𝐆𝐚𝐲𝐚 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐁𝐮𝐧𝐠 𝐊𝐚𝐫𝐧𝐨 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐫𝐞𝐬𝐢𝐝𝐞𝐧 𝐏𝐫𝐚𝐛𝐨𝐰𝐨: 𝐑𝐞𝐬𝐨𝐧𝐚𝐧𝐬𝐢 𝐃𝐮𝐚 𝐄𝐫𝐚 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐎𝐫𝐤𝐞𝐬𝐭𝐫𝐚 𝐊𝐞𝐩𝐞𝐦𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Drs.Muhammad Bardansyah.Ch.Cht

Mudanews.com-Opini | Membandingkan gaya politik Soekarno dan Prabowo Subianto ibarat mendengarkan dua simfoni berbeda zaman: satu bergema heroik di tengah revolusi, lainnya mengalun rumit di era demokrasi multipolar.

Keduanya memancarkan karisma kuat dan visi kebesaran Indonesia, namun tantangan yang dihadapi, utang warisan, inflasi, dan korupsi menjadi nada dasar yang terus berulang dalam komposisi kepemimpinan mereka.

𝐃𝐢𝐩𝐥𝐨𝐦𝐚𝐬𝐢: 𝐆𝐚𝐧𝐣𝐚𝐧𝐠 𝐍𝐞𝐤𝐨𝐥𝐢𝐦 𝐯𝐬. 𝐉𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐢𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧

Di panggung global, Soekarno (1945-1966) memainkan simfoni konfrontasi. Doktrin “Berdikari” dan pekikan “𝘎𝘰 𝘵𝘰 𝘏𝘦𝘭𝘭 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘠𝘰𝘶𝘳 𝘈𝘪𝘥!” bukan sekadar retorika, melainkan senjata melawan neo-kolonialisme.

Poros  Jakarta-Peking-Pyongyang dan konfrontasi dengan Malaysia menjadi puncak heroismenya.

Namun, di balik epik revolusioner ini, Indonesia tercekik utang $1,13 miliar warisan Belanda (Perjanjian KMB 1949), ditambah pinjaman $2,3 miliar dari Blok Timur untuk proyek mercusuar.

Hiperinflasi 650% pada 1966 menjadi bukti kegagalan mengelola deficit, pencetakan uang masif digunakan membiayai ambisi geopolitik sementara perut rakyat kosong (Glassburner, 1976, h. 89).

Prabowo (2024-sekarang) menghadapi partitur lebih kompleks. Diplomasi “bebas-aktif”-nya berusaha menari di atas tali AS-Tiongkok dan Rusia, tetapi warisan utang Rp8.000 triliun membelit ruang gerak.

Beban bunga utang menghisap 15% APBN, memaksa pertaruhan sulit: bagaimana membiayai program Makanan Bergizi Gratis senilai Rp120 triliun/tahun tanpa memperdalam defisit?

Volatilitas harga nikel dan minyak sawit global menambah ketidakpastian, menguji ketangguhan strategi “diplomasi ekonomi”-nya (World Bank, 2023, h. 17).

𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢: 𝐑𝐞𝐯𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐯𝐬. 𝐁𝐢𝐫𝐨𝐤𝐫𝐚𝐬𝐢

Panggung domestik Soekarno adalah drama instabilitas. Pemberontakan DI/TII, PRRI, dan pertarungan ideologi memaksanya membubarkan demokrasi parlementer.

Demokrasi Terpimpin yang lahir kemudian justru melahirkan monster korupsi: proyek-proyek strategis dikuasai jaringan militer-birokrat. Skandal “Benteng Group” (1950-an), di mana lisensi impor diserahkan ke kroni politik menjadi simbol penyalahgunaan kekuasaan (Ricklefs, 2008, h. 312).

Ekonomi pun runtuh: inflasi meroket, jalan-jalan rusak, sementara anggaran habis untuk Ganefo (olimpiade versi Nefos) dan Monas.

Prabowo mewarisi panggung lebih stabil, tetapi dihantui birokrasi lamban dan kesenjangan. Proyek Food Estate seluas 1,2 juta hektar di Kalimantan, andalan ketahanan pangan, berisiko menjadi sarang korupsi baru.

