Oleh: Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht
Mudanews.com-Opini | Di balik warna-warni festival 𝘋í𝘢 𝘥𝘦 𝘭𝘰𝘴 𝘔𝘶𝘦𝘳𝘵𝘰𝘴 dan keindahan piramida Aztec, Meksiko menyimpan luka yang dalam.
Kartel narkoba telah merangkul negeri ini dalam cengkeramannya, bukan hanya sebagai penguasa pasar gelap, tapi juga sebagai tangan tak terlihat yang menggerakkan politik, mengontrol ekonomi, dan membentuk budaya.
Kisah Meksiko bukan sekadar tragedi lokal. Ini adalah cermin retak bagi setiap negeri yang membiarkan korupsi menggerogoti tulang punggungnya, ketimpangan melebarkan jurang, dan kekerasan dianggap sebagai jalan menuju kejayaan.
𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚, 𝐊𝐞𝐦𝐢𝐬𝐤𝐢𝐧𝐚𝐧, 𝐝𝐚𝐧 𝐉𝐚𝐥𝐮𝐫 𝐍𝐚𝐫𝐤𝐨𝐛𝐚: 𝐓𝐫𝐢𝐥𝐨𝐠𝐢 𝐊𝐞𝐡𝐚𝐧𝐜𝐮𝐫𝐚𝐧
Bayangkan seorang pemuda di pedesaan Sinaloa. Di sekelilingnya, tanah gersang dan minim pekerjaan.
Lagu 𝘯𝘢𝘳𝘤𝘰𝘤𝘰𝘳𝘳𝘪𝘥𝘰𝘴 bergema dari radio tetangga, menceritakan kisah heroik bandar narkoba yang kaya raya, dikelilingi wanita dan senjata.
Budaya 𝘮𝘢𝘤𝘩𝘪𝘴𝘮𝘰, 𝘮𝘢𝘴𝘬𝘶𝘭𝘪𝘯𝘪𝘵𝘢𝘴 yang diukur dari keberanian dan kekerasan membuatnya terpesona. Di matanya, bergabung dengan kartel bukan kejahatan, melainkan tiket keluar dari kemiskinan.
Inilah realitas Meksiko: 40% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan (Bank Dunia, 2021). Di wilayah seperti Guerrero atau Michoacán, kartel menawarkan gaji yang menggiurkan, sepuluh kali lipat upah buruh tani.
Bagi banyak keluarga, pilihan ini bukan tentang moral, tapi sekadar bertahan hidup.
Sementara itu, perdagangan narkoba ke AS, yang dimonopoli kartel seperti 𝘚𝘪𝘯𝘢𝘭𝘰𝘢 & 𝘑𝘢𝘭𝘪𝘴𝘤𝘰 𝘕𝘦𝘸 𝘎𝘦𝘯𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯, menghasilkan miliaran dolar per tahun.
Uang itu mengalir deras, membeli loyalitas polisi, menyuap politisi, dan membangun kerajaan kekerasan.
𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐊𝐚𝐫𝐭𝐞𝐥 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 “𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡 𝐁𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧”
Di kota kecil Zacatecas, warga tidak lagi mengenal suara sirene polisi. Yang ada hanyalah pasukan berseragam hitam milik kartel, mereka yang memungut “pajak”, mengadili pencuri, dan “melindungi” warga. Negara? Hanya sebuah nama yang tertera di dokumen resmi.
Korupsi telah menjadi darah daging sistem. 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (2023) menempatkan Meksiko sebagai salah satu negara terkorup di Amerika Latin.
Kisahnya selalu sama: gubernur menerima amplop dari kartel, polisi memalingkan muka saat truk narkoba melintas, dan hakim menjatuhkan vonis lunak pada bandar.
Di pemilu, kartel bahkan menentukan siapa yang boleh mencalonkan diri. Sejak 2018, lebih dari 200 politisi tewas karena menolak bekerja sama (𝘔𝘦𝘹𝘪𝘤𝘰 𝘗𝘦𝘢𝘤𝘦 𝘐𝘯𝘥𝘦𝘹, 2023). Pesannya jelas: “Ikuti kami, atau mati.”
𝐏𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐒𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐀𝐫𝐚𝐡: 𝐏𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮, 𝐏𝐞𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧, 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐠𝐚𝐠𝐚𝐥𝐚𝐧
Pada 2006, Presiden Felipe Calderón memilih jalan kekerasan. Puluhan ribu tentara dikirim untuk menghabisi kartel.
