Mudanews.com – Karo | Kawasan wisata Gunung Sibayak, salah satu destinasi andalan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, belakangan menuai sorotan. Hal ini dipicu oleh dugaan praktik pungutan parkir yang tidak didasari ketentuan hukum yang jelas.
Pantauan tim Mudanews di lapangan pada akhir pekan lalu, terlihat sejumlah petugas dari PT Pariban Sibayak Zilena melakukan pungutan kepada wisatawan yang membawa kendaraan roda dua dan roda empat. Namun, pungutan tersebut tidak disertai pemberian karcis resmi sebagaimana diatur dalam tata kelola retribusi yang sah.
Tidak ditemukan pula papan pengumuman tarif resmi atau dasar hukum yang menjadi acuan pungutan, baik dalam bentuk Peraturan Daerah maupun dokumen kerja sama antara pengelola dan instansi pemerintah.
Padahal, berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, setiap pemungutan retribusi parkir di kawasan milik atau yang dikelola oleh pemerintah daerah harus mencantumkan dasar hukum, besaran tarif resmi, dan identitas pengelola yang sah.
Kawasan Gunung Sibayak sendiri berada di bawah pengawasan UPT Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan, yang merupakan unit pelaksana teknis dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sumatera Utara.
Namun hingga berita ini diterbitkan, tidak ditemukan bukti transparansi kerja sama atau legalitas yang terpajang di lapangan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik: benarkah pungutan yang dilakukan selama ini memiliki dasar hukum?
Pengamat: “Ini Bukan Sekadar Pelanggaran Perda, Tapi Pungli!”
Pengamat anggaran Sumatera Utara, Elfanda Ananda, saat dimintai tanggapan oleh tim Mudanews, menilai praktik pungutan parkir di kawasan konservasi seperti Gunung Sibayak harus tunduk sepenuhnya pada aturan resmi yang berlaku.
“Ketentuan tarif parkir itu jelas diatur dalam Perda No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi Sumut. Kalau memang ada pengutipan, harus dicantumkan dasar hukumnya secara tertulis, misalnya dalam bentuk karcis. Nominalnya juga harus sesuai perda,” ujarnya.
Menurut Elfanda, bila pihak swasta mengutip parkir secara mandiri tanpa dasar hukum dan tidak menyetorkan ke kas daerah, maka hal itu bukan sekadar pelanggaran administrasi, tetapi sudah masuk ranah pidana.
“Ini bukan sekadar melanggar Perda. Kalau mereka kelola sendiri, tetapkan tarif sendiri, tapi tidak ada dasar hukum dan tidak masuk PAD, itu jelas pungli. Aparat penegak hukum harus menindak,” tegasnya.
Ia menambahkan, “Perusahaan tidak bisa semena-mena menggunakan lahan konservasi untuk keuntungan pribadi. Kalau mereka kutip, ya harus tunduk pada sistem pajak atau retribusi yang resmi.”
Catatan Redaksi
Mengacu pada Perda No. 1 Tahun 2024, setiap pungutan di kawasan milik pemerintah provinsi seperti Gunung Sibayak harus memiliki dasar hukum yang sah, transparansi pengelolaan, serta menjadi pendapatan daerah.
Apabila ditemukan fakta bahwa pungutan dilakukan tanpa dasar hukum dan tanpa masuk ke kas pemerintah, maka potensi pelanggaran administrasi, pelanggaran Perda, hingga unsur tindak pidana korupsi patut dikaji lebih lanjut oleh pihak berwenang.
Editor: [Tim]– Mudanews
Berdasarkan investigasi Tim Redaksi Mudanews.