Siapa yang Salah Polri Miliki Wewenang Luas, Lalu Apa Peran DPR?

Breaking News
- Advertisement -

_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed._

Mudanews.com OPINI – Dalam sistem demokrasi yang sehat, kekuasaan negara dibatasi oleh prinsip checks and balances, dan inilah pentingnya parlemen yang kuat, yang dijalankan oleh partai politik yang independen, cakap, dan berani. Namun kenyataan politik Indonesia lebih dari satu dekade justru sebaliknya. Melemahnya fungsi pengawasan DPR yang berdampak langsung pada meluasnya peran institusi-institusi negara di luar batas konstitusionalnya. Salah satu yang paling kentara yakni perluasan kewenangan Polri hingga ke ranah sipil, ekonomi, dan birokrasi pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 mengatur tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Namun kini kita menyaksikan banyak perwira Polri aktif dilibatkan dalam posisi-posisi strategis di luar lingkup keamanan, mulai dari menjadi penjabat kepala daerah, komisaris BUMN, hingga menduduki kursi lembaga negara.

Fenomena ini mulai banyak terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam satu dekade terakhir, kepercayaan terhadap aparat kepolisian meluas ke ranah yang dulunya merupakan domain sipil. Presiden menunjuk polisi aktif dalam posisi-posisi penting dan bahkan secara terbuka menyatakan keyakinannya terhadap kinerja aparat lebih daripada birokrat sipil.

Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, ada sejumlah peristiwa yang mencerminkan bahwa fungsi legislatif DPR melemah, sehingga membuka ruang bagi peran Polri aktif melebar ke jabatan-jabatan sipil. Salah satu contoh, pada18 Juni 2018, Irjen Pol Mochamad Iriawan, yang saat itu masih menjabat aktif di Polri, diangkat sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat. Keputusan ini memicu kritik karena dinilai menyalahi prinsip supremasi sipil, sumber: Kompas Nasional.

Kemudian tahun 2018, Komjen Pol Budi Waseso, juga perwira aktif Polri, ditunjuk sebagai Direktur Utama Bulog. Hal ini kembali mempertanyakan profesionalitas Polri jika terlibat dalam urusan pangan dan logistik negara, sumber: Kompas Nasional. Tahun 2020, tiga perwira tinggi Polri aktif diubah statusnya dan ditempatkan di jabatan sipil. Brigjen Adi Deriyan menjadi Staf Khusus Bidang Keamanan di Menparekraf, Irjen Andap Budhi Revianto dipindahkan menjadi Inspektur Jenderal Kemenkumham, dan Irjen Reinhard Silitonga menjadi Dirjen Pemasyarakatan di Kemenkumham, sumber: Kompas Nasional.

Terhadap hal itu DPR tidak menunjukkan kontrol yang memadai atas praktek tersebut, padahal menurut Pasal 20A UUD 1945, DPR harus menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan terutama pengawasan sehingga langkah eksekutif dengan melibatkan Polri aktif dalam jabatan sipil wajib dikritik dan dikoreksi secara kelembagaan.

Penempatan perwira Polri di luar institusi keamanan seolah menjadi hal yang biasa, meskipun secara normatif bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002, yang secara tegas melarang rangkap jabatan anggota Polri di luar bidang sosial, pendidikan, dan olahraga.

Persoalannya bukan hanya pada tindakan eksekutif yang melebar ke wilayah abu-abu hukum, tetapi juga pada lemahnya respons dan pengawasan dari DPR. Padahal Pasal 20A UUD 1945 menegaskan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam konteks ini, parlemen seharusnya bersikap tegas memanggil pejabat terkait, menginisiasi revisi undang-undang, bahkan jika perlu mengajukan hak angket untuk menertibkan pelanggaran atas kewenangan.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. DPR nyaris tidak pernah menggugat ekspansi Polri. Sebagian besar partai politik di parlemen cenderung diam, atau bahkan mendukung langkah-langkah tersebut karena alasan pragmatis. Lalu mengapa partai politik begitu lemah menjalankan fungsi legislatif dan pengawasan? Apa yang menyebabkan mereka tidak mampu mengantisipasi meluasnya wewenang Polri?

