Kasus Penembakan Remaja oleh Kapolres Belawan Menguak, Kekerasan Aparat yang Berulang.
Oleh: Redaksi Mudanews.com.
Mudanews.com | Pagi masih gelap di Jalan Tol Balmera, Kecamatan Medan Belawan, Minggu (4/5/2025). Waktu baru menunjukkan pukul dua dini hari ketika suara letusan senjata api memecah keheningan kawasan industri itu. Di antara kilatan peluru, jeritan remaja bersahutan. Beberapa di antaranya berlarian menyelamatkan diri, satu remaja terjatuh, tubuhnya bersimbah darah.
Baca juga: KontraS Sumut Ungkap Kejanggalan Penembakan Remaja oleh AKBP Oloan Siahaan
Muhammad Suhada, 15 tahun, tak sempat menghindar. Peluru menembus perutnya, merobek usus dan menjalar ke punggung. Ia bertahan hidup selama 30 menit setelah kejadian, berjalan tertatih sejauh 750 meter dibantu teman-temannya ke Kampung Cingwan. Tapi nyawanya tak tertolong. Ia mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Delima, Kecamatan Medan Labuhan.
Peluru itu, menurut investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut, berasal dari senjata api milik AKBP Oloan Siahaan, saat itu menjabat Kapolres Pelabuhan Belawan. KontraS Sumut menyimpulkan bahwa penembakan dilakukan tanpa tembakan peringatan, serta dalam situasi yang tidak mendesak.
“Tak ada ancaman yang proporsional dengan respons penggunaan senjata api,” ujar Adinda Zahra, Koordinator Operasional KontraS Sumut. Ia mendasarkan pernyataannya pada keterangan saksi, keluarga korban, dan analisa lapangan. “Para remaja hanya melempar batu ke arah mobil. Tidak ada klewang, seperti yang diklaim polisi.”
Dua Narasi, Dua Dunia.
Versi kepolisian menyodorkan cerita lain. Dalam pernyataan resmi yang diterima Mudanews.com, Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Ferry Walintukan, menyebut Oloan dan mobil dinasnya diserang sepuluh remaja bersenjata tajam.
Mereka, kata Ferry, melempar batu, mengayunkan klewang, dan menyalakan mercon ke arah kendaraan dinas Kapolres. Oloan disebut sudah melepaskan tiga tembakan peringatan sebelum akhirnya membalas serangan dengan tembakan diskresi.
Diskresi itu menewaskan Suhada dan melukai seorang remaja lainnya, B (17), di bagian tangan kanan. Sementara seorang lagi selamat setelah peluru menghantam helmnya.
Namun Kompolnas lembaga pengawas eksternal Polri tidak sepenuhnya menerima narasi kepolisian. Setelah meneliti rekaman CCTV dan memeriksa saksi-saksi, Komisioner Choirul Anam menyatakan bahwa AKBP Oloan kemungkinan besar keliru dalam membaca situasi.
“Tidak ada eskalasi ancaman yang membenarkan penggunaan peluru tajam,” ujar Anam saat konferensi pers, di Polda Sumut, pada Jumat (9/5 2025)
Oloan kini ditempatkan dalam penempatan khusus (patsus) oleh Divisi Propam Polri.
Nyawa Remaja dan Surat Pernyataan.
Di kediaman keluarga korban, duka belum reda. Nurhayati, ibu Suhada, masih terisak saat mengenang detik-detik terakhir anaknya. Ia menolak menandatangani surat pernyataan yang dibawa polisi beberapa hari setelah kematian Suhada. Surat itu menyatakan bahwa putranya menyerang mobil dinas Kapolres narasi yang ia yakini tidak sesuai kenyataan.
“Anak saya tidak membawa senjata. Ia bahkan sempat berkata ditembak saat berusaha lari,” ujar Nurhayati kepada KontraS.
Surat pernyataan yang dibawa aparat, menurut KontraS, merupakan upaya mendikte narasi tunggal untuk menghindari sorotan lebih lanjut atas tindakan Oloan. Sebuah langkah yang disebut-sebut kerap dilakukan dalam kasus kekerasan aparat.
“Keluarga korban menunjukkan resistensi terhadap upaya framing narasi oleh institusi,” ujar Adinda. “Penolakan Nurhayati bukan hanya soal kebenaran, tapi bentuk perlawanan terhadap penyederhanaan tragedi menjadi statistik.”
Malam, Tembakan, dan Kekuasaan.
Belawan adalah wilayah yang akrab dengan kekerasan dan konflik. Kawasan ini kerap dilabeli “zona rawan” oleh aparat. Tawuran antar-remaja bukan hal baru. Namun justifikasi keamanan semacam itu seringkali dijadikan dasar pembenaran tindakan represif.
“Masalahnya, pendekatan keamanan selalu bersifat koersif dan tidak melihat anak-anak ini sebagai warga sipil yang punya hak,” kata dosen hukum pidana Universitas Sumatera Utara, Ismail Simamora. Ia menyebut kasus Suhada sebagai cermin relasi kuasa yang timpang antara aparat dan warga kelas bawah.
Tindakan Oloan, jika terbukti tidak sesuai prosedur, memperpanjang daftar kasus penyalahgunaan senjata api oleh aparat. Di Sumatera Utara sendiri, Komnas HAM mencatat 7 kasus serupa sejak 2020. Namun hanya sebagian kecil yang berujung pada sanksi serius.
Menuntut Keadilan di Tengah Ketakutan.
Setelah penembakan itu, polisi menangkap sedikitnya 20 remaja. Hingga kini belum jelas status hukum mereka. KontraS menyatakan, banyak keluarga takut berbicara. “Ada trauma dan kekhawatiran soal keamanan anak-anak mereka,” kata Adinda.
Meski demikian, langkah Nurhayati menolak narasi aparat menjadi pijakan penting. Penolakan itu membuka celah kritik terhadap pendekatan keamanan yang membabi buta.
Sementara itu, AKBP Oloan masih menjalani pemeriksaan internal. KontraS mendesak agar proses hukum berjalan secara transparan dan tidak berhenti di meja Propam.
“Ini bukan soal satu peluru. Ini tentang bagaimana negara memperlakukan warganya,” ujar Adinda. (Tim Redaksi).