𝐇𝐚𝐢𝐭𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬 𝐬𝐞𝐣𝐞𝐧𝐢𝐬, 𝐂𝐞𝐫𝐦𝐢𝐧 𝐁𝐮𝐫𝐚𝐦 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐑𝐮𝐧𝐭𝐮𝐡 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐆𝐞𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐬𝐞𝐧𝐣𝐚𝐭𝐚—𝐀𝐩𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐢𝐬𝐚 𝐊𝐢𝐭𝐚 𝐏𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐢?

Breaking News
- Advertisement -

Penulis: Drs. Muhammad Bardansyah Ch Cht

Mudanews.com-OPINI | Bayangkan sebuah negara di mana polisi tak berani masuk ke separuh wilayah ibu kota. Di mana presidennya dibunuh di kediamannya, dan geng mengontrol pelabuhan, rumah sakit, bahkan pasokan air.

Ini bukan adegan film Mad Max—ini Haiti 2024. Tapi kisah ini bukan cuma tentang Haiti. Dari Ekuador yang dikuasai kartel narkoba, hingga Sudan yang hancur oleh milisi bersenjata, benang merahnya sama: ketika negara lalai, kekosongan kekuasaan akan diisi oleh para kriminal. Mari kita telusuri bagaimana Haiti sampai di titik ini, dan mengapa cerita serupa bisa terjadi di mana saja.

Haiti, negara pertama di Amerika Latin yang merdeka dari kolonialisme (1804), kini menjadi contoh tragis dari kegagalan negara (state failure) akibat dominasi kriminal bersenjata. Keruntuhannya tidak terjadi secara instan, melainkan akumulasi dari sejarah panjang ketidakstabilan politik, ketimpangan ekonomi, dan lemahnya legitimasi negara.

Dalam tulisan ini kita juga akan menelaah beberapa negara-negara lain selain Haiti, namun dalam beberapa hal kita lebih banyak menelaah Haiti karena kita anggap Haiti adalah contoh yang paling Update

𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗣𝗮𝗵𝗹𝗮𝘄𝗮𝗻 𝗥𝗲𝘃𝗼𝗹𝘂𝘀𝗶 𝗸𝗲 𝗥𝗮𝗷𝗮 𝗚𝗲𝗻𝗴: 𝗦𝗲𝗷𝗮𝗿𝗮𝗵 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗲𝗿𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴

Haiti adalah negara pertama di dunia yang merdeka lewat pemberontakan budak (1804). Tapi kemerdekaan itu dibayar mahal: Prancis memaksa Haiti membayar “uang tebusan” senilai Rp 300 triliun (dalam nilai sekarang) sebagai syarat pengakuan kemerdekaan.

Utang ini membuat Haiti miskin sejak lahir. Banyak negara mengalami hal serupa sebenarnya walau tidak secara langsung meminta bayaran atau tebusan, akan tetapi mencengkeramkan kukunya lewat koorporasi besar yang merupakan perpanjangan tangan negara kapitalis mantan penjajah yang mengeruk sumberdaya alam di negara-negara dunia ketiga.

Mirip dengan yang terjadi di Myanmar pasca-kolonial Inggris, di mana militer (Tatmadaw) menguasai ekonomi, di Haiti, para diktator seperti Duvalier (1960-an) membangun kekuasaan dengan preman bayaran Tonton Macoute. Mereka inilah kakek buyut geng-geng modern Haiti.

𝗣𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿𝗮𝗻: 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗻𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 𝗹𝗮𝗵𝗶𝗿 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗸𝗲𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗻, 𝗶𝗮 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗿𝗲𝗽𝗿𝗼𝗱𝘂𝗸𝘀𝗶 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗻.

𝗞𝗲𝗺𝗶𝘀𝗸𝗶𝗻𝗮𝗻 + 𝗦𝗲𝗻𝗷𝗮𝘁𝗮 = 𝗕𝗼𝗺 𝗪𝗮𝗸𝘁𝘂
Haiti hari ini adalah laboratorium gagalnya neoliberalisme. Setelah kudeta dan intervensi AS di era 90-an, negara ini dipaksa membuka pasar, memotong subsidi, dan menjual BUMN. Hasilnya? 60% rakyat hidup dengan kurang dari Rp 30.000/hari.

Pemuda di kawasan kumuh seperti Cité Soleil lebih memilih jadi anggota geng yang bayarannya setara gaji 6 bulan—mirip dengan rekrutmen kartel di Kota Juárez, Meksiko.

