Mudanews.com-Opini | Ketika jalan seharusnya menjadi jalur penghubung kemajuan, di Sumatera Utara justru berubah menjadi lintasan licin penuh intrik kekuasaan dan kepentingan. Kasus dugaan korupsi proyek jalan di Mandailing Natal yang melibatkan lima tersangka, termasuk Kadis PUPR Sumut nonaktif Topan Ginting, kini masuk babak baru. Dalam penggeledahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditemukan dua hal yang tak biasa: uang tunai Rp2,8 miliar dalam bentuk 28 pak dan dua senjata lengkap dengan amunisinya.
Temuan ini diumumkan langsung oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, pada Rabu, 2 Juli 2025 di Jakarta, sebagaimana diberitakan DetikNews. KPK menyita sebuah pistol Baretta dengan 7 butir peluru dan satu senapan angin air gun dengan dua pax amunisi. Senjata api tersebut ditemukan bersama tumpukan uang tunai di rumah Kadis PUPR Sumut nonaktif Topan Ginting. Asal usul senjata api ini, menurut Budi, akan dikoordinasikan lebih lanjut dengan pihak kepolisian guna memastikan legalitas serta keterkaitannya dengan perkara.
Publik tentu bertanya, mengapa seorang pejabat sipil menyimpan senjata api di rumahnya bersama uang tunai dalam jumlah besar? Apakah ini bentuk perlindungan pribadi, simbol kuasa, atau kebetulan semata? Tentu semua akan diuji dalam proses hukum yang sedang berjalan. Namun dari sudut pandang publik, temuan ini menghadirkan gambaran kuat tentang kuasa ganda—kuasa atas pengelolaan proyek dan kuasa untuk melindungi praktik di balik layar.
Lebih dalam lagi, pola dugaan korupsi ini kembali memperlihatkan . Dalam kasus ini, KPK menduga Topan Ginting mengatur perusahaan swasta pemenang lelang untuk memperoleh keuntungan ekonomi, di antaranya dua perusahaan yang dipimpin oleh M. Akhirun Pilang dan M. Rayhan Dulasmi Pilang, yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Situasi ini bukan hanya menyangkut proyek jalan di satu kabupaten, tetapi mencerminkan kerapuhan sistem pengawasan proyek infrastruktur secara luas di daerah. Di mana proyek-proyek bernilai ratusan miliar rupiah—yang seharusnya menyentuh langsung kepentingan masyarakat—berisiko besar dikendalikan oleh elite lokal melalui proses lelang yang tidak transparan.
Apa yang kita lihat saat ini hanyalah puncak dari gunung es. Jika penggeledahan demi penggeledahan terus dilakukan di titik-titik yang berkaitan dengan proyek jalan di Sumatera Utara, bukan tidak mungkin akan terungkap jejaring yang lebih luas. Dan pertanyaannya bukan lagi siapa yang menerima, tapi banyak jalur distribusi dana proyek yang bocor ke kantong pribadi, dan bagaimana peran senjata—jika memang disengaja—dalam menjaga “keamanan” sistem yang dibangun di atas praktik korupsi.
Bagi masyarakat, ini bukan sekadar tontonan OTT atau temuan spektakuler. Ini adalah alarm serius atas wajah gelap proyek infrastruktur di daerah, di mana jalan bisa dibangun tapi hukum justru dikesampingkan. Uang bisa berputar, tapi keadilan masih tersendat di persimpangan. Dan saat senjata muncul di tengah pusaran proyek, kita patut khawatir bahwa korupsi tak lagi sekadar urusan angka—tapi sudah menyentuh rasa aman dan etika kekuasaan itu sendiri.**[Red]
Catatan Redaksi:
Opini ini disusun berdasarkan data dan pernyataan resmi yang telah dipublikasikan oleh media nasional, termasuk DetikNews, serta merujuk pada keterangan Juru Bicara KPK. Penulisan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas tata kelola proyek infrastruktur dan tidak mengandung tuduhan di luar yang ditetapkan oleh hukum.