Pengadaan traktor dan benih rentan mark-up, pembukaan lahan memicu konflik dengan masyarakat adat, dan deforestasi 32.000 hektar (2022-2023) mengundang kecaman aktivis (𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭, 2024, h. 9).

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang mulia pun tak kebal risiko: kebocoran dana di pemda dan distorsi data penerima bisa menggagalkan misi penurunan stunting.

𝐊𝐞𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧: 𝐋𝐮𝐦𝐛𝐮𝐧𝐠 𝐈𝐦𝐚𝐣𝐢 𝐯𝐬. 𝐅𝐨𝐨𝐝 𝐄𝐬𝐭𝐚𝐭𝐞 𝐊𝐨𝐧𝐭𝐫𝐨𝐯𝐞𝐫𝐬𝐢𝐚𝐥

Cita-cita “Lumbung Pangan” Soekarno terjebak dalam romantisme revolusi. Tanpa dukungan riset pertanian, irigasi memadai, atau logistik modern, impor beras malah melonjak dari 156.000 ton (1959) menjadi 920.000 ton (1965).

Visi agraris itu akhirnya sekadar simbol di tengah ladang-ladang yang terlantar.

Food Estate Prabowo ingin mengoreksi kegagalan sejarah itu, tetapi jalan yang ditempuh berbatu.

Ekonom Faisal Basri mencatat: investasi Rp78 triliun hanya menghasilkan 0,1% kebutuhan beras nasional (Katadata, 2024, h. 5). Sementara Bustar Maitar (EcoNusa) menuding proyek ini mempercepat deforestasi.

Tantangan terberatnya adalah membuktikan Food Estate bukan sekadar “lumbung baru” bagi koruptor, melainkan solusi pangan berkelanjutan.

𝐌𝐮𝐬𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐑𝐚𝐬𝐚 𝐯𝐬. 𝐌𝐁𝐆: 𝐊𝐮𝐥𝐢𝐧𝐞𝐫 𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐯𝐬. 𝐏𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐒𝐭𝐮𝐧𝐭𝐢𝐧𝐠

Mustika Rasa (1967) adalah mahakarya kultural Soekarno. Buku resep raksasa itu bukan sekadar panduan masak, melainkan upaya menyatukan identitas bangsa melalui rasa.

Namun, di balik semangat gotong royong itu, 40% anak Indonesia menderita malnutrisi (UNICEF, 1968, h. 22), retorika persatuan tak sanggup mengisi perut yang kelaparan.

Program MBG Prabowo adalah respons nyata terhadap darurat stunting (24,4% balita Indonesia). Namun, skala program ini menjangkau 82 juta penerima membuka pintu risiko korupsi.

Pengalaman Brasil menunjukkan: tanpa sistem digital real-time, kebocoran dana program serupa bisa mencapai 28% (Fenster et al., 2021, h. 112).

Vendor susu fiktif, distribusi tak merata ke daerah terpencil, dan koordinasi pusat-daerah yang kacau menjadi musuh tersembunyi dalam perang melawan gizi buruk.

𝐄𝐤𝐨𝐫 𝐒𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡: 𝐔𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐤 𝐊𝐮𝐧𝐣𝐮𝐧𝐠 𝐏𝐮𝐭𝐮𝐬

Soekarno dan Prabowo dipisahkan enam dekade, tetapi keduanya berbagi warisan mirip: beban utang dan virus korupsi.

Soekarno meninggalkan Indonesia dengan utang $3,4 miliar dan inflasi 650%, sementara Prabowo mewarisi utang Rp8.000 triliun yang membatasi ruang fiskalnya.

Korupsi era Soekarno bersemayam di jaringan oligarki militer, sementara di era Prabowo ia menyelinap dalam proyek strategis seperti Food Estate dan celah tender MBG.

𝐌𝐞𝐦𝐨𝐫𝐢 𝐒𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐫𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐃𝐞𝐩𝐚𝐧: 𝐏𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐢𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐃𝐮𝐚 𝐄𝐩𝐨𝐤

Bung Karno adalah monumen sejarah yang wajib dikenang dan dikaji secara kritis baik sebagai ikon pembebasan nasional maupun cermin kompleksitas kepemimpinan di tengah gejolak.