Haiti mewarisi trauma kolonial Prancis yang menghisap sumber daya melalui sistem perbudakan dan memaksa negara baru membayar “hutang kemerdekaan” senilai 150 juta franc (setara $21 miliar hari ini). Hutang ini melumpuhkan pembangunan ekonomi dan memaksa Haiti mengadopsi kebijakan neoliberal yang memperparah kemiskinan struktural. Lihat 𝗗𝗲𝗽𝗲𝗻𝗱𝗲𝗻𝗰𝘆 𝗧𝗵𝗲𝗼𝗿𝘆 (𝗔𝗻𝗱𝗿𝗲 𝗚𝘂𝗻𝗱𝗲𝗿 𝗙𝗿𝗮𝗻𝗸, 𝟭𝟵𝟲𝟲):

Haiti terjebak dalam hubungan dependensi dengan kekuatan global, di mana kebijakan ekonomi dipaksa menguntungkan negara kaya melalui utang dan eksploitasi sumber daya.

Tapi kemiskinan saja tak cukup. Senjata ilegal dari AS (90% datang dari Florida!) adalah bahan bakarnya. Di Ekuador, pola serupa terjadi: senjata dari Amerika mengubah geng lokal jadi pasukan paramiliter. Di Haiti, geng seperti G9 pimpinan Jimmy “Barbecue” Chérizier punya senjata lebih canggih daripada polisi.

Di beberapa negara kondisi yang sama namun dengan cara yang berbeda terjadi, penyelundupan senjata secara terang-terangan memang tidak terlihat, namun para komandan genk sebenar terafiliasi dengan kekuatan militer, di mana ketua genk ini sebelumnya adalah milisi yang digunakan militer dalam pergolakan politik baik di negara sendiri maupun negara lain dalam sebuah pergolakan

𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐊𝐨𝐭𝐨𝐫: 𝐄𝐥𝐢𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐦𝐚𝐢𝐧 𝐀𝐩𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐥𝐚𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐞𝐥𝐚𝐤𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐛𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐩𝐚 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐭𝐞𝐫𝐤𝐚𝐢𝐭

Presiden Jovenel Moïse (dibunuh 2021) dituding menyuplai senjata ke geng untuk mengintimidasi lawan politik. Ini bukan fenomena unik. Di Kenya, politikus diduga membayar milisi untuk mengusir komunitas saingan.

Di India, mafia di Uttar Pradesh sering jadi “tangan kanan” partai politik. Kondisi ini terbawa di masa depan dimana para elit politik yang merasa berhutang budi di masa lalu seakan membiarkan kelompok yang mulanya adalah criminal biasa dan perlahan menjelma menjadi kelompok criminal bersenjata dengan ribuan anggota

Ketika negara jadi alat bagi segelintir elit, warga mencari perlindungan ke genl. Genk-genk Haiti awalnya dibiayai politisi—seperti Tonton Macoute era Duvalier—tapi kini mereka lebih berkuasa dari para sponsor mereka. 𝐋𝐢𝐡𝐚𝐭 𝐋𝐞𝐠𝐚𝐜𝐲 𝐨𝐟 𝐂𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥 𝐕𝐢𝐨𝐥𝐞𝐧𝐜𝐞 (𝐅𝐫𝐚𝐧𝐭𝐳 𝐅𝐚𝐧𝐨𝐧, 𝟏𝟗𝟔𝟏): Kekerasan kolonial menormalisasi penggunaan kekerasan sebagai alat kontrol politik, yang kemudian diwarisi oleh rezim-rezim otoriter pascakolonial.

Contoh: Kediktatoran François “Papa Doc” Duvalier (1957–1971) dan Jean-Claude “Baby Doc” Duvalier (1971–1986) membentuk milisi paramiliter Tonton Macoute yang menggunakan teror untuk mempertahankan kekuasaan. Praktik ini menjadi preseden bagi kelompok kriminal modern yang menggabungkan kekerasan dengan klaim “perlawanan politik”.

Dalam bentuk yang lain dalam pergolakan sebuah negara yang memisahkan diri dari Negara sebelumnya , banyak anggota milisi yang melarikan diri dan ikut pada pembina mereka saat daerah mereka memerdekan diri.