Hasilnya? Lebih dari 350.000 nyawa melayang (INEGI, 2023), tetapi kartel justru makin kuat.
Kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru—seperti api yang disiram bensin.
Presiden Andrés Manuel López Obrador (AMLO) mencoba pendekatan berbeda: “Pelukan, bukan peluru.”
Program bantuan ekonomi digulirkan untuk memutus rantai rekrutmen kartel. Tapi ini ibarat memberi obat penurun demam pada pasien kanker.
Akar masalah—korupsi, ketimpangan, dan hukum yang lemah—tak tersentuh. Kartel tetap leluasa mengirim narkoba ke AS, sementara rakyat terjebak di antara dua pihak: negara yang tak hadir dan mafia yang menghukum.
𝐏𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚𝐭
Bagi para pemimpin di negeri mana pun, Meksiko adalah alarm yang berdering keras.
Pertama , korupsi bukan sekadar penyakit, ia adalah pintu gerbang kehancuran. Jika pejabat bisa dibeli dengan uang kartel, lambat laun negara akan kehilangan kedaulatannya. Transparansi bukan pilihan, tapi keharusan.
Kedua , kemiskinan adalah bahan bakar kartel. Investasi di pendidikan dan lapangan kerja legal adalah senjata terampuh. Berikan harapan pada pemuda bahwa mereka bisa sukses tanpa harus memegang senjata.
Ketiga , jangan ulangi kesalahan Calderón. Pendekatan militer hanya menciptakan kuburan massal. Perkuat sistem hukum, berdayakan polisi yang bersih, dan fokus pada rehabilitasi, bukan penghukuman.
Terakhir , hentikan glorifikasi kekerasan. Media kerap menggambar kartel sebagai pahlawan romantis. Saatnya ganti narasi: pahlawan sejati adalah guru yang mengajar di pelosok, petani yang menanam pangan, atau dokter yang bertahan di tengah pandemi.
𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐓𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐒𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐊𝐚𝐫𝐭𝐞𝐥 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐮𝐚𝐬𝐚𝐢 𝐉𝐚𝐥𝐚𝐧𝐚𝐧
Meksiko mengajarkan satu hal: kartel tak akan mengetuk pintu sebelum masuk. Mereka menyusup diam-diam, memanfaatkan celah kelemahan negara. Jika korupsi dibiarkan, hukum diabaikan, dan rakyat dibiarkan terpuruk, suatu hari nanti, negeri ini, atau negeri lain bisa bangun dengan kenyataan pahit:
kartel bukan lagi musuh, tapi penguasa.
Tapi masih ada waktu. Selama ada kemauan untuk membersihkan institusi, membangun keadilan, dan mendengarkan jerit anak muda yang ingin hidup layak, masih ada harapan. Jangan biarkan Meksiko menjadi cermin yang memantulkan wajah kita di masa depan.**
𝗥𝗲𝗳𝗲𝗿𝗲𝗻𝘀𝗶
1. 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬 (2021). 𝘗𝘰𝘷𝘦𝘳𝘵𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘚𝘩𝘢𝘳𝘦𝘥 𝘗𝘳𝘰𝘴𝘱𝘦𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘪𝘯 𝘔𝘦𝘹𝘪𝘤𝘰.
2. 𝘜𝘕𝘖𝘋𝘊 (2022).𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘋𝘳𝘶𝘨 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵: 𝘛𝘩𝘦 𝘙𝘰𝘭𝘦 𝘰𝘧 𝘔𝘦𝘹𝘪𝘤𝘢𝘯 𝘊𝘢𝘳𝘵𝘦𝘭𝘴 𝘪𝘯 𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘕𝘢𝘳𝘤𝘰𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘛𝘳𝘢𝘥𝘦.
3. 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (2023). 𝘊𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘤𝘦𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘐𝘯𝘥𝘦𝘹: 𝘔𝘦𝘹𝘪𝘤𝘰.
4. 𝘔𝘦𝘹𝘪𝘤𝘰 𝘗𝘦𝘢𝘤𝘦 𝘐𝘯𝘥𝘦𝘹 (2023).𝘝𝘪𝘰𝘭𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘪𝘯 𝘊𝘢𝘳𝘵𝘦𝘭 𝘛𝘦𝘳𝘳𝘪𝘵𝘰𝘳𝘪𝘦𝘴.
5. I𝘕𝘌𝘎𝘐 (2023).𝘏𝘰𝘮𝘪𝘤𝘪𝘥𝘦 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘪𝘴𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘪𝘯 𝘔𝘦𝘹𝘪𝘤𝘰 (2006–2023).