Perjalanannya mengajarkan bahwa karisma dan visi kebesaran bangsa tak cukup tanpa fondasi tata kelola ekonomi yang solid.

Sejarawan Benedict Anderson (2006, h. 176) menegaskan, “Soekarno adalah arsitek imajinasi nasional Indonesia, tetapi juga korban dari mimpi-mimpinya sendiri.”

Mempelajari era Soekarno dengan segala keberhasilan diplomasi dan kegagalan ekonominya bukan sekadar nostalgia, melainkan laboratorium kebijakan untuk memahami bagaimana ambisi revolusioner bisa terperangkap dalam jerat utang dan korupsi tanpa pengawasan ketat (Ricklefs, 2008, h. 321).

Prabowo Subianto adalah realitas dan harapan bangsa untuk setidaknya lima tahun mendatang.

Ia mewarisi Indonesia yang lebih demokratis namun terbelit tiga tantangan akut:

1. Utang Rp8.000 triliun yang menyedot 15% APBN,

2. Korupsi sistemik yang menggerogoti proyek strategis seperti Food Estate,

3. Perpecahan sosial yang dipicu hoaks dan disinformasi masif di media sosial.

4. Riset Mietzner (2024, h. 12) menunjukkan polarisasi pasca-pemilu 2024 diperparah oleh “𝒊𝒏𝒅𝒖𝒔𝒕𝒓𝒊 𝒃𝒖𝒛𝒛𝒆𝒓” yang memproduksi narasi kebencian untuk kepentingan politik.

Dalam iklim ini, kepemimpinan Prabowo diuji bukan hanya oleh kebijakan ekonomi, tetapi juga kemampuannya membangun kohesi sosial.

𝐑𝐞𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐎𝐫𝐤𝐞𝐬𝐭𝐫𝐚 𝐊𝐞𝐩𝐞𝐦𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐁𝐚𝐫𝐮

Agar warisan beban sejarah tak menjadi lingkaran setan, Prabowo perlu:

1. Mengidentifikasi figur yang mencintai negeri secara tulus, bukan pencari jabatan. Rekrutmen pejabat harus berbasis integritas dan rekam jejak, bukan transaksi koalisi (𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭, 2024, 𝘩. 23).

2. Memperkuat perisai digital melawan disinformasi dengan membentuk satgas pemantau media sosial independen berbasis akademisi dan masyarakat sipil (Wardle & Derakhshan, 2017, h. 27).

3. Menerapkan transparansi fiskal radikal melalui platform terbuka untuk pantau realisasi anggaran Food Estate dan MBG secara real-time, mengadopsi model sukses sistem pengawasan Bolsa Família (Fenster et al., 2021, h. 15).

Ekonom Muhammad Chatib Basri (2020, h. 89) mengingatkan: “Pemerintahan yang lahir dari warisan krisis harus memilih: menjadi tawanan oligarki atau membuka pintu bagi talenta tanpa nama yang berani membereskan borok sejarah.”

𝐄𝐩𝐢𝐥𝐨𝐠: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐇𝐚𝐫𝐚𝐩𝐚𝐧

Soekarno adalah kenangan yang tak tergantikan. Terlepas dari segala kelemahan dan kontroversi, dialah sang peletak batu pertama Indonesia merdeka, arsitek yang membangun mimpi kolektif bangsa dari puing-puing kolonialisme. Tanpa api revolusinya, tanpa teriakan “Berdikari”-nya, mungkin tak ada panggung bernama Indonesia hari ini.

Sejarah mencatatnya bukan sebagai pahlawan tanpa cela, melainkan sebagai manusia yang berani menggenggam obor di tengah gelap, meski obor itu kadang membakar tangannya sendiri.

Seperti kata sejarawan Benedict Anderson (2006): “Soekarno mengajarkan kita bahwa kemerdekaan adalah puisi yang ditulis dengan tinta darah dan air mata, puisi yang tak pernah sempurna, tapi abadi dalam ingatan.”

Kini, Prabowo Subianto memegang obor itu di usia 73 tahun. Usia yang bukan lagi muda, tapi justru membawa bekal kebijaksanaan dari enam dekade geliat politik Indonesia. Ini bukan sekadar jabatan; ini pertaruhan terakhir untuk mewariskan legasi. Di pundaknya tergantung pertanyaan sejarah:

Akankah ia dikenang sebagai presiden yang membangkitkan Indonesia menjadi raksasa ekonomi baru Asia, negeri yang tak hanya kaya sumber daya, tapi juga adil dan makmur?

