Catatan Fiktif dari Kampung Mekar Jaya: Cerita Tentang Tanah, Dana, dan Musyawarah Gaya Baru
Mudanews.com – Opini | Pagi itu, udara Rantau masih segar, tapi hati warga Kampung Mekar Jaya terasa gerah. Pasalnya, mereka baru sadar kalau lahan sawit yang mereka bayar pakai “uang perjuangan” ternyata bukan tanah perjuangan, tapi mungkin lebih tepat disebut tanah khayalan.
Kata Bang Kojek, “Ini negeri penuh harapan, bahkan harapan palsu pun tetap dibungkus pakai kop surat resmi.”
Ceritanya, dua puluh warga kampung dijanjikan tiga rante lahan sawit. Sudah dipatok, sudah dibayar Rp 900 ribu, katanya buat ganti biaya perjuangan Datok. Eh, tiba-tiba datang kenyataan pahit: tanah yang dibayar itu ternyata belum tentu milik kampung. Lebih tragisnya lagi, hasil panen sawit pun tak boleh disentuh. Yang panen? Ya orang-orang dekat Datok saja. Warga? Cuma disuruh ngopi sambil nonton brondolan dipanen tiap pagi.
“Ini kebun siapa, panen siapa, hasil untuk siapa?” tanya seorang warga yang kami samarkan jadi Pak KM, sambil menatap jauh ke kebun yang kini jadi misteri kampung.
Ketika ditanya, sang Datok mengklarifikasi dengan gaya easy going.
“Itu bukan tanah Betami, bang. Itu SHM, tanah punya orang. Tapi udah musyawarah kok. Dan cuma Rp 800 ribu aja kok, bukan 900,” katanya dari Banda Aceh via WhatsApp, seakan posisi di ibukota bisa menjelaskan status tanah yang tak jelas.
Ya begitulah, di negeri ini, surat bisa lebih kuat dari tanah. Tanah boleh belum sah, tapi kalau surat sudah ada kop resmi dan tanda tangan Datok, maka jadilah kebun angan-angan. Apalagi kalau sudah dibumbui dengan kata “BUMK” – Badan Usaha Milik Kampung, yang sayangnya, entah usahanya milik siapa dan kampung yang mana.
Warga pun kini belajar banyak:
Kalau mau punya kebun, jangan cuma bayar, tapi juga pastikan bisa panen.
Kalau Datok bilang tanah itu untuk kampung, pastikan dulu kampungnya setuju dan tanahnya benar-benar ada.
Dan terakhir, kalau ada janji tanah dari perjuangan, pastikan bukan perjuangan menipu harapan.
Karena di kampung ini, bukan tanah yang penting, tapi cerita tentang tanah.
Sungguh, ini kampung luar biasa. Tanahnya masih digugat, sawitnya sudah dipanen, dan warganya tetap sabar… nunggu panen yang tak kunjung datang…
Catatan Tambahan Bang Kojek: Musyawarah Gaya Baru – Siapa Setuju, Siap Bayar!
Datok kampung kita ini memang visioner. Beliau tidak perlu memiliki tanah untuk mengelolanya. Tidak perlu punya hak milik, asal sudah ada niat dan niat itu diteken dalam rapat, maka jadi sah! Musyawarah kampung kini bukan lagi soal mufakat, tapi soal membayar paket.
Bang Kojek berseloroh sambil ngopi:
“Musyawarahnya kayak voting online, warga enggak tau kapan rapatnya, tiba-tiba hasilnya udah keluar: semua setuju, dan wajib setor!”
Katanya uang Rp 800 ribu itu “biaya perjuangan.” Tapi perjuangannya siapa? Untuk siapa? Sampai sekarang tak ada rincian, tak ada SPJ, apalagi kwitansi. Ini namanya pajak ala-ala, dipungut suka-suka, didistribusi sesuka hati. Tapi jangan salah, katanya ini untuk kebaikan kampung.
Warga yang tak bisa setor? Maaf, anda belum layak berjuang.
Warga yang sudah setor? Mohon sabar, ini ujian tanah.
Konsep “pinjam pakai” kini berubah makna. Biasanya “pinjam pakai” artinya boleh digunakan. Tapi di sini, artinya boleh bayar, tapi belum tentu dipakai. Katanya tanah itu masih diperjuangkan. Jadi, masyarakat cuma dapat janji, dan buah sawitnya? “Untuk operasional,” begitu kata orang Datok.
Bang Kojek manggut-manggut sambil nahan tawa: “Pantes aja tiap minggu mereka panen, mungkin buat biaya memperjuangkan tanah yang belum tentu bisa diperjuangkan…”
Warga pun mulai kreatif. Ada yang usul tanah itu diganti nama jadi “Kebun Pahala”, karena hasilnya tak dinikmati di dunia. Ada juga yang mau bikin koperasi baru: Koperasi Korban Patok dan Surat. Anggotanya hanya mereka yang sudah bayar tapi tak dapat panen.
Tapi jangan khawatir, Bang Datok katanya lagi di Banda. Mungkin sedang cari cara baru agar sertifikat bisa keluar lewat grup WhatsApp, atau minimal lewat status Facebook: “Kita perjuangkan hak kampung. Tapi sementara, hasil sawit biar kami kelola dulu yah…”
Bang Kojek menutup catatannya sambil nyeruput kopi: “Di kampung ini, harapan ditanam di tanah tak bertuan, dan dipanen oleh niat baik yang tak pernah bisa dipertanggungjawabkan. Bersambung? Atau sudah cukup segini saja? Terserah Datok.” (tz)