Mudanews.com – Langkat | Sungai Bahorok, nadi utama Bukit Lawang, nyaris tidak lagi mengalir. Bukan karena ditutup, bukan karena dialihkan secara resmi. Tapi karena airnya benar-benar hilang. Bebatuan besar yang dulu tertutup derasnya arus kini terhampar telanjang. Sisa genangan air hanya bertahan di beberapa cekungan kecil, menyisakan tanya yang lebih luas dari dasar sungai itu sendiri: apa yang sebenarnya terjadi di hulu sana?
Fenomena Langka atau Bencana yang Dipelihara Diam-diam?
Gambar yang diambil Kamis, 31 Juli 2025, memperlihatkan kenyataan yang tidak bisa dibantah—Sungai Bahorok benar-benar mengalami kekeringan ekstrem. Bagi warga lokal maupun pelaku wisata, ini bukan kejadian biasa. Bahkan pada musim kemarau terparah sekalipun, aliran sungai tetap mengalir meski melemah.
“Saya lahir di sini, besar di sini. Air surut itu biasa. Tapi sampai kering seperti ini? Belum pernah selama hidup saya,” ujar Pak Tamin, warga Dusun Timbang Lawan, yang sejak 1990-an bekerja sebagai pemandu wisata.
Sementara itu, BBMKG Wilayah I Medan memang mengonfirmasi bahwa Sumut sedang berada di puncak kemarau dan awal musim hujan baru akan dimulai September. Tapi pertanyaannya: apakah hanya kemarau yang sanggup mengeringkan sungai selebar 25–50 meter itu?
Penelusuran Awal: Ada Aktivitas di Hulu yang Perlu Disorot
Hasil pantauan lapangan dan laporan warga mengindikasikan adanya aktivitas mencurigakan di kawasan hulu Bahorok—mulai dari alih fungsi lahan hutan, pembukaan kebun di zona penyangga Taman Nasional Gunung Leuser, hingga dugaan penyedotan atau pembendungan aliran kecil untuk kepentingan pribadi.
“Di atas sana sekarang banyak kebun. Ada juga yang narik air dari sungai kecil, pakai pipa besar. Gak tahu ada izinnya atau tidak,” ujar seorang warga yang minta identitasnya tidak dipublikasikan.
Jika benar, maka kawasan konservasi ini tidak lagi steril. Sungai bisa mengering karena sumbernya perlahan dikuras diam-diam. Ini bukan lagi soal musim, tapi soal tata kelola lingkungan yang buruk, pembiaran, atau bahkan kelalaian sistemik.
Wisata Terancam, Ekonomi Lokal Tercekik
Bukit Lawang bukan sekadar desa. Ia adalah ikon ekowisata Sumatera Utara yang menghidupi ribuan warga. Sungai Bahorok adalah tulang punggungnya. Ketika aliran air berhenti, bukan cuma rafting dan tubing yang lenyap—tapi juga pemasukan, pekerjaan, dan daya tarik kawasan.
“Sudah dua hari tamu batal rafting. Mereka hanya ambil foto, lalu pulang. Kerugian sudah terasa,” keluh pengelola penginapan di kawasan tersebut.
Analisa Redaksi: Hilangnya Air Bisa Ditelusuri Lewat Izin dan Citra Satelit
Jika dugaan aktivitas di hulu terbukti, maka langkah berikutnya adalah menelusuri jejak perizinan: siapa yang memberi izin pembukaan lahan? Apakah ada pemanfaatan sumber air di zona penyangga? Apakah ada proyek infrastruktur yang memengaruhi debit air sungai?
Redaksi juga tengah mengumpulkan data perubahan tutupan lahan menggunakan citra satelit dari tiga hingga lima tahun terakhir. Jika terjadi degradasi vegetasi di area tangkapan air Bahorok, maka ini bisa menguatkan analisis bahwa kekeringan bukan hanya karena musim, tetapi karena rusaknya ekosistem penyangga.
Penutup: Sungai yang Hilang, Bukti bahwa Pengawasan Pun Mungkin Ikut Mengering
Bila alam tak lagi mengalirkan airnya, tapi pemerintah juga tak mengalirkan pengawasannya, maka Bukit Lawang hanya tinggal nama dalam brosur. Sebab itu, kekeringan ini seharusnya menjadi bukan sekadar berita viral, tapi awal dari penyelidikan serius lintas sektor.
Redaksi Mudanews akan terus membuka saluran informasi publik, mengumpulkan kesaksian warga, dan menelusuri dokumen resmi demi memastikan apakah benar hanya matahari yang mengeringkan sungai, atau ada tangan-tangan manusia yang diam-diam mematikan sumbernya.
🖊️ [Tim] – Mudanews
📄 Berbasis laporan lapangan, pengaduan warga, dan penelusuran sumber terbuka.