Ataukah ia hanya akan menjadi catatan kaki dalam babak kepemimpinan yang terperangkap dalam lingkaran korupsi dan utang?

Tantangannya nyata: utang Rp8.000 triliun, proyek Food Estate yang disesaki polemik, dan banjir disinformasi yang menggerus persatuan. Tapi di balik itu, ada pelajaran dari masa lalu yang bisa menjadi kompas:

Soekarno gagal ketika mengorbankan ekonomi demi politik; Prabowo berpeluang sukses jika ia merajut keduanya dengan benang transparansi.

Bagi bangsa Indonesia, momen ini adalah simpul harapan. Setelah 79 tahun merdeka dan tujuh kali pergantian presiden, kita telah melihat bagaimana kepemimpinan bisa jatuh-bangun. Prabowo bukanlah mesias, tapi ia bisa menjadi jembatan, jika mau mendengarkan desah rakyat kecil, memberantas korupsi tanpa tebang pilih, dan mengubah janji “Indonesia Emas 2045” dari wacana jadi aksi nyata.

Seperti orkestra, Indonesia tak butuh konduktor yang sempurna. Kita butuh pemimpin yang belajar dari nada fals sejarah, lalu menciptakan melodi baru: melodi di mana kedaulatan pangan bukan ilusi, stunting jadi masa lalu, dan keadilan ekonomi bukan mimpi.

Di ujung senja kariernya, Prabowo punya pilihan:

Menjadi batu nisan bagi ambisi yang kandas, atau menjadi batu pertama untuk Indonesia yang bangkit.

Mari berharap ia memilih yang kedua—karena bangsa ini pantas mendapatkannya.

𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐏𝐮𝐬𝐭𝐚𝐤𝐚

1. 𝘈𝘯𝘥𝘦𝘳𝘴𝘰𝘯, 𝘉. 𝘙. 𝘖’𝘎. (2006). 𝘐𝘮𝘢𝘨𝘪𝘯𝘦𝘥 𝘤𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘪𝘦𝘴: 𝘙𝘦𝘧𝘭𝘦𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘰𝘳𝘪𝘨𝘪𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘴𝘱𝘳𝘦𝘢𝘥 𝘰𝘧 𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮 (𝘌𝘥𝘪𝘴𝘪 𝘙𝘦𝘷𝘪𝘴𝘪). 𝘝𝘦𝘳𝘴𝘰.

2. 𝘉𝘢𝘴𝘳𝘪, 𝘔. 𝘊. (2020). 𝘛𝘩𝘦 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺 𝘰𝘧 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 𝘳𝘦𝘧𝘰𝘳𝘮 𝘪𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢. 𝘋𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘏. 𝘏𝘪𝘭𝘭 & 𝘔. 𝘊. 𝘉𝘢𝘴𝘳𝘪 (𝘌𝘥𝘴.), 𝘛𝘩𝘦 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺 𝘪𝘯 𝘵𝘳𝘢𝘯𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯 (𝘩𝘭𝘮. 79–104). 𝘐𝘚𝘌𝘈𝘚 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨.

3. 𝘍𝘦𝘯𝘴𝘵𝘦𝘳, 𝘔., 𝘦𝘵 𝘢𝘭. (2021). 𝘊𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘪𝘯 𝘴𝘰𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘱𝘳𝘰𝘨𝘳𝘢𝘮𝘴: 𝘓𝘦𝘴𝘴𝘰𝘯𝘴 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘉𝘰𝘭𝘴𝘢 𝘍𝘢𝘮í𝘭𝘪𝘢. 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘤 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤𝘴, 198, 104–118.

4. 𝘎𝘭𝘢𝘴𝘴𝘣𝘶𝘳𝘯𝘦𝘳, 𝘉. (𝘌𝘥.). (1976). 𝘛𝘩𝘦 𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺 𝘰𝘧 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢: 𝘚𝘦𝘭𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘪𝘯𝘨𝘴. 𝘊𝘰𝘳𝘯𝘦𝘭𝘭 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.

