Oleh, Nasrullah
Mudanews.com-OPINI | Meskipun vonis penjara terhadap pelaku korupsi telah dijatuhkan dalam berbagai kasus, angka korupsi justru menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Kondisi ini menandakan bahwa efek jera dari sanksi pidana belum sepenuhnya efektif dalam mereduksi perilaku koruptif. Rilis Transparency International tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2023 stagnan, bahkan peringkatnya turun dari posisi 110 ke 115, menandakan lemahnya efektivitas pemberantasan korupsi. Kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp236,2 triliun, namun pemulihan melalui denda dan uang pengganti hanya sebesar Rp33,08 triliun—selisih yang mencerminkan kegagalan dalam menekan dampak ekonomi dari kejahatan tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan formulasi kebijakan hukum yang lebih tegas dan berdampak berat, yang dirancang melalui pendekatan Economic Analysis of Law (EAL) guna menciptakan insentif dan disinsentif yang rasional terhadap potensi pelaku, serta memaksimalkan efisiensi hukum dalam menekan biaya sosial akibat korupsi.
Logika Korupsi Menurut EAL
Dalam perspektif Economic Analysis of Law (EAL), korupsi dipahami sebagai hasil kalkulasi rasional antara potensi keuntungan ilegal dan risiko kerugian akibat penegakan hukum. Ketika ekspektasi keuntungan jauh melebihi probabilitas tertangkap dan besarnya sanksi, maka korupsi menjadi pilihan logis bagi pelaku—menandakan perlunya reformulasi hukum yang mampu mengubah struktur insentif secara tegas dan efisien.
EAL merupakan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan prinsip-prinsip ekonomi mikro dengan teori hukum. Dalam pendekatan ini, hukum dipandang sebagai mekanisme untuk mengatur perilaku agar tercapai efisiensi sosial, yaitu kondisi di mana sumber daya dialokasikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat dengan biaya serendah mungkin.
EAL adalah teori yang melihat hukum sebagai alat untuk mengatur perilaku manusia dengan menggunakan logika ekonomi. Artinya, hukum dianalisis dari sudut pandang insentif, biaya, dan manfaat—bukan semata dari moral, keadilan, atau nilai etis. Pelaku korupsi melakukan tindak pidana dengan memperkirakan bahwa expected benefit (keuntungan yang diharapkan dari perbuatan korupsi) lebih besar daripada expected cost (biaya yang diharapkan jika tertangkap dan dihukum). Dengan kata lain, sistem hukum dan penegakannya gagal menimbulkan “biaya perilaku menyimpang” yang cukup tinggi untuk mencegah terjadinya korupsi.
Richard Posner, pencetus teori ini, bahkan mengusulkan bahwa dalam beberapa kasus, hukuman berat (overdeterrence) seperti kasus korupsi bisa dibenarkan dari sudut EAL jika biaya untuk meningkatkan probabilitas deteksi sangat tinggi. Artinya, jika kita tidak bisa sering menangkap pelaku, maka yang tertangkap harus diberi hukuman berat agar efek jera tetap muncul melalui expected cost yang tinggi.
EAL melihat korupsi bukan hanya sebagai pelanggaran norma hukum, tetapi sebagai distorsi pasar dan alokasi sumber daya. Korupsi menyebabkan keputusan ekonomi menjadi tidak berdasarkan efisiensi atau kebutuhan, tetapi berdasarkan rente, suap, dan koneksi. Dalam jangka panjang, korupsi menurunkan produktivitas, meningkatkan transaction costs, dan melemahkan kepercayaan pada institusi hukum. Maka, beban hukuman yang dijatuhkan dalam menekan angka tindak pelaku korupsi perlu berupa pidana berat seperti penjara, atau denda berat yang melebihi jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Biaya Penanganan Perkara Korupsi
Penanganan perkara korupsi sering kali menyerap biaya penegakan hukum yang tinggi, namun tidak selalu sebanding dengan nilai kerugian negara yang berhasil dipulihkan. Ketidakseimbangan ini menegaskan urgensi penerapan EAL sebagai pendekatan strategis untuk merancang kebijakan hukum yang lebih efisien, berorientasi pada optimalisasi biaya dan manfaat dalam upaya pemberantasan korupsi.
Biaya penanganan perkara korupsi di tingkat penegak hukum menunjukkan angka yang signifikan, yakni sekitar Rp208 juta per perkara di kepolisian, Rp160 juta di kejaksaan, dan mencapai Rp250 juta di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tingginya biaya ini mempertegas perlunya pendekatan EAL untuk menilai efisiensi sistem penegakan hukum, sekaligus mendorong formulasi kebijakan yang lebih hemat biaya namun berdampak maksimal terhadap pencegahan dan penindakan korupsi.
Perampasan Aset Bagi Koruptor
Pendekatan EAL menekankan pentingnya menciptakan disinsentif ekonomi yang kuat bagi pelaku kejahatan, sehingga perampasan aset koruptor menjadi instrumen vital dalam menurunkan ekspektasi keuntungan dari tindak pidana korupsi. Dengan menghapus manfaat ekonomi hasil kejahatan, EAL memandang asset forfeiture sebagai mekanisme efektif untuk mengembalikan rasionalitas hukum dan memperkuat efek jera secara sistemik.
Perampasan aset dapat dikategorikan sebagai pendekatan berbasis logika ekonomi sebagaimana dimaksud dalam EAL, karena secara fundamental bertujuan menghilangkan insentif finansial dari kejahatan. Dengan menempatkan beban biaya yang tinggi atas tindakan koruptif melalui penyitaan hasil kejahatan, mekanisme ini merekonstruksi pilihan rasional pelaku agar risiko melebihi manfaat, sejalan dengan prinsip-prinsip efisiensi dan pencegahan dalam kerangka EAL.
Lambatnya pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset menjadi salah satu hambatan utama dalam upaya percepatan penegakan hukum untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Tanpa instrumen hukum yang kuat untuk menyita dan mengembalikan aset hasil kejahatan, proses hukum menjadi tidak hanya berlarut, tetapi juga kurang memberikan dampak yang signifikan terhadap aspek pencegahan. Dalam konteks ini, penerapan EAL menjadi sangat relevan dan mendesak.
Melalui pendekatan EAL, setiap keputusan pengadilan terhadap pelaku korupsi seharusnya tidak hanya berorientasi pada pemidanaan konvensional, tetapi juga dirancang untuk menimbulkan efek jera berbasis kalkulasi ekonomi. Ini mencakup perampasan seluruh manfaat ekonomi dari kejahatan yang dilakukan, sehingga pelaku tidak memperoleh keuntungan apa pun setelah menjalani hukuman. Penerapan EAL dalam praktik peradilan akan mendorong sistem hukum bekerja secara lebih efisien dan strategis dalam menurunkan insentif rasional untuk melakukan korupsi, serta mempercepat pemulihan aset negara secara optimal.**()