_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed._
Mudanews.com OPINI – Pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden Prabowo Subianto di awal masa pemerintahannya menjadi peristiwa politik-hukum yang kontroversial. Lebih lanjut langkah cerdik pemerintahan Prabowo akankah menjadi penanda arah kebijakan hukum di masa depan secara konkrit?
Meskipun linkaran ring kekuasaan dan koleganya memberikan keyakinan kepada publik, bahwa apa yang dilakukan pemerintahan Prabowo positif, tentu semua diperlukan pembuktian. Semua bisa dinilai diawal pemberian amnesti abolisi ini. Dimana kebijakan itu tidak sekedar lips service dan tidak berhenti sebagai langkah politis semata, khususnya kepada Thomas Lembong dan Hasto Kristianto.
Reformasi hukum harus dilanjutkan secara menyeluruh menyentuh akar struktural, kultural, hingga substansial dari sistem penegakan hukum nasional yang selama ini kerap dipandang tidak adil, tidak efisien, dan terlalu sentralistik.
Langkah awal reformasi hukum perlu lakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur kelembagaan hukum, terutama Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polri seringkali tampak sebagai lembaga super body, mulai dari urusan ketahanan pangan, perizinan, pasar saham, hingga pelaksanaan bansos dan pengurusan SIM. Sebuah cakupan kerja yang terlalu luas dan cenderung menyimpang dari mandat konstitusionalnya.
Padahal dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 disebutkan bahwa kepolisian bertugas sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Artinya, fungsi Polri secara normatif adalah “internal order”, bukan “national security” yang merupakan domain Presiden sebagai kepala negara dengan melibatkan banyak institusi seperti TNI, BIN, dan Kemenko Polhukam. Maka menjadi urgen untuk menata ulang peran Polri agar tidak tumpang tindih dengan lembaga lain dan tidak kebablasan dalam menggunakan wewenangnya, terlebih dalam hal penyitaan, penangkapan, terorisme, makar, yang kadang mencederai hak asasi warga negara.
Selain itu perbaikan fungsi wewenang kejaksaan. Kejaksaan selama ini berada di posisi ambigu. Secara struktur merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif, namun dalam praktik sering tergusur oleh dominasi Polri dalam proses penegakan hukum. Reformasi hukum harus mengembalikan kejaksaan sebagai “leading sector” dalam proses peradilan pidana, terutama dalam perkara-perkara besar yang menyangkut kepentingan publik. Hal ini selaras dengan konsep sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) yang menempatkan kejaksaan sebagai pengendali perkara.
Untuk itu, perlu evaluasi mendalam apakah lembaga-lembaga pemberantas kejahatan seperti KPK dan BNN dapat terus berdiri independen, atau justru lebih efektif jika berada dalam koordinasi kejaksaan. Presiden memiliki wewenang konstitusional untuk melakukan konsolidasi terhadap lembaga-lembaga ini demi efisiensi dan efektivitas kinerja penegakan hukum.
Sudah saatnya kancil-kancil cerdik menyaikan yang substansial untuk mendorong Presiden Prabowo mempertimbangkan regenerasi kepemimpinan di tubuh Polri dan Kejaksaan. Kapolri dan Jaksa Agung yang baru semestinya memiliki visi yang sejalan dengan arah reformasi hukum yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Pembenahan organisasi juga mutlak diperlukan, terlalu banyak satuan kerja (satker) yang tidak efisien, dan pemborosan terjadi karena jabatan teknis ditarik ke level eselon tinggi hanya demi protokoler dan anggaran.
Pemerintah perlu memangkas unit-unit yang tidak berorientasi pada pelayanan publik dan kinerja. Tindakan ini tidak hanya akan menyelamatkan anggaran negara, tetapi juga memperkecil potensi penyalahgunaan kekuasaan di lapisan struktural birokrasi hukum.
Aparat Hukum Bukan Alat Kekuasaan
Reformasi hukum tak akan berhasil jika tidak menyentuh dimensi kultural, cara berpikir, moralitas, dan orientasi para aparat penegak hukum sejak dari proses rekrutmen hingga pelatihan. Pendidikan aparat hukum tidak boleh lagi mencetak individu yang loyal pada kekuasaan, melainkan harus menumbuhkan kesadaran etik dan keberanian moral untuk menegakkan keadilan.
Para hakim, jaksa, dan polisi harus dididik sebagai pelayan hukum yang berani berdiri independen. Hakim misalnya, harus dipersiapkan menjadi “pengawas terakhir” (final check) terhadap potensi penyalahgunaan wewenang aparat hukum. Jika rekrutmen dan pendidikan hukum gagal disempurnakan, maka sistem akan terus melahirkan penegak hukum yang tunduk pada kepentingan politik, bukan pada keadilan.
Perubahan struktural dan kultural tidak akan lengkap tanpa reformasi substansial, terutama dalam bidang legislasi. Revisi UU KUHAP yang sedang berlangsung perlu diawasi ketat oleh Presiden. Revisi hukum acara pidana semestinya tidak memperbesar kekuasaan satu lembaga secara berlebihan, apalagi sampai mengkerdilkan institusi pengawasan dan check-and-balance lainnya.
Dalam prinsip negara hukum demokratis, kewenangan negara dalam bidang hak sipil dan politik harus dibatasi, sementara dalam bidang hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob), negara justru harus diberi ruang untuk campur tangan aktif. Ini sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penutup
Langkah awal Prabowo dengan memberikan amnesti dan abolisi bisa dibaca sebagai niat untuk membuka ruang rekonsiliasi politik dan memperkuat demokrasi. Namun ke depan, tantangan utamanya justru ada pada penataan ulang sistem hukum yang sudah terlalu lama menjadi alat kekuasaan.
Jika Prabowo sungguh ingin dikenang sebagai pemimpin transformasional, maka ia harus berani menyentuh jantung masalah, merombak sistem hukum yang sarat konflik kepentingan, tidak efisien, dan jauh dari keadilan. Bukan hanya kosmetik, bukan hanya mengganti orang, tetapi membongkar dan membangun ulang sistem hukum secara menyeluruh, struktural, kultural, dan substansial.
Reformasi hukum bukan sekadar agenda teknokratik, namin adalah soal keberanian politik, visi kenegaraan, dan keberpihakan kepada keadilan. Dan kini, panggung itu sedang ada di tangan Presiden Prabowo.
_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed._
Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu 6 Agustus 2025, 08:18 Wib.