Jawabannya terletak pada krisis kelembagaan dan kualitas kaderisasi partai politik itu sendiri

Lemahnya fungsi legislasi partai politik di DPR sangat dipengaruhi oleh pola rekrutmen politik yang tidak berbasis kompetensi, kapasitas intelektual, atau integritas, melainkan didominasi oleh kedekatan personal, loyalitas kepada elit partai, serta kekuatan logistik. Akibatnya, banyak anggota DPR dari partai politik yang duduk di komisi hukum atau komisi terkait tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang sistem hukum, tata negara, atau prinsip demokrasi. Mereka tidak mampu memproduksi undang-undang yang berkualitas, apalagi mengantisipasi ekspansi kekuasaan dari lembaga eksekutif seperti Polri. Mayoritas partai politik juga tidak memiliki sistem kaderisasi yang kuat. Partai tidak menjalankan fungsi pendidikan politik secara sistematis. Mereka lebih berfungsi sebagai kendaraan elektoral lima tahunan ketimbang institusi demokrasi yang membina calon-calon legislator berkualitas. Karena itu, kemampuan personal anggota DPR dalam memahami peran dan tugasnya pun minim. Tak jarang, mereka hanya menjalankan perintah fraksi atau mengikuti garis kebijakan elit partai tanpa inisiatif legislasi yang visioner.

Partai politik pun seringkali kehilangan kemandirian karena tidak memiliki sumber daya yang memadai. Ketergantungan terhadap akses kekuasaan dan logistik yang diberikan oleh eksekutif membuat mereka enggan bersikap kritis. Bahkan ketika menyangkut kebijakan yang sangat merugikan rakyat, seperti kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, atau pengesahan undang-undang kontroversial yang memperlemah hak publik dan DPR cenderung mengikuti garis kebijakan pemerintah. Di sinilah titik lemah demokrasi kita, institusi yang seharusnya menjadi pengawal kepentingan rakyat justru kehilangan keberpihakan.

Dalam kondisi seperti ini, maka masyarakat sipil tidak boleh tinggal diam

Peran civil society menjadi sangat penting dalam menekan dan membongkar kebuntuan politik yang diciptakan oleh partai politik yang kehilangan arah. Mahasiswa, aktivis, akademisi, praktisi hukum, media independen, dan organisasi masyarakat harus mengambil posisi sebagai pengawas alternatif terhadap kebijakan negara.

Langkah yang dapat dilakukan mencakup membangun literasi politik publik secara luas, mengawal proses legislasi di DPR secara kritis dan terbuka, serta menyuarakan penolakan atas praktek kekuasaan yang menyimpang melalui advokasi, diskusi publik, forum ilmiah, maupun aksi-aksi moral yang damai. Selain itu, masyarakat sipil juga perlu memperkuat posisi dalam mendorong reformasi internal partai politik agar sistem kaderisasi dan seleksi calon legislator ke depan tidak lagi berbasis patronase dan uang, tetapi pada kemampuan, karakter, dan integritas.

Masyarakat harus mulai menyadari bahwa suara dalam pemilu bukan sekadar angka, tapi mandat yang harus dikawal. Jika partai dan wakil rakyat yang terpilih tidak menjalankan amanah konstitusionalnya, maka kritik, desakan, dan penolakan terhadap keputusan-keputusan yang merugikan publik bukan hanya hak, melainkan tanggung jawab moral bersama.

Di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini, khususnya pasca dikeluarkannya Abolisi dan Amnesti 2 Agustus 2025 lalu harus menjadi momentum koreksi untuk terwujudnya reformasi hukum. Partai politik dan DPR harus kembali menjalankan perannya sebagai pilar utama demokrasi, bukan pelengkap kekuasaan. Tapi bila mereka gagal, maka civil society harus berdiri di barisan depan, bukan untuk menggulingkan sistem, tetapi untuk menjaga agar demokrasi tidak dibajak oleh mereka yang seharusnya tunduk pada kedaulatan rakyat.

Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 7 Agustus 2025, 12:54 Wib.

Berita Terkini