Oleh: Jeri Prayoga
Mahasiswa Hukum Pidana, Putra Aceh Tamiang
Mudanews.com -Opini | Saya, Jeri Prayoga, pemuda Aceh yang lahir dan besar di Aceh Tamiang, menolak diam atas keputusan sepihak Pemerintah Pusat melalui Kemendagri yang menetapkan empat pulau—Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—sebagai milik Sumatera Utara.
Ini bukan hanya soal garis di peta administratif. Ini soal martabat. Ini adalah bentuk kekeliruan yang menyayat identitas Aceh.
Keputusan Administratif yang Cacat Sejarah
Keputusan tertanggal 25 April 2025 dari Kemendagri itu terlalu gegabah. Mengatasnamakan kedekatan geografis dan kesepakatan batas darat, mereka mengabaikan sejarah panjang, hukum yang berlaku, dan hubungan sosial masyarakat yang selama ini berakar kuat dengan wilayah-wilayah tersebut.
Pulau-pulau Itu Milik Aceh, dari Segala Aspek
Yuridis: Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1956 dan UUPA Nomor 11 Tahun 2006, keempat pulau itu berada dalam cakupan Provinsi Aceh. UU ini belum dicabut. Maka secara hukum tertinggi, itu adalah wilayah Aceh.
Sejarah dan Administratif: Dari peta kolonial Belanda, SK Agraria 1965, hingga peta TNI 1978, semuanya menempatkan pulau-pulau tersebut dalam garis Aceh. Bahkan nelayan membayar pajak ke Aceh Singkil.
Sosiokultural: Masyarakat sekitar pulau berbahasa Aceh, berbudaya Aceh, dan menyatu secara sosial dengan kawasan pesisir barat.
Baca juga : Empat Pulau, Satu Luka Administratif
Dimana Supremasi Hukum Kita?
Keputusan Kemendagri itu jelas melanggar asas legalitas dan prinsip hierarki perundang-undangan. Tidak bisa keputusan menteri menabrak UU yang lebih tinggi. Apalagi UUPA adalah wujud hukum dari Perjanjian Damai Helsinki 2005. Menyepelekan itu sama saja mengancam stabilitas yang dibangun dengan darah dan kesabaran.
Pernyataan mantan Wapres Jusuf Kalla soal pulau-pulau ini harus jadi perhatian. Ini bukan semata opini politik, tapi peringatan dari tokoh perdamaian nasional.
Bukan Soal Peta, Tapi Soal Harga Diri
Kami pemuda Aceh tidak sedang mencari ribut. Tapi kami juga tidak sudi sejarah kami digusur atas nama administrasi. Jangan paksa kami menerima konsep “kelola bersama” untuk sesuatu yang sudah jelas milik kami.
Kami mendukung langkah Presiden Prabowo yang mulai menangani hal ini. Tapi kami ingin keadilan, bukan kompromi asal damai.
Kami Tidak Akan Diam
Kami mendesak DPR RI dan DPD RI menggelar rapat terbuka. Biarkan masyarakat Aceh bersuara. Dan kepada Pemerintah Aceh: tolong jangan pasif. Ini bukan sekadar tumpang tindih wilayah. Ini soal kedaulatan!
Pulau-pulau itu adalah hak Aceh. Bukan hadiah administratif. Bukan barang barter.
“Jika tanah kami bisa diambil tanpa suara kami, apa arti konstitusi, apa arti demokrasi?”
“Keutuhan Aceh bukan pemberian. Ia adalah hak sejarah yang dijaga dengan darah, dan harus dipertahankan dengan suara yang lantang.”**()