𝐊𝐚𝐣𝐢𝐚𝐧 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐝𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐈𝐧𝐝𝐮𝐬𝐭𝐫𝐢 𝐒𝐞𝐧𝐣𝐚𝐭𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐊𝐞𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚𝐚𝐧

Breaking News

- Advertisement -

Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah Ch.Cht

”𝑾𝒂𝒓 𝒎𝒖𝒔𝒕 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒊𝒔𝒕, 𝒇𝒐𝒓 𝒃𝒆𝒉𝒊𝒏𝒅 𝒕𝒉𝒆 𝒔𝒑𝒍𝒂𝒕𝒕𝒆𝒓𝒔 𝒐𝒇 𝒃𝒍𝒐𝒐𝒅 𝒂𝒏𝒅 𝒑𝒊𝒍𝒆𝒔 𝒐𝒇 𝒄𝒐𝒓𝒑𝒔𝒆𝒔, 𝒕𝒓𝒊𝒍𝒍𝒊𝒐𝒏𝒔 𝒐𝒇 𝒅𝒐𝒍𝒍𝒂𝒓𝒔 𝒇𝒍𝒐𝒘. 𝑫𝒐 𝒚𝒐𝒖 𝒃𝒆𝒍𝒊𝒆𝒗𝒆 𝒕𝒉𝒆𝒔𝒆 𝒘𝒆𝒂𝒑𝒐𝒏𝒔 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒇𝒂𝒄𝒕𝒖𝒓𝒆𝒓𝒔 𝒄𝒂𝒓𝒆 𝒂𝒃𝒐𝒖𝒕 𝒉𝒖𝒎𝒂𝒏 𝒓𝒊𝒈𝒉𝒕𝒔? 𝑫𝒐 𝒕𝒉𝒆𝒚 𝒄𝒂𝒓𝒆 𝒂𝒃𝒐𝒖𝒕 𝒓𝒆𝒍𝒊𝒈𝒊𝒐𝒏? 𝑻𝒉𝒆𝒔𝒆 𝒊𝒏𝒅𝒊𝒗𝒊𝒅𝒖𝒂𝒍𝒔 𝒂𝒓𝒆 𝒂𝒎𝒐𝒏𝒈 𝒖𝒔—𝒕𝒉𝒆𝒚 𝒎𝒊𝒈𝒉𝒕 𝒆𝒗𝒆𝒏 𝒃𝒆 𝒑𝒆𝒐𝒑𝒍𝒆 𝒚𝒐𝒖 𝒘𝒐𝒖𝒍𝒅 𝒏𝒆𝒗𝒆𝒓 𝒔𝒖𝒔𝒑𝒆𝒄𝒕.-𝑾𝑩-“

Mudanews.com-OPINI |  Perang harus tetap ada, karena di balik percikan darah dan tumpukan mayat, mengalir triliun dolar. Apakah Anda percaya produsen senjata ini peduli terhadap hak asasi manusia? Apakah mereka peduli pada agama? Orang-orang ini ada di antara kita, mereka bahkan mungkin adalah orang-orang yang tidak pernah Anda duga.-WB-

𝗦𝗶𝗮𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗣𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗗𝗶𝘂𝗻𝘁𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴?

Perang tidak hanya menghancurkan nyawa dan infrastruktur, tetapi juga menciptakan pasar yang menguntungkan bagi produsen senjata. Industri senjata global, yang didominasi oleh perusahaan seperti 𝘓𝘰𝘤𝘬𝘩𝘦𝘦𝘥 𝘔𝘢𝘳𝘵𝘪𝘯 (𝘈𝘚), 𝘙𝘢𝘺𝘵𝘩𝘦𝘰𝘯 𝘛𝘦𝘤𝘩𝘯𝘰𝘭𝘰𝘨𝘪𝘦𝘴 (𝘈𝘚), 𝘕𝘰𝘳𝘪𝘯𝘤𝘰 (𝘛𝘪𝘰𝘯𝘨𝘬𝘰𝘬), 𝘥𝘢𝘯 𝘙𝘰𝘴𝘵𝘦𝘤 (𝘙𝘶𝘴𝘪𝘢), yang mencatat pendapatan triliunan dolar setiap tahun.

Menurut 𝘚𝘵𝘰𝘤𝘬𝘩𝘰𝘭𝘮 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘗𝘦𝘢𝘤𝘦 𝘙𝘦𝘴𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 (𝘚𝘐𝘗𝘙𝘐), ekspor senjata global mencapai $118 miliar pada 2022, dengan 80% di antaranya berasal dari lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB: AS, Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris.

Bagi korporasi ini, eskalasi konflik berarti peningkatan permintaan. Misalnya, selama perang di Yaman, penjualan senjata AS ke Arab Saudi meningkat drastis meski ada laporan pelanggaran HAM yang masif.

Perusahaan senjata juga memanfaatkan ketegangan geopolitik, seperti invasi Rusia ke Ukraina, untuk menjustifikasi peningkatan anggaran militer negara-negara NATO.

𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗽𝗮 𝗠𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝗠𝗲𝗻𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗣𝗲𝗿𝗱𝗮𝗺𝗮𝗶𝗮𝗻?

Produsen senjata memiliki kepentingan ekonomi agar perang tidak segera berakhir.

Lobi politik melalui kelompok seperti 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘙𝘪𝘧𝘭𝘦 𝘈𝘴𝘴𝘰𝘤𝘪𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 (𝘕𝘙𝘈) di AS atau jaringan oligarki di Rusia memastikan kebijakan pemerintah mendukung industri militer. Contohnya, anggaran pertahanan AS pada 2023 mencapai $886 miliar—sebagian besar dialokasikan ke kontraktor swasta.

