KEK Arun: Kawasan Ekonomi Khusus atau Kawasan Elit Korupsi?

Breaking News
- Advertisement -

Opini ini lahir dari keprihatinan atas dinamika yang terjadi di KEK Arun.

Mudanews.com-Opini | Membaca Kompas edisi 30 Juni 2025, saya tercekat. Delapan pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan seorang mantan Gubernur Aceh disebut belum memenuhi panggilan jaksa dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun. Kawasan yang sejak awal digadang-gadang menjadi tonggak bangkitnya ekonomi Aceh utara, justru kini dipenuhi kabut tanda tanya: siapa yang sebenarnya mengambil manfaat? Dan siapa yang sedang mencoba melarikan diri dari tanggung jawab?

Bangunan-bangunan Sunyi, Janji yang Tertinggal

Saya sempat beberapa kali melintasi kawasan bekas kejayaan LNG Arun. Gedung-gedung berdiri. Jalan-jalan lebar. Tapi seperti ada gema kosong di dalamnya. Proyek besar ini katanya didukung banyak “raksasa” negara: PT Pertamina, PT PIM, PT Pelindo, PEMA, dan seterusnya. Tapi sayangnya, rakyat Lhokseumawe belum benar-benar merasakan getar ekonominya.

Kini ketika delapan pejabat dan satu mantan gubernur tak kunjung hadir dalam pemeriksaan hukum, kita patut bertanya lebih dalam: apakah yang absen ini hanya tubuh mereka? Atau juga tanggung jawab mereka?

Mangkir yang Menohok Nurani

Mangkir itu bukan kejahatan, tapi dalam konteks publik, itu bisa mencederai kepercayaan. Apalagi kalau yang mangkir adalah para pemimpin institusi negara yang seharusnya menjadi teladan kepatuhan.

Mereka yang dipanggil bukan orang sembarangan. Ada direktur BUMN, pengelola KEK, pejabat gas dan pupuk, hingga mantan kepala daerah. Apakah absennya mereka adalah bentuk kebetulan? Ataukah kita sedang menyaksikan bentuk lain dari “solidaritas senyap”?

KEK Arun, Untuk Siapa Sebenarnya?

Dulu narasi yang dibangun sangat megah. KEK Arun akan menjadi episentrum industri energi dan pupuk, membuka lapangan kerja, mengalirkan investasi. Tapi rakyat hanya mendapat cerita. Lahan bekas LNG hanya jadi simbol proyek yang ditinggalkan.

Jika benar ada korupsi di baliknya, maka itu bukan hanya perampokan anggaran. Itu penghinaan terhadap masa depan Aceh. Dan jika para pejabat terus menghindar dari panggilan hukum, maka yang sedang mereka hindari bukan sekadar jaksa, tapi juga wajah rakyat yang menanti keadilan.

Penutup: Bangun Kawasan, Tapi Jangan Lupakan Kewajiban

Saya tidak hendak menghakimi siapapun. Biarlah proses hukum berjalan. Tapi jangan jadikan KEK Arun hanya sebagai panggung proyek PowerPoint—indah di atas kertas, kosong di lapangan.

Dan kepada mereka yang dipanggil, izinkan saya mengatakan: datanglah bukan karena takut, tapi karena sadar—bahwa setiap jabatan adalah titipan, dan setiap titipan akan dimintai pertanggungjawaban. Jika bukan oleh hukum, maka oleh sejarah.**[tz]

Catatan:
Tulisan ini merupakan opini pribadi yang lahir dari keprihatinan atas situasi yang berkembang. Penulis tidak menuduh atau memvonis pihak manapun, dan hanya menyampaikan perspektif terhadap peristiwa yang menjadi perhatian publik. Redaksi membuka ruang hak jawab dan klarifikasi.

Berita Terkini