Pakar Hukum : Implikasi Dari Penolakan Kewajiban Bank BTN Membayarkan UGR Tol Cisumdawu Berpotensi Terjadi Kekosongan Hukum

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Mudanews.com Sumedang | Kontroversi permohonan blokir uang ganti rugi tol Cisumdawu oleh Kejari Sumedang masih bergulir dan mendapat perhatian dan kritik dari pakar dan praktisi hukum. Carut marut ini dimulai saat Bank BTN menolak mentransaksikan uang yang sudah dibayarkan oleh Pengadilan Negeri Sumedang kepada prinsipal.

Pengadilan sudah menyerahkan cek tunai sebagai pembayaran Uang Ganti Rugi (UGR) kepada warga yang berhak berdasarkan putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dengan diserahkan cek UGR kepada prinsipal yang berhak, berakhir pula payung hukum kerjasama konsinyasi UGR di BTN.
Berhubung tidak ada lagi payung hukum yg melindungi konsinyasi, tindakan BTN menahan pembayaran UGR berpotensi menimbulkan kekacauan dengan resiko terganggunya proyek PSN jalan Tol Cisumdawu. Warga yang belum menerima uang ganti rugi berupaya mempertahankan hak mereka dengan menguasai kembali lahan yang kini telah dibangun jalan Told an beroperasi secara komersil. Kesalahan sepenuhnya mutlak menjadi tanggung jawab BTN.

Untuk memperjelas masalah tersebut, redaksi menghubungi secara terpisah akademisi hukum pidana, ahli hukum Pemerintahan, praktisi hukum dengan Keahlian Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum sebagaimana diatur dalam UU 2 tahun 2012. Mereka adalah Prof. Dr. Mompang Panggabean SH.MH ahli hukum pidana dari UKI, DR. Rian Bakri SH.MH dari UI dan praktisi hukum mantan Panitera. Yanwitra, SH MH.

Secara umum mereka prihatin dan berpendapat sama, mempertanyakan otoritas dan kewenangan BTN menahan transaksi penyerahan UGR kepada warga yang berhak. Menurut mereka tak ada sedikitpun kewenangan Bank BTN menunda atau menghambat perintah PN Sumedang agar menyerahkan UGR yang dititipkan (dikonsinyasi) di Bank BTN.

Sudah hampir 4 bulan, Bank BTN bertindak diluar aturan hukum, sikap tersebut patut diduga sebagai perbuatan tidak menghormati hukum bahkan bisa dikategorikan obstraction of justice.
Sebagaimana diketahui BTN cabang Bandung Timur menolak menyerahkan UGR dengan alasan :
1. Kejaksaan Negeri Sumedang belum melakukan pencabutan pemblokiran pembayaran uang konsinyasi surat Kejari Sumedang B-936/M.2.22/Fd.1/06/2024. Tanggal 6 Juni 2024.
2. Bahwa ada aturan OJK, Bank wajib menolak transaksi dengan nasabah yang diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana (vide pasal 49 ayat 1 huruf e POJK No 8 tahun 2023)
“Surat permohonan blokir Kejari Sumedang tersebut bukanlah surat blokir sebagaimana yang dimaksud dan diatur dalam KUHAP. Harus dibedakan”, tegas Prof. Dr. Mompang Panggabean kepada awak media yang menemuinya.

“Sebaiknya BTN bersurat kepada Kejari Sumedang, mohon agar Kejaksaan mendapatkan persetujuan tertulis dari Pengadilan negeri setempat, sebagaimana diatur oleh Undang Undang. Jawaban Kejari atas surat BTN akan memperjelas persoalan. BTN jangan bersembunyi di belakang surat permohonan kejaksaan yang tidak jelas legitimasi hukum nya” jelas Prof. Dr. Mompang
Mompang juga menyoroti kasus pidana yang melatarbelakangi upaya Kejaksaan berkirim surat ke Bank BTN terkait UGR yang seharusnya diserahkan kepada warga ahli waris

“Masalah Pidana yang disasar sama sekali tak berkaitan dengan para ahli waris. Itukan penyidikan dan penyelidikan terhadap pihak lain, jangan ahli waris sebagai pemilik yang dijadikan korban sehingga hak-hak mereka tersandera. Hati hati jangan sampai dzolim kepada pihak yang tidak ada kaitannya”. kata Prof Mompang.

