Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht
Mudanews.com-Opini | Dunia pernah bersuara lantang, penuh kengerian dan kemarahan suci, menyaksikan mesin pembunuh Nazi Jerman melumatkan enam juta jiwa manusia hanya karena mereka dilahirkan sebagai Yahudi.
Holocaust menjadi noda terdalam dalam sejarah manusia modern, simbol puncak kebiadaban yang dihasilkan oleh kebencian tak terkendali, fasisme, dan dehumanisasi sistematis. Jeritan “𝘕𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘈𝘨𝘢𝘪𝘯!” (Jangan Terulang Lagi!) menggema ke seluruh penjuru dunia, menjadi sumpah kolektif umat manusia:
𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐢𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐠𝐞𝐧𝐨𝐬𝐢𝐝𝐚 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐝𝐢 𝐝𝐞𝐩𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐭𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚.
Kita semua, sebagai manusia yang beradab, bersepakat: Nazi adalah biadab. Pembantaian itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang tak termaafkan.
Pelajarannya jelas dan universal: setiap nyawa manusia memiliki martabat yang tak tersentuh, tanpa memandang etnis, agama, atau asal-usulnya.
HAM adalah hak yang melekat pada setiap individu, bukan hak istimewa yang diberikan berdasarkan identitas kelompok.
Namun, di sinilah ironi sejarah menusuk paling dalam. Bertahun-tahun kemudian, kita menyaksikan tragedi yang memilukan di tanah Palestina, khususnya Gaza. 𝐏𝐮𝐥𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐫𝐢𝐛𝐮 𝐰𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐬𝐢𝐩𝐢𝐥 – 𝐥𝐚𝐤𝐢-𝐥𝐚𝐤𝐢, 𝐩𝐞𝐫𝐞𝐦𝐩𝐮𝐚𝐧, 𝐚𝐧𝐚𝐤-𝐚𝐧𝐚𝐤, 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐮𝐚 – 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐞𝐰𝐚𝐬.
Infrastruktur kehidupan hancur lebur. Akses terhadap air bersih, makanan, obat-obatan, dan tempat aman menjadi mimpi.
Gambar-gambar yang keluar dari Gaza: anak-anak terkubur reruntuhan, keluarga mengais sisa makanan, rumah sakit tanpa listrik – membangkitkan kenangan mengerikan akan penderitaan masa lalu yang seharusnya menjadi peringatan abadi.
Dan dunia? Sebagian besar diam membisu. Khususnya kekuatan-kekuatan besar seperti AS dan sekutu Baratnya, yang seringkali menjadi penyuara lantang HAM di tempat lain, tapi memilih untuk memberikan pembenaran, dukungan militer tanpa syarat, atau paling banter, seruan lemah untuk “proporsionalitas” sambil memveto resolusi pengekangan di PBB.
Diamnya mereka bukanlah ketiadaan suara; itu adalah persetujuan yang nyaring terhadap status quo penderitaan. Standar ganda ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip HAM universal yang mereka klaim junjung tinggi.
Yang paling tragis adalah posisi banyak pemimpin dan pendukung Israel saat ini. Mereka, yang sejarah kolektifnya diwarnai trauma genosida paling mengerikan, seolah-olah melupakan inti sari dari pelajaran Holocaust itu sendiri.
Holocaust bukan hanya tentang penderitaan Yahudi; itu adalah peringatan universal tentang apa yang terjadi ketika kebencian, prasangka, dan kekuasaan absolut dibiarkan merajalela; ketika satu kelompok manusia merasa berhak mendominasi, mengusir, atau bahkan memusnahkan kelompok lain.
Menggunakan trauma masa lalu sebagai tameng untuk membenarkan penderitaan orang lain hari ini bukan hanya hipokrisi, tetapi juga pendistorsian mendasar terhadap memori para korban Holocaust.
Memori itu harus menjadi kekuatan untuk membela kemanusiaan semua orang, bukan senjata untuk menindas.
Ini bukan tentang menyamakan konteks sejarah yang kompleks. Ini adalah seruan untuk konsistensi moral.
