya kecerdasan kognitif dapat membantu memproses dan merespons keadaan secara lebih baik dan lebih peka. Jika dipakai menganalisis situasi atau mencari solusi. Tapi karena pak Menteri terlalu percaya diri jadilah masalah tersendiri.
Empati walau bisa dilatih dan ditajamkan jarang dilakukan. Terlebih bagi orang yg berasal dari keluarga berada. Sejak kecil dapat asupan yang baik dan bergizi. Hidup tanpa kesulitan, hingga IQ cenderung tinggi. Tapi minim pengalaman menderita. Tidak terbiasa merasakan kesusahan.
Maklum sang menteri masih kerabat keluarga besar Presiden. Keluarga yg sejak dulu tergolong mampu. Bagian dari orang orang beruntung yang berlatar pendidikan yg baik dengan intelektual tinggi. Tapi belum tentu mampu bisa merasakan kesulitan dan derita masyarakat yg sedang emosional.
Orang berpendidikan tinggi seperti pak menteri lebih tertarik menganalisis penyebab masalah daripada merespons penderitaan emosional orang lain dengan empati.
Mungkin saja terbiasa menghadapi ekspektasi tinggi, hingga membuatnya lebih fokus pada prestasi intelektual daripada hubungan emosional.
Memang ada orang-orang yg cenderung memprioritaskan logika, dan menganggap emosi sebagai sesuatu “kurang penting”, sehingga jadi kurang empati. Atau kurang terampil mengekspresikan pikirannya dalam berkehidupan sosial.
Bisa dikatakan gagap dalam komunikasi publik. Tidak terbiasa menata kata-kata. Atau memilih kalimat yg menunjukkan kepedulian pada sesama.
Memang kadang dengan kecerdasan tinggi orang menyukai aktivitas intelektual yang soliter (seperti membaca, penelitian, atau pemrograman) daripada interaksi sosial. Walhasil jadi kurang pengalaman sosial hingga menghambat kemampuan empati.
Di era digital, Negeri ini membutuhkan pejabat yg cerdas dan berintegritas, tapi sekaligus memiliki empati atau kecerdasan emosi. Tanpa integritas dan kecerdasan emosi hanya akan menelurkan perilaku dan kebijakan minim empati. Belum bekerja saja sudah bikin kegaduhan. Hal yg bisa nambah kemarahan dan sikap anti pati pada pemerintahan.
Semoga dengan kejadian ini, para pejabat dan keluarganya mau belajar melatih diri mengembangkan kebiasaan berempati dan hati hati.**