Ditemui secara terpisah dekan Fakultas Hukum Universitas Yarsi DR. Rian Bakri SH.MH menanggapi persoalan adminitrasi hukum yang tumpang tindih. Sebagaimana diketahui, berdasarkan surat Kajari 21 Juni 2024, Yenita Sari SH, MH. mengklarifikasi bahwa surat tanggal 6 Juni 2024 yang ditujukan kepada Bank BTN Bandung Timur adalah sebagai bentuk pemberitahuan bahwa uang konsinyasi tersebut merupakan objek Penyidikan perkara dugaan Tipikor (pihak lain; Dadan dkk) dan “tidak terdapat upaya paksa” dalam permohonan tersebut.

“Surat tertanggal 6 Juni 2024 hanyalah surat permohonan biasa, bukan surat perintah blokir sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang tidak boleh ditafsir lebih dari apa yang dimaksud oleh Kajari Sumedang. Jadi clean and clear surat yang dimaksud bukanlah pemblokiran dan sama sekali tak ada ijin dari Pengadilan Negeri setempat” tutur Dr. Rian.

“Untuk mencairkan UGR, Bank BTN yang mempersyaratkan adanya surat pencabutan blokir Kejaksaan, itu tidak beralasan hukum. Bagaimana minta pencabutan blokir, kalau pihak kejaksaan tidak pernah memerintahkan (memaksa) pemblokiran sebagaimana penjelasan Kajari Sumedang. Bedakan blokir yang telah dapat ijin Pengadilan dengan dan sekedar surat permohonan blokir tanpa legitimasi hukum. Karena bagaimanapun setiap kebijakan pejabat publik harus didasari aturan UU, khususnya UUAP” lanjut Rian

Selanjutnya masih menurut Rian aturan OJK yang dirujuk oleh BTN Bandung Timur, sama sekali tidak berdasar hukum.

“Itukan uang ganti rugi yang dikonsinyasi, dari APBN dimana pencucian uangnya? Aturan OJK itu tak bisa diterapkan dan tidak lebih tinggi dari aturan UU 2 tahun 2012, lex specialis. BTN keliru dalam menerjemahkan hukum”. Tidak ada kewenangan Bank BTN untuk menahan UGR, apalagi sudah ada penjelasan tertulis dari PN Sumedang, tanggal 1 juli 2024 bahwa putusan sudah inkrah dan agar BTN melaksanakan penyerahan UGR sesuai ketentuan yang berlaku. Ada apa dengan Bank BTN?” kata Rian.

Pada kesempatan berbeda, redaksi mewawancarai Yanwitra, praktisi Hukum senior 40 tahun berkecimpung dalam dunia Kepaniteraan dengan Disertasi UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan umum.

“Bank hanya berkewenangan sebatas menyimpan uang konsinyasi selama masih dipersengketakan. Apabila sudah inkrah dan sudah dibayar oleh Pengadilan, Bank wajib melaksanakannya, tanpa pengecualian, apalagi dengan sekedar merujuk pasal 49 POJK tersebut. Putusan berkekuatan hukum tetap wajib dihormati semua pihak. Perintah pengadilan wajib dilaksanakan” tegas Yanwitra.

