Amnesti Abolisi Era Prabowo dan Keseriusan Wujudkan Reformasi Hukum

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com OPINI – Langkah Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 yang memberikan amnesti dan abolisi kepada lebih dari seribu narapidana, termasuk Thomas Lembong dan Hasto Kristiyanto, bukanlah kebijakan biasa. Meski secara administratif berbasis pada Pasal 14 UUD 1945, keputusan itu menyiratkan lebih dari sekadar upaya menciptakan stabilitas politik. Ada napas korektif dalam bingkai sejarah yang dibacakan pelan-pelan kepada publik: bahwa negara ini, dalam beberapa tahun terakhir, terlalu sering membiarkan hukum berbelok arah mengikuti kemauan kekuasaan.

Amnesti terhadap Lembong dan Hasto menandai pengakuan diam-diam bahwa mereka bukan pelaku kejahatan, tetapi korban dari kriminalisasi yang terjadi di bawah rezim sebelumnya. Jika ini benar, maka pemberian amnesti kepada mereka bukan hanya legal, tetapi juga layak secara moral dan etis. Dalam konteks ini, pemberian pengampunan adalah koreksi yang tepat terhadap ketidakadilan masa lalu. Maka, tidak berlebihan bila Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, memberi sinyal mendukung pemerintahan Prabowo dari luar kekuasaan. Bukan untuk berebut jabatan, melainkan sebagai ikhtiar menjaga reformasi hukum agar tidak kembali disesatkan oleh nafsu kekuasaan dan syahwat politik balas dendam.

Pernyataan Megawati dalam Kongres PDIP di Bali mengandung makna simbolik yang dalam. Ia menyiratkan bahwa penyimpangan hukum bukan lagi asumsi, tapi fakta yang harus dibongkar dan diluruskan. Amnesti ini, dalam pandangan itu, bukan semata demi stabilitas bangsa, melainkan juga sebagai kritik diam-diam terhadap proses hukum yang selama ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Saat demokrasi berubah menjadi prosedur formal belaka, ketika suara kritis dianggap ancaman dan diproses sebagai tindakan makar, di situlah hukum kehilangan nuraninya. Kita bisa melihat kembali peristiwa berdarah Bawaslu 21-22 Mei 2019, tragedi KM 50, kasus kriminalisasi ulama, pembungkaman kritik terhadap RUU Omnibus Law, hingga dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi yang tidak pernah dituntaskan. Semuanya membentuk mozaik yang menunjukkan hukum bukan dijalankan untuk keadilan, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan.

Amnesti juga diberikan kepada ratusan narapidana kasus penyalahgunaan narkotika. Ini membuka diskusi lebih luas tentang gagalnya pendekatan pidana terhadap pengguna narkoba di Indonesia. Alih-alih menjalani rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, para penyalah guna justru dilempar ke balik jeruji. Penjara menjadi ruang buangan bagi mereka yang seharusnya dipulihkan, bukan dihukum. Hal ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan kegagalan mendalam dalam cara berpikir dan memandang penyalah guna narkotika sebagai objek penindakan, bukan subjek pemulihan.

Amnesti terhadap pengguna narkotika tidak boleh dipahami sebagai bentuk toleransi terhadap kejahatan. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk keberpihakan terhadap keadilan substantif.

Lebih fokus bahwa pengguna narkotika dan pemain judi online secara khusus mereka adalah korban dari situasi sosial, ekonomi, dan promosi besar-besaran industri judi di ruang digital yang gagal dikendalikan negara. Dalam ekonomi yang lesu, lapangan kerja sempit, dan hidup makin sulit, sebagian masyarakat terjebak dalam pusaran candu judol, bukan karena niat jahat, tetapi karena ruang hidup yang sempit. Negara yang hadir justru menghukum, bukan menyembuhkan.

Oleh sebab itu, langkah Presiden Prabowo dalam memberikan amnesti layak diapresiasi. Tapi apresiasi ini tak boleh membuat kita lupa bahwa amnesti adalah cermin dari kebuntuan hukum yang akut. Jika hukum berjalan semestinya, maka pengampunan semacam ini tidak perlu ada.

Karena itu, amnesti 2025 harus dibaca sebagai koreksi moral terhadap hukum yang selama ini bergerak menjauhi keadilan. Harus ada evaluasi terhadap seluruh instrumen hukum yang bertanggung jawab dalam memenjarakan para penyalah guna narkotika dan pemain judi online (yang tidak menggunakan uang negaea). Peraturan pelaksanaan UU Narkotika dan pecandu korban judol perlu ditinjau ulang. Pedoman teknis Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Kapolri yang menyangkut penyalah guna narkotika khususnya harus dicabut dan diganti dengan pendekatan berbasis keadilan rehabilitatif dan korban judol perlu segera dibuat dengan bijak.

Sayangnya, sebagian orang yang tak paham konstruksi hukum narkotika justru mencibir amnesti ini sebagai langkah politis atau sebatas manifestasi kekuasaan presiden. Mereka gagal memahami bahwa akar dari pengampunan ini adalah rasa keadilan yang rusak oleh proses hukum yang tidak adil. Penyalah guna seharusnya dihukum untuk pulih, bukan dihukum untuk binasa. Dan bila negara telah keliru menghukum, maka jalan konstitusional seperti amnesti dan abolisi adalah bentuk pertanggungjawaban negara terhadap warga yang dirugikan.

Kini, setelah Keppres diterbitkan dan amnesti dijalankan, saatnya semua penegak hukum membuka mata dan hati. Reformasi hukum tidak cukup dengan pidato atau jargon. Ia harus diwujudkan dalam perubahan paradigma. Dari menghukum menjadi memulihkan. Dari mengkriminalkan menjadi menyelamatkan. Dari alat kekuasaan menjadi alat keadilan.

Jika tidak, maka ke depan kita akan terus menyaksikan bagaimana hukum hanya menakutkan bagi mereka yang tak punya kuasa, dan menjadi pelindung bagi mereka yang berkepentingan. Padahal esensi hukum bukan untuk melindungi yang kuat, tetapi melindungi yang lemah dari kesewenang-wenangan yang terstruktur dan sistematis. Amnesti 2025 harus menjadi tonggak pembaruan hukum yang tidak hanya prosedural, tapi juga bernurani.

Oleh: Agusto Sulistio

Kalibata, Jaksel, Selasa 5 Agustus 2025, 21:18 Wib.

Berita Terkini