𝐀𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐚 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚-𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐫𝐤𝐞𝐧𝐚𝐥 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐧𝐤 𝐊𝐫𝐢𝐦𝐢𝐧𝐚𝐥 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐞𝐧𝐣𝐚𝐭𝐚𝐧𝐲𝐚

𝑪𝒐𝒍𝒐𝒎𝒃𝒊𝒂: 𝑷𝒂𝒓𝒂𝒎𝒊𝒍𝒊𝒕𝒆𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝑩𝑨𝑪𝑹𝑰𝑴 (𝑩𝒂𝒏𝒅𝒂𝒔 𝑪𝒓𝒊𝒎𝒊𝒏𝒂𝒍𝒆𝒔 𝑬𝒎𝒆𝒓𝒈𝒆𝒏𝒕𝒆𝒔)
Kelompok paramiliter Colombia seperti AUC (Autodefensas Unidas de Colombia) awalnya dibentuk dengan dukungan militer dan elit politik pada 1980–1990-an untuk memerangi gerilya kiri (FARC, ELN).

Setelah proses demobilisasi pada 2000-an, banyak mantan anggota AUC membentuk gugus kriminal (BACRIM) yang terlibat narkotika, pencucian uang, dan pembunuhan. Mereka mempertahankan jaringan korupsi dengan politisi, militer, dan polisi, yang memungkinkan mereka bertindak bebas.

𝐊𝐨𝐧𝐝𝐢𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐢𝐫𝐢𝐩 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚-𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐤𝐞𝐧𝐚𝐥 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐧𝐤 𝐊𝐫𝐢𝐦𝐢𝐧𝐚𝐥

1. Mantan milisi mendapat perlindungan dari mantan pembina (politisi/militer).
2. Aktivitas kriminal “tak tersentuh” karena koneksi kekuasaan.
3. Menciptakan budaya impunitas yang meresahkan masyarakat.

𝐄𝐥 𝐒𝐚𝐥𝐯𝐚𝐝𝐨𝐫: 𝐆𝐞𝐧𝐠 𝐌𝐚𝐫𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐨𝐬𝐢𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡
Geng MS-13 dan Barrio 18 di El Salvador awalnya terdiri dari mantan kombatan Perang Sipil (1980-an) yang tidak terintegrasi pasca-perdamaian. Pada 2010-an, pemerintah diam-diam bernegosiasi dengan geng untuk mengurangi kekerasan, memberi mereka kekuasaan de facto atas wilayah tertentu. Geng menggunakan ini untuk memperluas perdagangan narkoba dan pemerasan, sementara politisi memanfaatkan mereka untuk kontrol sosial.

𝐊𝐨𝐧𝐝𝐢𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐢𝐫𝐢𝐩 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚-𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐤𝐞𝐧𝐚𝐥 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐧𝐤 𝐊𝐫𝐢𝐦𝐢𝐧𝐚𝐥

1. Mantan kombatan/milisi beralih ke kriminalitas.
2. Keterlibatan penguasa dalam melindungi geng demi stabilitas semu.
3. Masyarakat terjebak antara kekerasan geng dan impunitas negara.

𝐍𝐢𝐠𝐞𝐫𝐢𝐚: 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐧 𝐃𝐞𝐥𝐭𝐚 𝐍𝐢𝐠𝐞𝐫 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐫𝐨𝐠𝐫𝐚𝐦 𝐀𝐦𝐧𝐞𝐬𝐭𝐢.
Kelompok militan seperti MEND (Movement for the Emancipation of the Niger Delta) awalnya berjuang melawan eksploitasi minyak oleh perusahaan asing. Pemerintah Nigeria meluncurkan program amnesti (2009) dengan memberi uang dan pelatihan kepada mantan militan. Namun, banyak yang beralih ke bajak laut, penyelundupan minyak, dan perdagangan senjata—dengan perlindungan pejabat lokal yang mengambil keuntungan.

𝐊𝐨𝐧𝐝𝐢𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐢𝐫𝐢𝐩 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚-𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐤𝐞𝐧𝐚𝐥 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐧𝐤 𝐊𝐫𝐢𝐦𝐢𝐧𝐚𝐥
1. Eks-milisi mendapat amnesti dan sumber daya, tetapi tetap kriminal.
2. Koneksi dengan penguasa memungkinkan kejahatan terorganisir.

𝐆𝐞𝐧𝐠 𝐯𝐬 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚: 𝐒𝐢𝐚𝐩𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠?
Di Port-au-Prince, geng menguasai 80% kota. Mereka menarik pajak, mengadili warga, bahkan mengatur lalu lintas. Ini mirip dengan Favelas di Rio de Janeiro atau gangland di Irlandia Utara era 1970-an.

