Ketika Hukum Diperkosa Demi Kekuasaan: Kasus Thomas Lembong dan Keadilan yang Dibunuh Secara Terang-Terangan

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Anton Christanto  Pengamat dan Pemerhati Sosial Politik di Boyolali

> Mudanews.com OPINI – “Saya suka! Saya suka sekali! Saya suka melihat keputusan hakim yang menyatakan bahwa Thomas Lembong lebih menganut ekonomi kapitalis daripada ekonomi Pancasila. Saya suka, karena akhirnya kita semua tahu, bahwa pengadilan di republik ini bukan lagi soal kebenaran, tapi soal siapa yang sedang berkuasa.”

I. Bukan Sekadar Vonis — Ini Adalah Pembunuhan Etika Bernegara

Hari ini, Indonesia menyaksikan salah satu vonis paling aneh dalam sejarah hukum modern. Thomas Trikasih Lembong, mantan pejabat negara, mantan kepala BKPM dan mantan menteri perdagangan, divonis 4,5 tahun penjara atas tuduhan korupsi yang tidak memenuhi satu pun unsur korupsi sebagaimana diatur undang-undang.

Ya, Anda tidak salah baca. Ini vonis atas korupsi tanpa kerugian negara, tanpa keuntungan pribadi, tanpa pelanggaran hukum, dan tanpa niat jahat.

Lalu, bagaimana bisa dia tetap dihukum?

II. Aneh Tapi Nyata: Vonis yang Menyalahi Logika Hukum

Mari kita urai secara sistematis:

  1. Tidak Ada Niat Jahat (Mens Rea)
    Dalam hukum pidana, niat adalah syarat mutlak. Hakim sendiri mengakui tidak ada niat jahat dari Tom Lembong. Tapi ia tetap dihukum.
  2. Tidak Ada Kerugian Negara
    Laporan BPK, audit internal, bahkan keterangan ahli tidak menyebut satu rupiah pun kerugian negara. Tapi ia tetap dihukum.
  3. Tidak Ada Keuntungan Pribadi
    Tidak ada uang yang masuk ke rekening Thomas. Tidak ada fee, tidak ada gratifikasi, tidak ada aliran dana. Tapi ia tetap dihukum.
  4. Tidak Ada Pelanggaran Hukum
    BUMN bekerja sama dengan swasta adalah praktik umum, sah menurut Undang-undang, dan bagian dari mandat bisnis. Tapi kerja sama itu dianggap sebagai “melawan hukum” hanya karena dilakukan oleh seseorang yang tidak lagi berada dalam lingkar kekuasaan

III. Maka, Kita Harus Bertanya: Siapa Selanjutnya?

Jika Thomas Lembong bisa dihukum hanya karena membuat keputusan yang sah, logis, dan tidak merugikan negara, maka siapa pun bisa menyusul.

Karena:

* PT KAI bekerja sama dengan China dalam proyek Kereta Cepat.
* PLN membeli listrik dari swasta.
* Pertamina bekerja sama dengan Exxon.
* Garuda menyewa pesawat asing.
* Bulog impor beras lewat swasta.

Semua itu dilakukan atas mandat negara, namun dengan logika yang digunakan hakim dalam kasus Tom Lembong, semua bisa dipenjara.

Siap-siap saja 450 tahun penjara bagi menteri-menteri aktif.

IV. Vonis Balas Dendam Politik, Bukan Keadilan

Yang lebih menyakitkan, putusan hakim menyebut bahwa yang memberatkan Thomas adalah karena ia menganut paham ekonomi kapitalis, bukan ekonomi Pancasila.

Serius? Kita menghukum orang karena cara berpikirnya?

Apakah kita sedang kembali ke zaman Gestapo? Atau sedang belajar dari Mao Zedong bahwa “niat dan ideologi” bisa dijadikan dasar kriminalisasi?

Padahal, yang sedang dilakukan Thomas adalah menjalankan kebijakan ekonomi yang selama ini dilakukan hampir semua pemerintahan: kolaborasi antara BUMN dan swasta.

V. Ini Adalah Teror Hukum, Bukan Penegakan Hukum

Kasus ini jelas: Thomas Lembong tidak dihukum karena ia bersalah. Ia dihukum karena ia tidak tunduk. Karena ia kritis. Karena ia berada di luar lingkar kekuasaan.

Hukum dijadikan alat politik, seperti yang dulu kita kutuk di era Orde Baru. Tapi hari ini, dilakukan lebih rapi, lebih licik, dan lebih membungkam.

Apakah Anda tidak marah?

Apakah Anda akan tetap diam?

VI. Jika Ini Keadilan, Maka Kita Semua Telah Gila

Jika vonis ini dianggap adil, maka keadilan tidak lagi ada di pengadilan. Ia telah dibunuh, dan dikuburkan bersama integritas bangsa ini.

Dan bila publik terus diam, bersorak atas vonis ini hanya karena benci pada pribadi Thomas Lembong atau kelompoknya, maka bersiaplah. Karena giliran Anda pasti akan tiba.

Keadilan yang mati hari ini, akan menjadi arwah gentayangan yang akan menghantui siapa pun yang membiarkannya pergi.

Penutup: “Teruslah Bodoh, Jangan Pintar”

Kalau Anda tidak mengerti apa itu yurisprudensi, jangan khawatir. Karena di negeri ini, kebodohan lebih aman daripada keberanian. Ketaatan lebih dipuji daripada pikiran kritis. Dan pengadilan lebih percaya pada tafsir kekuasaan daripada undang-undang.

> “Kalau kita kalah, masuk penjara semua,” kata Budi Arie Setiadi.

Betul.

Dan sekarang kita tahu: mereka yang tidak ikut membungkuk pada kekuasaan, akan dihukum, apapun alasannya.

Kalau Anda masih waras, menangislah. Atau marahlah. Atau setidaknya: jangan diam.

Karena hari ini, hukum Indonesia tidak hanya mati—tapi diperkosa berulang kali di depan publik. Dan kita semua membiarkannya.

Berita Terkini