Jika perdamaian terjadi, permintaan senjata akan turun, mengancam keuntungan mereka. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan ini sering kali mendorong narasi “ancaman keamanan” untuk mempertahankan aliran dana.

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤𝐩𝐞𝐝𝐮𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐇𝐀𝐌, 𝐀𝐠𝐚𝐦𝐚, 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚𝐚𝐧.

Produsen senjata tidak memihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Contoh nyata adalah penjualan senjata ke rezim otoriter seperti Myanmar, yang digunakan untuk membantai minoritas Rohingya.

Laporan 𝘈𝘮𝘯𝘦𝘴𝘵𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (2021) mengungkap bahwa senjata buatan Tiongkok dan Rusia menjadi alat represi di konflik tersebut.

Mereka juga tidak membedakan agama, suku, atau ras, yang penting adalah pembeli. Misalnya, senjata buatan AS digunakan baik oleh Israel dalam konflik Palestina maupun oleh milisi di Afrika Tengah. Bagi industri ini, konflik adalah bisnis, bukan moralitas.

𝗡𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮-𝗡𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 𝗞𝘂𝗮𝘁 𝗱𝗮𝗻 𝗗𝗶𝗹𝗲𝗺𝗮 𝗘𝘁𝗶𝗸𝗮

Negara anggota tetap DK PBB, yang seharusnya menjaga perdamaian, justru menjadi pusat industri senjata.

Kekuatan veto mereka sering digunakan untuk membatasi resolusi perdamaian yang mengancam kepentingan nasional.

Contohnya, AS dan Rusia secara konsisten memveto sanksi terhadap sekutu yang terlibat dalam pelanggaran HAM.

Di tingkat domestik, industri senjata menciptakan lapangan kerja dan kontribusi pajak, sehingga pemerintah enggan mengatur secara ketat.

Namun, ini mengorbankan etika global. Laporan 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (2022) mencatat bahwa 40% korupsi di sektor pertahanan terjadi di negara-negara dengan industri senjata besar.

𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐃𝐮𝐧𝐢𝐚 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐠𝐚

Negara-negara miskin sering menjadi korban ganda: menjadi pasar senjata sekaligus medan perang. Alih-alih mengalokasikan dana untuk pendidikan atau kesehatan, pemerintah di Afrika dan Timur Tengah menghabiskan 15-30% APBN untuk impor senjata (data SIPRI, 2023).

Konflik yang dipicu oleh senjata impor memperparah kemiskinan, pengungsian, dan kerusakan lingkungan.

Contoh nyata adalah perang saudara di Sudan Selatan, di mana senjata dari Ukraina dan Tiongkok memperpanjang kekerasan selama satu dekade.

𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻

Masyarakat global, terutama aktivis HAM dan negara dunia ketiga, perlu menyadari bahwa perang adalah bisnis yang dirancang untuk menguntungkan segelintir elit.

Langkah solutif meliputi:

1. Transparansi perdagangan senjata**: Mendorong ratifikasi 𝘈𝘳𝘮𝘴 𝘛𝘳𝘢𝘥𝘦 𝘛𝘳𝘦𝘢𝘵𝘺 (𝘈𝘛𝘛) oleh semua negara.

2. Tekan lobi militer: Reformasi pendanaan kampanye politik untuk mengurangi pengaruh industri senjata.

3. Edukasi public : Memaparkan hubungan antara pembelian senjata dan penderitaan kemanusiaan.

Sebagai masyarakat sipil, kita tidak boleh terjebak dalam pertikaian atas nama agama atau suku, tetapi fokus pada akar masalah: 𝗲𝗸𝗼𝗻𝗼𝗺𝗶 𝗽𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴.**()

𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢

1. 𝘚𝘵𝘰𝘤𝘬𝘩𝘰𝘭𝘮 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘗𝘦𝘢𝘤𝘦 𝘙𝘦𝘴𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 (𝘚𝘐𝘗𝘙𝘐). (2023). 𝘛𝘳𝘦𝘯𝘥𝘴 𝘪𝘯 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘈𝘳𝘮𝘴 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘧𝘦𝘳𝘴, 2022.

2. 𝘈𝘮𝘯𝘦𝘴𝘵𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭. (2021). 𝘔𝘺𝘢𝘯𝘮𝘢𝘳’𝘴 𝘔𝘪𝘭𝘪𝘵𝘢𝘳𝘺: 𝘈 𝘓𝘦𝘨𝘢𝘤𝘺 𝘰𝘧 𝘈𝘵𝘳𝘰𝘤𝘪𝘵𝘺.

3. 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭. (2022). 𝘎𝘰𝘷𝘦𝘳𝘯𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘋𝘦𝘧𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘨𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘐𝘯𝘥𝘦𝘹.

4. 𝘉𝘭𝘢𝘯𝘵𝘰𝘯, 𝘚. 𝘓. (2020). 𝘛𝘩𝘦 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺 𝘰𝘧 𝘈𝘳𝘮𝘴 𝘛𝘳𝘢𝘥𝘦. 𝘊𝘢𝘮𝘣𝘳𝘪𝘥𝘨𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.

5. 𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴. (2014). 𝘈𝘳𝘮𝘴 𝘛𝘳𝘢𝘥𝘦 𝘛𝘳𝘦𝘢𝘵𝘺.

Berita Terkini