Kongres VI PDI Perjuangan,Ketika Partai Memilih Antara Setia san Betunbuh

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh: Anton Christanto Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanwes .COM  OPINI –  M 1. Kongres Ke-6: Konfirmasi Status Quo, Pengingkaran Reformasi?

Kongres VI Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang digelar di Jakarta pada Juli 2025 mengukuhkan kembali Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum dan Hasto Kristiyanto sebagai Sekretaris Jenderal. Tak ada kejutan. Tak ada perlawanan. Tak ada calon alternatif.

Kongres ini menjadi semacam perayaan stabilitas dan loyalitas terhadap figur sentral partai. Namun, bagi sebagian kader muda dan pengamat, ia juga menjadi momen yang menegaskan kemacetan regenerasi, kemandekan visi, dan keengganan menghadapi realitas kekalahan politik.

Di saat publik menantikan pembaruan,lebih menyerupai pengulangan—sebuah ritus politik yang mempertahankan struktur lama sambil menutup telinga dari kritik internal dan eksternal.

2. Luka Kekalahan Pilpres dan Pilkada 2024

PDIP datang ke Kongres ini dalam kondisi terluka. Kekalahan Ganjar Pranowo–Mahfud MD di Pilpres 2024—meskipun memperoleh suara signifikan—menjadi pukulan berat yang tidak hanya bersifat elektoral, tapi juga ideologis dan emosional.

PDIP, partai besar dengan infrastruktur kuat dan basis massa militan, kalah dari pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka, yang didukung secara de facto oleh Presiden Joko Widodo (mantan kader PDIP sendiri). Pengkhianatan ini terasa getir, terutama karena PDIP selama dua dekade terakhir menjadi rumah yang membesarkan Jokowi dari Wali Kota Solo menjadi Presiden Republik Indonesia.

Di sisi lain, hasil Pilkada serentak 2024 juga menunjukkan penurunan dominasi PDIP di sejumlah daerah strategis, termasuk di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sebagian kawasan Indonesia Timur. Hal ini memperlihatkan dua hal penting:

Pertama, kejenuhan terhadap gaya komunikasi dan mobilisasi lama partai.

Kedua, keberhasilan kubu lawan menguasai narasi baru, khususnya melalui media sosial, figur muda, dan politik identitas yang dimodernkan.

3. Megawati dan Hasto: Kesetiaan yang Mengorbankan Terobosan

Megawati Soekarnoputri memang masih menjadi figur ideologis sentral. Tetapi pertanyaannya kini bukan sekadar “apakah beliau masih kuat memimpin?”, melainkan “apakah PDIP masih kuat bertahan dengan pola lama?”

Hasto Kristiyanto, yang kembali dipercaya sebagai Sekjen, memang dikenal sangat loyal, tertib ideologis, dan tangguh mengatur dapur partai. Tapi di balik semua itu, ia adalah simbol dari sistem yang tertutup. Selama satu dekade terakhir, suara kritis dan kader potensial cenderung dikebiri, demi menjaga keseragaman yang disebut sebagai “soliditas struktural”.

Model kepemimpinan ini memang cocok untuk menjaga disiplin dan arah partai. Tapi apakah cocok untuk menghadapi era digital, politik disruptif, dan pemilih muda yang menuntut transparansi, inovasi, dan partisipasi?

4. PDIP dan Ancaman “Partai Ideologis-Ortodoks”

PDIP bangga menyebut dirinya sebagai partai ideologis: berpijak pada Marhaenisme, nasionalisme, dan garis perjuangan rakyat kecil. Namun dalam praktiknya, PDIP makin sering terjebak dalam ortodoksi, bukan ideologi yang hidup.

Alih-alih membuka diri untuk pembaruan tafsir ideologis, PDIP cenderung menjadikan ideologi sebagai monumen mati yang hanya dimaknai oleh segelintir elite. Ini berbeda dengan partai-partai modern di dunia yang terus merevitalisasi fondasi ideologisnya agar tetap relevan dalam konteks kekinian.

Sikap tertutup ini menciptakan alienasi, khususnya dari pemilih muda yang kini menjadi kelompok dominan dalam demografi pemilu.

5. Regenerasi yang Gagal: Antara Puan, Ganjar, dan Jalan Buntu

Puan Maharani, anak biologis Megawati, memang disiapkan sebagai penerus. Tapi ia belum mampu menyaingi magnet Jokowi maupun Ganjar Pranowo dalam hal popularitas publik dan kemampuan menggalang suara rakyat. Sementara Ganjar, yang seharusnya menjadi aset partai, justru dijaga pada jarak aman karena pernah “membangkang” saat proses pencapresan.

Ketika partai menolak membuka ruang bagi kader-kader berprestasi hanya karena alasan loyalitas, maka partai telah memilih stagnasi daripada inovasi.

6. Jalan ke 2029: Realisme, Koalisi Baru, dan Kembali ke Akar

Menuju Pemilu 2029, PDIP harus menjawab tiga tantangan besar:

a) Memulihkan Citra dan Basis

PDIP harus menyadari bahwa banyak pendukungnya di 2014 dan 2019 pindah ke kubu lawan bukan karena ideologi, tapi karena pragmatisme dan rasa dikhianati. Narasi “oposisi terhormat” harus dibangun—bukan dengan marah, tapi dengan program nyata, kerja konkret di parlemen dan daerah, serta konsolidasi akar rumput.

b) Membangun Koalisi Baru

Di luar pemerintahan, PDIP bisa membangun koalisi kerakyatan bersama partai-partai kecil progresif (PKB, PKS, bahkan partai baru) yang tidak nyaman berada di orbit kekuasaan Prabowo-Gibran. Jika ini berhasil, PDIP bisa kembali menjadi “penjaga nalar demokrasi”.

c) Mendefinisikan Kembali Kepemimpinan

PDIP harus berani menetapkan calon pemimpin nasional sejak dini, baik di level nasional maupun daerah. Ganjar bisa kembali diangkat sebagai simbol kebaruan jika dimaafkan. Atau, wajah-wajah baru seperti Abdullah Azwar Anas, Tri Rismaharini, dan tokoh muda lainnya harus diberi panggung.

7. PDIP Bisa Bangkit, Tapi Harus Berani Menyakitkan

Kekuasaan adalah candu. Tapi membesarkan partai adalah penderitaan panjang. PDIP sudah terlalu lama nyaman di puncak dan merasa bisa menang hanya dengan struktur lama. Padahal dunia politik sudah berubah.

Jika PDIP ingin kembali menang di 2029, ia harus:
* Berani meninggalkan ego dinasti.
* Menyusun peta jalan regenerasi yang benar-benar meritokratis.
* Menjadi rumah rakyat yang terbuka untuk semua warna pemikiran yang setia pada konstitusi dan keadilan sosial.

Megawati dan Hasto telah mencatat sejarah. Tapi sejarah tidak bisa diwariskan tanpa keberanian untuk melepaskan.

PDIP bisa kembali menjadi partai pelopor. Tapi hanya jika ia bersedia berubah.

Berita Terkini