Jika “Never Again!” benar-benar berarti sesuatu, maka itu harus berarti “TIDAK PERNAH LAGI UNTUK SIAPAPUN”. Prinsip HAM tidak mengenal pilih kasih.
Sebuah nyawa anak Palestina di Gaza sama berharganya dengan nyawa anak Yahudi di Auschwitz atau anak manapun di dunia ini.
Penderitaan manusia adalah penderitaan manusia, terlepas dari siapa yang menderita atau siapa yang menyebabkan penderitaan.
Seruan Kemanusiaan:
𝗦𝗮𝘁𝘂 : Kenangan Holocaust Harus Menuntun Pada Empati Universal: Trauma Holocaust harus menjadi kompas yang mengarahkan kita pada pembelaan gigih terhadap semua kelompok yang terancam, terpinggirkan, dan mengalami dehumanisasi, termasuk warga Palestina.
Mengingat Auschwitz harus membuat kita lebih peka terhadap penderitaan di Gaza, bukan menutup mata.
𝗗𝘂𝗮. HAM Adalah Hak Semua Manusia Tanpa Kecuali: Hak untuk hidup, hak atas keamanan, hak atas tempat tinggal, hak untuk tidak disiksa, hak atas standar hidup yang layak – ini adalah hak yang melekat pada setiap manusia, Palestina maupun Israel.
Tidak ada pengecualian, tidak ada pembenaran kolektif untuk pelanggaran massal.
𝗧𝗶𝗴𝗮 . Tolak Standar Ganda: Masyarakat internasional, terutama negara-negara yang menyuarakan nilai-nilai demokrasi dan HAM, harus konsisten.
Diam atau membenarkan pelanggaran HAM di satu tempat meruntuhkan kredibilitas semua upaya membela HAM di tempat lain. Keadilan harus buta, bukan berpihak.
𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁. Dengarkan Suara Korban & Suara Nurani: Dengarkan jeritan warga Gaza, laporan organisasi HAM independen (Amnesty, HRW, PBB), dan juga suara-suara berani dari dalam komunitas Yahudi dan Israel sendiri yang menentang kebijakan pemerintahnya dan membela hak-hak Palestina.
Mereka adalah bukti nyata bahwa memori Holocaust dapat membuahkan solidaritas sejati.
𝗟𝗶𝗺𝗮. “Never Again” Adalah Janji untuk Masa Depan: Sumpah “Jangan Terulang Lagi!” hanya bermakna jika kita bertindak tegas sekarang untuk menghentikan penderitaan massal dan pelanggaran HAM berat di manapun terjadi, termasuk Gaza.
Diam hari ini adalah pengingkaran terhadap janji itu dan membuat kita semua bersalah karena membiarkan sejarah kelam terulang dalam bentuk yang berbeda.
𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽
Sejarah telah memberikan kita pelajaran yang mahal harganya. Holocaust mengajarkan bahwa keheningan dunia adalah persetujuan, dan bahwa dehumanisasi adalah jalan menuju pembunuhan massal.
Ironi melihat korban masa lalu mungkin mengulangi pola yang sama, atau dunia yang diam melihatnya, adalah tamparan keras bagi hati nurani kemanusiaan.
Mari kita jadikan kesedihan dan kemarahan kita atas masa lalu sebagai kekuatan untuk membela hak asasi manusia secara konsisten, adil, dan tanpa kompromi untuk semua manusia, di manapun mereka berada. Karena hanya dengan begitu, sumpah “Never Again” benar-benar memiliki arti. 𝗡𝗲𝘃𝗲𝗿 𝗔𝗴𝗮𝗶𝗻 𝗳𝗼𝗿 𝗔𝗻𝘆𝗼𝗻𝗲. 𝗛𝗮𝗸 𝗔𝘀𝗮𝘀𝗶 𝗠𝗮𝗻𝘂𝘀𝗶𝗮 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗠𝗶𝗹𝗶𝗸 𝗦𝗲𝗺𝘂𝗮.**[]