Tapi Haiti lebih parah: negara praktis tidak ada.
Kekuatan geng Haiti bahkan melampaui kartel Medellín era Pablo Escobar. Kenapa? Karena mereka punya legitimasi semu. Jimmy “Barbecue” Chérizier—mantan polisi—menyebut diri “revolusioner” yang melawan elit korup. Narasi ini menarik simpati warga yang muak dengan pemerintah. Persis seperti Gaza, di mana Hamas tumbuh karena dianggap lebih bersih dari Fatah yang korup.

𝐀𝐩𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐢𝐬𝐚 𝐃𝐢𝐩𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐢 𝐃𝐮𝐧𝐢𝐚?

1. Senjata = Kekuasaan : Larangan impor senjata ke Haiti gagal total—justru harganya melambung. AS dan negara produsen senjata harus bertanggung jawab. Lihatlah **Brasil**, di mana krisis senjata ilegal dari AS memicu 50.000 pembunuhan/tahun.

2. Jangan Biarkan Kota Kumuh Jadi Sarang Geng : Dari Jakarta sampai Lagos, urbanisasi tak terkendali adalah lahan subur kriminal. Investasi pada perumahan dan pendidikan pemuda kritis.

3. Stop Jadikan Geng sebagai Alat Politik : Di **El Salvador, Presiden Bukele sukses menahan geng karena tak ada elite yang melindungi mereka lagi.

4. Intervensi? Hanya Jika Melibatkan Lokal : Misi perdamaian di Sierra Leone (1999) berhasil karena melibatkan pasukan Afrika Barat, bukan negara jauh.

Epilog: Apakah Kita Semua Rentan Jadi Haiti Berikutnya?
Ketika ketimpangan ekonomi meroket, senjata mengalir deras, dan politisi bermain api, tak ada negara yang benar-benar aman. Haiti adalah cermin buram masa depan jika kita abai. Tapi lihatlah Kosta Rika negara tanpa tentara yang investasinya pada pendidikan membuatnya jadi oasis damai di Amerika Tengah. Pilihannya ada di tangan kita: memperkuat masyarakat atau membiarkan preman mengambil alih.

𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. Haiti’s Gangs: From Slums to Presidential Palaces (The Economist, 2023)
2. How U.S. Guns Fuel Global Crime (Bloomberg, 2024)
3. El Salvador’s War on Gangs: Success or Authoritarianism? (Al Jazeera, 2024)
4. The New Scramble for Africa: Militias and Mercenaries* (Foreign Affairs, 2023)
5. Human Rights Watch (2005). *“Smoke and Mirrors: Colombia’s Demobilization of Paramilitary Groups”*. [Laporan ini mengungkap bagaimana mantan paramiliter tetap berkuasa melalui koneksi politik.](https://www.hrw.org)
6. Duncan, G. (2015). “Más que un hueco: Estado, clientelismo armado y crimen organizado en Colombia”. Estudios Socio-Jurídicos. [Analisis koneksi paramiliter dengan elit politik pasca demobilisasi.](https://revistas.urosario.edu.co)
7. Cruz, J.M. (2016). *“State and Criminal Violence in Latin America”*. Latin American Research Review. [Mengkaji kolusi negara-geng di El Salvador.](https://www.larrlasa.org)
8. Wolf, S. (2017). *“Mano Dura: The Costs of Coercive Violence in El Salvador”*. WOLA. [Menganalisis dampak negosiasi rahasia dengan geng.](https://www.wola.org)
9. Ikelegbe, A. (2010). *“The Economy of Conflict in the Oil Rich Niger Delta Region of Nigeria”*. African and Asian Studies. [Mengurai transisi militan ke kejahatan terorganisir.](https://brill.com)
10. Asuni, J.B. (2009). *“Blood Oil in the Niger Delta”*. USIP. [Membahas korupsi dan kolusi dalam program amnesti.](https://www.usip.org)
11. Fanon, F. (1961). The Wretched of the Earth. Grove Press.
12. Merton, R. K. (1938). Social Structure and Anomie. American Sociological Review.
13. Rotberg, R. I. (2004). When States Fail: Causes and Consequences. Princeton University Press.
14. UN Security Council. (2023). Final Report of the Panel of Experts on Haiti. United Nations.
15. World Bank. (2022). Haiti Poverty Assessment. World Bank Group.
16. Hobsbawm, E. J. (1969). Bandits. Pantheon Books.
17. The New York Times. (2023). How Guns from Florida Fuel Haiti’s Gang Violence.

Kamis 01 Mei 2025

Berita Terkini