Mudanews.com–Jakarta | Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa ketentuan pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak berlaku untuk lembaga, institusi, jabatan, profesi, korporasi, maupun kelompok tertentu. Putusan ini disampaikan dalam sidang pembacaan perkara nomor 105/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Selasa (28/4).
Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE hanya dapat dimaknai sebagai pribadi atau individu. Dengan demikian, gugatan pidana terhadap kritik kepada lembaga, institusi, atau kelompok tidak dapat lagi dikenakan menggunakan pasal tersebut.
“Norma a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang dimaknai mencakup korporasi, badan hukum, entitas, profesi, jabatan, atau kelompok,” ujar Suhartoyo dalam pembacaan amar putusan.
Putusan ini berangkat dari permohonan uji materi yang diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang aktivis lingkungan yang sempat dipidana karena menyampaikan kritik terhadap kerusakan lingkungan di Karimunjawa. Meski sempat divonis bersalah di pengadilan tingkat pertama, ia kemudian dibebaskan oleh pengadilan tinggi.
Mahkamah menegaskan bahwa kebebasan berekspresi merupakan pilar demokrasi yang tidak boleh ditekan dengan pasal-pasal hukum yang bersifat lentur atau multitafsir. Namun demikian, MK juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi bukan berarti tanpa batas.
Kritik terhadap kebijakan atau lembaga tetap sah sejauh tidak merugikan nama baik individu secara personal dan tidak melanggar ketentuan hukum lain seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, atau fitnah yang tidak berdasar.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini seakan menjadi penanda zaman—bahwa ruang digital tak bisa lagi dijadikan medan tempur untuk membungkam suara-suara kritis terhadap lembaga atau institusi. Namun, di balik kemenangan atas kebebasan berekspresi ini, masyarakat tetap dituntut untuk menggunakan hak bicaranya secara bertanggung jawab. Kritik tetap harus berlandaskan data, bukan sekadar amarah atau sensasi.
Sebagaimana pepatah di warung kopi, beda pendapat itu lumrah, asal jangan sampai melempar gelas. Di dunia maya pun demikian, kritik boleh dilontarkan, tapi jangan berubah jadi hujatan atau fitnah. Putusan MK ini memberi batas yang jelas: kritik boleh, asal tak menginjak harkat pribadi. Itulah semangat hukum dalam era demokrasi digital.
Dengan demikian, masyarakat diharapkan semakin memahami posisi hukum ketika menyampaikan pendapat atau kritik, terutama di ruang digital. Putusan MK ini bukanlah ruang bebas tanpa kendali, melainkan upaya memperjelas batas antara kritik sah dan penghinaan pribadi.** (RED)