Oleh : Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Awal yang Membanggakan
Mudanews.com OPINI – Siapa yang tak kenal Noel? Nama lengkapnya, Immanuel Ebenezer, pernah bergema di jalanan sebagai aktivis mahasiswa era ’98. Ia kerap tampil di media dengan gaya keras, vokal, dan penuh kritik terhadap penguasa.
Dulu, banyak orang mengira Noel adalah sosok yang tidak bisa dibeli. Latar belakangnya sederhana, sempat merasakan getirnya hidup sebagai driver ojek online (2016). Lalu kariernya melesat cepat: Ketua Relawan Jokowi Mania (2019), Komisaris Utama PT Mega Eltra (2021–2022), pendiri Prabowo Mania 08 (2024), dan akhirnya kursi empuk Wakil Menteri Ketenagakerjaan (2024).
Perjalanan karier ini mungkin terlihat inspiratif. Dari bawah, lalu naik menjadi pejabat negara. Tapi kalau kita telisik lebih dalam, di balik “prestasi politik” itu, jejak digital Noel menyimpan kontradiksi yang menohok: plin-plan, penuh intrik, dan oportunistik.
Politik Tanpa Prinsip
Noel pernah menjadi “prajurit garis depan” Jokowi. Ia mendirikan Jokowi Mania (JoMan), memuja-muji Jokowi sebagai pemimpin visioner. Bahkan, ia habis-habisan menyerang lawan politik Jokowi dengan retorika keras.
Tapi lihat bagaimana angin berubah. Ketika dukungan Jokowi sudah mulai melemah, Noel pun mulai melirik Ganjar Pranowo. Ia tampil di publik dengan klaim membela Ganjar sebagai representasi politik rasional.
Namun tidak lama kemudian, menjelang Pilpres 2024, ia malah menyeberang ke kubu Prabowo-Gibran. Di sini, Noel kembali mengulang pola lamanya: mendekat ke lingkar kekuasaan, mengibarkan bendera “Prabowo Mania 08”, dan tak lama kemudian menikmati kursi empuk Wamenaker.
Jejak digitalnya jelas: dari Jokowi ke Ganjar, lalu ke Prabowo. Ia membangun citra diri sebagai king maker, padahal yang sebenarnya terjadi adalah pemain politik tanpa ideologi, tanpa konsistensi, tanpa harga diri.
Tak heran jika Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pernah melabelinya dengan peribahasa Jawa: “Isuk dele sore tempe” — pagi masih kedelai, sore sudah berubah jadi tempe.
Lidah yang Tajam, tapi Tumpul pada Diri Sendiri
Noel terkenal dengan mulutnya yang pedas. Beberapa jejak digital paling mencolok:
1. Serangan terhadap Hasto Kristiyanto
Noel terang-terangan menuding Hasto bermental korup, bahkan mengaitkannya dengan kasus Harun Masiku. Padahal proses hukum tidak menemukan bukti apa pun, dan Hasto justru memperoleh amnesti politik.
Pertanyaannya: sekarang ketika Noel sendiri terseret OTT KPK, wajah siapa yang layak disebut “bermental korup”?
2. Ejekan terhadap PDIP
Ia berkata: “Partai besar… harus bicara gagasan, bukan ambekan-ambekan dan perasaan-perasaan.”
Padahal faktanya, PDIP yang ia ejek itu justru terbukti konsisten menjaga marwah partai, bahkan mendukung penuh pemerintahan Prabowo meski dikhianati Jokowi.
Sementara Noel? Lari ke kubu yang memberinya jabatan.
3. Menuding PDIP bermental preman
Noel sinis menanggapi sikap kader PDIP yang meminta Jokowi meminta maaf kepada kader ranting sebelum bertemu Megawati. Ia menyebut PDIP berperilaku seperti preman jalanan.
Kini justru jejak digital itu yang berbalik menjadi karma politik untuk dirinya.
OTT KPK: Panggung Terakhir
Tanggal 20 Agustus 2025 jadi titik balik tragis. KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Noel. Puluhan kendaraan disita, uang tunai miliaran rupiah mengalir, dan praktik “pemalakan” perusahaan terbongkar.
Fakta ini sangat ironis:
Orang yang dulu mengaku anti-korupsi,
Orang yang pernah menjadi aktivis jalanan menentang Orde Baru,
Orang yang sempat membela diri sebagai sosok bersih,
ternyata justru jatuh di lubang yang sama dengan para pejabat yang dulu ia hujat.
Dari Aktivis ke Oportunis
Sosok Noel adalah cerminan nyata bagaimana aktivis jalanan bisa berubah menjadi oportunis kekuasaan. Jejak digital menunjukkan jelas pola itu:
2016: Masih merintis hidup sebagai driver ojek online.
2019: Mendapat panggung politik lewat Jokowi Mania.
2021–2022: Menikmati kursi komisaris BUMN.
2024: Menyeberang ke kubu Prabowo demi jabatan.
2025: Terjaring OTT KPK karena diduga menyalahgunakan kekuasaan.
Apa yang bisa kita pelajari? Bahwa ambisi tanpa prinsip akan berakhir dengan kehinaan.
Tragikomedi Politik Noel
Ada satu kisah yang tak bisa saya lupakan. Beberapa waktu lalu, sebelum dia jadi Wamenaker, Noel sempat menelpon dan mengajak “melawan Prabowo” jika ia tidak diberi jabatan. Ironisnya, tidak lama kemudian ia justru jadi Wamenaker di kabinet Prabowo-Gibran.
Itu menegaskan satu hal: Noel tidak pernah berjuang untuk bangsa, ia hanya berjuang untuk kursi.
Dari Jalanan ke Jeruji
Kini, Noel menghadapi babak akhir hidup politiknya. Bedanya dengan Hasto Kristiyanto yang pernah ia hujat, Noel bukan tahanan politik. Noel adalah tahanan korupsi.
Hasto mungkin bisa dikenang sebagai tokoh politik yang dikriminalisasi karena keberpihakannya. Noel? Ia akan dikenang sebagai mantan aktivis mahasiswa yang berakhir di penjara karena keserakahan.
Epilog: Karma Itu Nyata
Ada pepatah lama: “Apa yang kau tanam, itu pula yang kau tuai.”
Noel menanam serangan, sinisme, dan oportunisme.
Yang ia tuai hari ini: OTT KPK, aib, dan jeruji besi.
Sejarah akan menuliskan namanya bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai negarawan, tapi sebagai contoh pahit bagaimana idealisme bisa hancur oleh keserakahan pribadi.
Tragis. Benar-benar tragis.