Yanwitra berpendapat potensi terjadinya kekosongan hukum jika persoalan ini semakin berlarut-larut.
“Kasus ini menimbulkan kekosongan hukum dan kekacauan dalam kegiataan pengadaan tanah tersebut yang otomatis menimbulkan terganggunya proyek strategis Nasional. Tujuan uang ganti rugi dikonsinyasi ke Pengadilan untuk memastikan siapa pemilik sesungguhnya yang berhak. Konsinyasi disimpan melalui suatu Penetapan Ketua Pengadilan setempat, demikian juga pembayaran UGR diserahkan melalui proses Penetapan ketua Pengadilan pula” imbuh Yanwitra

“Sebagaimana pasal 43 UU 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, sejak penetapan konsinyasi terjadi pemutusan hubungan hukum antara subjek dan objek tanahnya. Hak atas objek ditrade off dengan hak uang ganti rugi yang tersimpan di bank. Menjadi pertanyaan sekarang, UGR sudah diserahkan dengan suatu Penetapan, artinya secara de jure uang yang masih tersimpan di bank BTN sudah tidak di dilindungi oleh payung hukum, karena secara yuridis kegiatan pengadaan tanah sudah selesai dengan diserahkannya cek UGR kepada prinsipal. Namun kenyataannya UGR belum sampai ke prinsipal. Uang masih tersimpan di bank tanpa payung hukum” jelas Yanwitra

“Hal demikian akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum. BTN tidak selayaknya memainkan peran apapun selain sebagai penyimpan yang diatur dalam PERMA No 3 tahun 2016. Dengan kata lain UGR yang masih disimpan karena BTN menolak menyerahkan, tidak lagi memiliki landasan hukum” imbuh Yanwitra

Menurut Yanwitra, sesuai aturan BTN tak bisa dipersalahkan oleh siapapun di kemudian hari apabila melaksanakan perintah Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan UU 2 tahun 2012 pasal 41 (5) tuntutan pihak lain atas Objek Pengadaan Tanah yang telah diserahkan kepada Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian.

“Jadi apabila ada tuntutan siapapun, termasuk jaksa dikemudian hari, sepenuhnya adalah tanggung jawab yang menerima UGR, bukan pejabat ataupun institusi bank BTN” sambung Yanwitra
Yanwitra tidak melihat POJK No. 8 tahun 2023 dapat diterapkan, karena asal usul UGR itu jelas berasal dari APBN, tidak ada pencucian uang disitu, dan telah dikonsinyasi bertahun tahun di bank melalui RPL PN Sumedang.

Seandainya persoalan lebih bayar yang dipersoalkan, juga sesuatu yang absurd. KJPP dalam menghitung ganti rugi menerapkan konsep ganti untung untuk menjamin hak para pemilik objek pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam UU No 12 tahun 2012, dan sama sekali bukan ranah Bank BTN.

“Seandainya BTN terus berdalih dengan surat blokir yang sejatinya menurut Kajari Sumedang bukan blokir, dan tetap merujuk pada POJK yang salah kaprah, sangat beresiko lahan warga yang terkena jalan tol akan dikuasai kembali oleh warga masyarakat” imbuh Yanwitra.

Dari hasil wawancara dengan ketiga tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa BTN tidak lagi ingin menghormati aturan yang ada di Republik ini. Akan lebih terhormat bagi bank BTN tidak menerima lagi pengelolaan uang konsinyasi dengan mengakhiri kerjasama dengan Mahkamah Agung. Bank BTN bias mengembalikan uang konsinyasi tersebut kepada PN Sumedang untuk ditempatkan di Bank Pemerintah lainnya dangan landasan hukum yang jelas. Kekosongan hukum status UGR di Bank BTN seharusnya menjadi perhatian serius pihak yang terkait.

Selanjutnya demi keadilan dan kepastian hukum perlu juga bagi Pengadilan, dalam hal ini Mahkamah Agung, untuk mengkaji ulang kerjasama penempatan konsinyasi dengan bank BTN, agar tidak muncul lagi hal hal yang tidak sesuai dengan aturan dan perundang undangan di kemudian hari.

Pemutusan kerjasama konsinyasi antara MA jika itu benar terjadi, maka Bank BTN berpotensi kehilangan dana murah triliunan. Masih ada bank pemerintah lain yang kredibel , professional dan mengikuti aturan hukum***(Prst)

Berita Terkini