5. 𝘒𝘢𝘵𝘢𝘥𝘢𝘵𝘢. (2024). 𝘌𝘷𝘢𝘭𝘶𝘢𝘴𝘪 𝘍𝘰𝘰𝘥 𝘌𝘴𝘵𝘢𝘵𝘦: 𝘐𝘯𝘷𝘦𝘴𝘵𝘢𝘴𝘪 𝘙𝘱78 𝘛𝘳𝘪𝘭𝘪𝘶𝘯, 𝘒𝘰𝘯𝘵𝘳𝘪𝘣𝘶𝘴𝘪 0,1%. 𝘓𝘢𝘱𝘰𝘳𝘢𝘯 𝘒𝘩𝘶𝘴𝘶𝘴.

6. 𝘔𝘪𝘦𝘵𝘻𝘯𝘦𝘳, 𝘔. (2024). 𝘗𝘳𝘢𝘣𝘰𝘸𝘰 𝘚𝘶𝘣𝘪𝘢𝘯𝘵𝘰’𝘴 𝘱𝘳𝘦𝘴𝘪𝘥𝘦𝘯𝘤𝘺: 𝘊𝘰𝘯𝘵𝘪𝘯𝘶𝘪𝘵𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘤𝘩𝘢𝘯𝘨𝘦 𝘪𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴. 𝘐𝘚𝘌𝘈𝘚 𝘗𝘦𝘳𝘴𝘱𝘦𝘤𝘵𝘪𝘷𝘦, 2024 (44), 1–15.

7. 𝘙𝘪𝘤𝘬𝘭𝘦𝘧𝘴, 𝘔. 𝘊. (2008). 𝘈 𝘩𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘮𝘰𝘥𝘦𝘳𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘴𝘪𝘯𝘤𝘦 𝘤.1200 (𝘌𝘥𝘪𝘴𝘪 𝘬𝘦-4). 𝘗𝘢𝘭𝘨𝘳𝘢𝘷𝘦 𝘔𝘢𝘤𝘮𝘪𝘭𝘭𝘢𝘯.

8. 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭. (2024). 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢: 𝘊𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘥𝘺𝘯𝘢𝘮𝘪𝘤𝘴 𝘪𝘯 𝘱𝘶𝘣𝘭𝘪𝘤 𝘱𝘳𝘰𝘫𝘦𝘤𝘵𝘴. 𝘓𝘢𝘱𝘰𝘳𝘢𝘯 𝘒𝘩𝘶𝘴𝘶𝘴.

9. 𝘜𝘕𝘐𝘊𝘌𝘍. (1968). 𝘕𝘶𝘵𝘳𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘴𝘶𝘳𝘷𝘦𝘺 𝘰𝘧 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢.

10. 𝘞𝘢𝘳𝘥𝘭𝘦, 𝘊., & 𝘋𝘦𝘳𝘢𝘬𝘩𝘴𝘩𝘢𝘯, 𝘏. (2017). 𝘐𝘯𝘧𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘥𝘪𝘴𝘰𝘳𝘥𝘦𝘳: 𝘛𝘰𝘸𝘢𝘳𝘥 𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘳𝘥𝘪𝘴𝘤𝘪𝘱𝘭𝘪𝘯𝘢𝘳𝘺 𝘧𝘳𝘢𝘮𝘦𝘸𝘰𝘳𝘬 𝘧𝘰𝘳 𝘳𝘦𝘴𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩 𝘢𝘯𝘥 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯𝘨. 𝘊𝘰𝘶𝘯𝘤𝘪𝘭 𝘰𝘧 𝘌𝘶𝘳𝘰𝘱𝘦 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵.

11. 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬. (2023). 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘱𝘳𝘰𝘴𝘱𝘦𝘤𝘵𝘴: 𝘛𝘰𝘸𝘢𝘳𝘥𝘴 𝘧𝘰𝘰𝘥 𝘴𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 vs tantangan kontemporer.

12. Anderson, B. R. O’G. (2006). Imagined communities: Reflections on the origin and spread of nationalism (hlm. 178). Verso.

13. Mietzner, M. (2024). Prabowo Subianto’s presidency: Continuity and change in Indonesian politics (hlm. 14). ISEAS Perspective.

Berita Terkini