Parkir, Perda, dan Polemik Izin di Kaki Gunung Sibayak

Breaking News
- Advertisement -

Investigasi Mudanews

Mudanews.com-Karo | Di balik keindahan Gunung Sibayak yang memikat ribuan wisatawan, muncul polemik panjang terkait pengelolaan parkir dan izin usaha di kawasan konservasi. Tim Redaksi Mudanews menelusuri jejak Perda, praktik di lapangan, dan tumpang tindih kewenangan yang menyisakan banyak tanda tanya.

Menelusuri Aroma Ketidakberesan

Gunung Sibayak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, adalah magnet wisata. Namun, di balik ramainya pengunjung, tercium aroma polemik yang melibatkan praktik parkir, izin usaha, dan regulasi daerah.

Tarif parkir kendaraan yang dipatok mencapai Rp15.000–Rp50.000 per unit di kawasan hutan konservasi Tahura Bukit Barisan mengundang tanda tanya. Apakah ini legal? Siapa yang berwenang?

Perda Baru, Masalah Lama

Pada Januari 2024, Pemerintah Provinsi Sumut menerbitkan Perda No. 1 Tahun 2024 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Tahura Bukit Barisan. Dalam dokumen itu, kawasan Gunung Sibayak jelas masuk dalam zona konservasi dan rehabilitasi.

Namun anehnya, di lapangan justru marak aktivitas komersial. Ada retribusi parkir yang dipungut oleh kelompok tertentu, warung dan bangunan semi permanen menjamur, bahkan ada praktik pengutipan yang mengatasnamakan “pengelolaan wisata”.

Di Mana Kewenangan Itu Berlabuh?

Dalam struktur pemerintahan, Tahura adalah kawasan konservasi yang wewenangnya berada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi. Namun dalam praktiknya, muncul pihak-pihak lokal yang menyebut diri sebagai pengelola, lengkap dengan petugas parkir dan karcis.

Pihak Dinas Kehutanan Sumut pernah menyatakan bahwa segala bentuk pungutan di Tahura harus berdasarkan izin resmi. Tetapi hingga kini, tidak jelas siapa yang mengantongi izin resmi tersebut.

Suara Warga dan Pengunjung

Beberapa warga sekitar menyatakan ketidaknyamanan terhadap cara pengelolaan saat ini.

“Kami tidak menolak wisatawan, tapi sistem pungutan ini tak jelas. Kadang tamu kami mengeluh soal tarif masuk dan parkir,” ujar seorang warga Desa Semangat Gunung.

Sementara seorang pengunjung asal Medan mengaku diminta membayar Rp15.000 untuk parkir motor.

“Mereka pakai rompi, tapi tidak jelas lembaganya. Kalau ini kawasan konservasi, kenapa bisa semrawut begini?” katanya.

Antara Potensi dan Ketiadaan Kepastian

Gunung Sibayak punya daya tarik luar biasa, dan kontribusi ekonominya nyata. Namun tanpa pengelolaan yang transparan, akuntabel, dan berbasis hukum, potensi ini bisa berubah jadi bumerang.

Pemerintah daerah dan provinsi perlu segera memperjelas status pengelolaan, menerapkan sistem yang resmi, dan mengawasi setiap pungutan agar tidak menjadi sumber keresahan publik.

| Tim Redaksi – Mudanews 📄 Investigasi ini berdasarkan temuan lapangan dan telaah dokumen terbuka.

Berita Terkini