Lele, Dana Desa, dan Proyek Ketahanan yang Tak Kenyang

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews.com-Opini | Ketahanan pangan, dalam konsep ideal, mestinya bukan sekadar ketahanan simbolik. Tapi dalam praktik di banyak kampung, terutama ketika dana desa mulai mengalir deras, istilah itu bisa berubah jadi proyek siap serap anggaran — asal ada dokumentasi, asal ada bibit ditebar, asal laporan bisa naik cetak.

Contohnya, konon penebaran Limapuluhan ribu bibit ikan lele di satu kampung di Aceh Tamiang. Angkanya menggiurkan: Ratusan juta lebih dari ADD 2025 untuk program yang katanya berbasis ketahanan pangan. Kolam sudah disiapkan, undangan sudah disebar, pelepasan bibit pun semarak. Tapi kemudian pertanyaan muncul: setelah itu, apa?

Lele Bukan Sekadar Ikan

Lele bukan sembarang ikan. Ikan ini dikenal kanibal, doyan memangsa sesamanya bila tidak tumbuh seragam. Maka peternaknya harus rajin sortir, telaten memberi pakan, paham teknik panen, bahkan tahu ke mana harus menjual. Ini bukan urusan sepele. Kalau salah kelola, bibit bisa jadi bencana: jumlah panen berkurang, kolam jadi rugi, masyarakat tinggal mengurut dada.

Ironisnya, dalam proyek lele bernilai ratusan juta ini, tak terdengar kabar pelatihan, tak nampak program pendampingan. Yang ada hanya penebaran, kemudian senyap. Ketika publik bertanya ke pemerintah kampung, jawabnya malah dilempar ke ketua BUMK. Dan ketua BUMK menjawab singkat lewat WhatsApp: hanya angka dan nama program.

Inikah yang dimaksud “ketahanan pangan”?

Ketahanan atau Ketegangan?

Wajar jika publik bertanya: untuk siapa program ini? Apakah memang dibutuhkan warga, atau hanya demi menyerap anggaran agar terlihat bekerja? Apakah warga yang mengelola, atau segelintir elite kampung yang menguasai kolam dan peta dana?

Ketahanan pangan seharusnya memberi makan, bukan menambah kecurigaan. Memberi harapan, bukan membiarkan masyarakat hanya menonton dari tepi kolam.

Agar Tak Jadi Proyek Basah Tanpa Hasil

Yang diperlukan sekarang bukan klarifikasi lewat WhatsApp, tapi transparansi terbuka: siapa yang mengelola, berapa kolam aktif, bagaimana teknis budidaya dijalankan, dan bagaimana mekanisme evaluasi. Dana desa adalah milik publik — maka seharusnya publik juga berhak tahu, bahkan sejak tahap perencanaan.

Jangan sampai proyek lele ini hanya memberi kenyang pada sekelompok orang, tapi meninggalkan masyarakat tetap lapar akan keadilan dan akuntabilitas.

Lele mungkin memang murah. Tapi kalau dikelola tanpa ilmu dan tanpa arah, yang murah justru adalah niat kita dalam menjaga kepercayaan rakyat.**[]

Catatan: (Tulisan ini hanya mengingatkan, mengajak semua pihak berpikir jernih tentang bagaimana program berbasis dana publik seharusnya dijalankan.)

Berita Terkini