Empat Penculiknya Ketangkap, si Penghilang Nyawa Masih Berkeliaran

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Mudanews.com OPINI – Soal Noel, off dulu. Kecuali, KPK gelar konferensi pers dan memamerkannya ke publik. Kita beralih kasus pembunuhan Ilham. Empat penculiknya ketangkap, sementara sang eksekutor masih bebar berkeliaran. Simak narasinya sambil seruput kopi di Warkop Yamato Jalan Sudirman Pontianak.

Kali ini, layar kaca kehidupan menampilkan episode tragis, kisah Mohamad Ilham Pradipta, Kepala Cabang Pembantu BRI Cempaka Putih, yang berakhir dalam semak-semak Bekasi dengan lakban lebih kuat dari janji-janji kampanye.

Tanggal 20 Agustus 2025, di parkiran Lotte Grosir Pasar Rebo, CCTV merekam Ilham diculik. Seperti film “Fast & Furious” versi low budget, mobil pelaku sudah parkir di samping mobil korban. Bedanya, ini bukan balap liar, tapi penculikan yang sudah menjadi headline nasional. Keesokan harinya, 21 Agustus 2025, jasad Ilham ditemukan di Serang Baru, Kabupaten Bekasi, tangan-kaki-mata terikat. Bukan dengan pita hadiah, tapi lakban murahan yang tiba-tiba menjadi saksi bisu peradaban.

“Kalau dengar kata lakban, kenapa selalu ingat kasus Arya Daru, ya?” Ups..

Lanjut, wak! Polisi bergerak cepat, menangkap empat tersangka, yakni AT, RS, RAH di Johar Baru, dan RW yang sok drama kabur sampai ke Bandara Labuan Bajo. Ironisnya, mereka cuma kebagian peran penculik, bukan pembunuh. Seperti kru film yang hanya disuruh pasang lighting, bukan yang menentukan plot twist. Artinya, pembunuh Ilham masih bebas. Mungkin sedang santai menyeruput kopi di warung pinggir jalan sambil menonton berita KPK periksa Gubernur Kalbar sebagai saksi.

Nah, bagian paling absurd adalah motif. Kata polisi, ada tiga kemungkinan: ekonomi, dendam pribadi, atau urusan pekerjaan. Artinya, semua kemungkinan di dunia ini masih terbuka, kecuali motif cinta segitiga dengan alien. Media kemudian heboh soal pinjaman fiktif Rp 13 miliar di kantor cabang. Konon, Ilham tahu sesuatu yang tidak seharusnya ia tahu. Jika benar, maka ini bukan sekadar kasus kriminal, tapi drama Shakespeare versi perbankan, uang, kuasa, dan pengkhianatan.

Ada pula gosip medsos bahwa otak pelaku adalah seorang wanita, eks rekan kerja korban. Ah, betapa dramatis. Seakan-akan kisah ini mau diadaptasi jadi sinetron “Cinta dan Lakban di Bekasi”. Keluarga sendiri bilang, Ilham tak punya musuh. Tapi mari kita jujur. Dalam dunia perbankan, siapa yang bisa yakin tidak punya musuh, saat angka-angka pinjaman bisa berubah jadi hantu 13 miliar?

Dari sisi investigasi, kasus ini seperti labirin Plato. Penculik sudah ditangkap, tapi pembunuhnya belum. Bukankah ini mirip konsep setengah kebenaran? Seperti makan bubur separuh mangkok, perut kenyang tidak, lapar hilang pun tidak. Hegel mungkin akan bilang, “tesisnya penculikan, antitesisnya pembunuhan, sintesisnya kebingungan nasional.”

Jika benar soal pinjaman fiktif, maka uang Rp 13 miliar itu entah sudah menjelma jadi vila, mobil sport, atau mungkin malah saham gorengan. Ironi kapitalisme lokal, uang bisa hilang, nyawa bisa melayang, tapi sistem tetap berdiri dengan wajah lugu.

Istri korban, Puspita Aulia, menangis dan menuntut keadilan. Ia meminta polisi mengusut tuntas, menghukum seberat-beratnya, sampai beratnya menyaingi Everest. Tapi realitas hukum kita kadang hanya sanggup memikul seberat batu kali.

So, kita menunggu. Polisi masih berburu eksekutor dan aktor intelektual. Sementara publik, dengan gaya nyinyir khas medsos, sudah menyusun teori konspirasi, mulai dari dendam kantor, pinjaman fiktif, sampai kemungkinan korban sebenarnya tahu rahasia besar dunia perbankan.

Akhirnya, kasus ini bukan cuma kriminal, tapi juga drama absurd bangsa. Sebuah pengingat, di negeri penuh ironi ini, penculik bisa ditangkap, pembunuh bisa hilang, dan uang bisa raib tanpa jejak. Satu-satunya yang pasti hanya lakban, yang diam, lengket, dan setia menjaga rahasia lebih rapat dari mulut manusia.***

Berita Terkini