Pendapat Ahli Hukum, Benarkah Bank BTN Melakukan Contempt Of Court Kepada Pengadilan?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Mudanews.com Sumedang  -Persoalan pencairan uang ganti rugi (UGR) lahan tol Cisumdawu milik warga ahli waris yang tertahan di Bank BTN melahirkan perdebatan di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Pengadilan Negeri Sumedang telah mengeluarkan perintah pencairan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Sumedang No 32/Pdt.G/2021/PN Smd, tanggal 10 Mei 2022 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 340/PDT/2022/PT BDG. Tanggal 16 September 2022 Jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2660 K/Pdt/2023 tanggal 21 Desember 2023 yang telah Berkekuatan Hukum Tetap. Namun uang senilai 329,7 milyar tersebut gagal dicairkan di Bank BTN selaku bank yang dipercaya kerja sama menyimpan dana konsinyasi.

Hasil penelusuran informasi media kepada ahli waris menemukan fakta bahwa dana tersebut telah diserahkan PN Sumedang dalam bentuk 9 lembar cek dengan nominal yang berbeda atas nama sejumlah ahli waris. Bank BTN melalui mekanisme perbankan kemudian melakukan proses pembukuan cek tersebut kepada rekening ahli waris. Namun dana yang sudah dibukukan tersebut tidak serta merta bisa dimanfaatkan, ditarik ataupun ditransaksikan oleh ahli waris. Bank BTN beralasan ada surat dari Kejaksaan Negeri Sumedang perihal pemohonan pemblokiran UGR yang diduga menjadi obyek perkara penyidikan tindak pidana korupsi.

Praktisi Hukum senior dan sekaligus pengamat Perbankan, Herman Thahir SH, MH berpendapat Bank BTN yang tidak kunjung melakukan transaksi, penyerahan uang ganti rugi yang telah dibayarkan oleh PN Sumedang Sumedang, kepada principal yang berhak mengundang tanda tanya besar. Kasus ini menjadi isu Perbankan Nasional yang berpotensi merusak tatanan penegakan hukum yang ada.

Bank BTN secara langsung telah melakukan Contempt Of Court atau melecehkan putusan Pengadilan, sekaligus Obstruction Of Justice atau menghalangi penegakan hukum” tegas Herman kepada awak media saat diminta pendapat hukum.

Surat dari Kejari Sumedang kepada BTN bertajuk perihal permohonan pemblokiran menurut Herman bersifat abu-abu. 5 orang yang ditetapkan Kejari Sumedang sebagai pelaku Tipikor bukanlah pemilik UGR apalagi tercantum dalam rekening pencairan.

“Bank BTN beralasan adanya surat permohonan pemblokiran dari Kejari. Tolong dicatat surat tersebut berupa permohonan sekaligus pemberitahuan sedang menangani perkara Tipikor, jadi jelas bukan perintah pemblokiran. Kemudian Bank BTN merujuk aturan Peraturan OJK Nomer 8 tahun 2023 pasal 49 ayat (1) yang melarang Bank melakukan transaksi yang bersumber dari dari dana tindak pidana korupsi, maka semakin jelas salah kaprah dan tak relevan. Menganggap dana UGR dari APBN berasal dari dana Tipikor dan membela diri bahwa Bank menerapkan asas kehati hatian? Publik kemudian berspekulasi modus Bank BTN menahan UGR karena tak ingin kehilangan dana murah, karena uang yang dikonsinyasi tanpa cost of fund. Di sisi lain jelas BTN telah mengangkangi perintah Pengadilan. Penetapan Ketua Pengadilan berdasarkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) tidak dihiraukan dan tidak dilaksanakan.” jelas Herman Thahir.

Herman tidak ingin mengomentari lebih jauh perihal permohonan pemblokiran dari Kejari Sumedang, karena masuk ranah kebijakan penyidik. Herman menilai BTN salah kaprah dalam memahami aturan yang jelas tertulis dalam surat Kejari, bahwa tidak ada upaya paksa dalam permohonan tersebut.

“Apapun alasannya putusan hukum yang telah inkrah harus dilaksanakan Bank BTN. Sebuah kekeliruan menafsirkan surat permohonan Kejari menjadi rurat perintah. Bahkan surat Kajari berikutnya sudah mengklarifikasi tidak terdapat pemaksaa namun kemudian lebih dihormati daripada perintah Pengadilan Negeri? Negara ini adalah negara hukum setiap pihak wajib menghormatinya. Bandingkan dengan putusan politik misalnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai begitu buruk sekalipun namun tetap dihormati. Ini putusan MA sudah terang benderang malah tidak ditaati oleh Bank BTN. Jikalau sudah tidak mentaati hukum maka Mahkamah Agung menjadi dilecehkan harusnya bersikap tegas, tinjau saja kerjasama penitipan dana konsinyasi dengan Bank BTN. Bukankah masih banyak bank Pemerintah lain berkinerja lebih baik dari bank BTN? Pindahkan saja RPL dari BTN ke bank Mandiri, BRI atau BNI” lanjut Herman

Pada kesempatan terpisah Dr. Ryan Bakri, pakar Hukum Administrasi Negara berpendapat setiap penyelenggara Pemerintah harus berdasarkan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Apakah surat permohonan Kajari itu telah memenuhi asas legalitas dan asas asas yang diatur dalam AUPB?

“Penting untuk diperhatikan oleh Bank BTN, karena setiap Keputusan dan atau tindakan harus berdasarkan penetapan. Itu yang diatur dalam undang undang AUPB. Sementara surat permohononan Kajari yang awal hanyalah permohonan yang tidak didasari atas penetapan dan sudah dikoreksi oleh surat Kejari berikutnya. Kejaksaan sangat menyadari tentang kewenangan dan legalitas yang diatur dalam UU AUPB, sehingga mengklarifikasi dengan pernyataan “tidak terdapat upaya paksa dalam permohonan tersebut. Kewenangan dan legalitas pemblokiran tidak ada disitu” jelas Dr.Ryan.

Sementara itu praktisi hukum, mantan Panitera Pengadilan Tinggi, Yanwitra SH, MH, menegaskan kembali UGR itu diatur oleh UU No 2 tahun 2012. Negara mengangarkan dana untuk mendapatkan hak/aset yang dipakai Proyek Strategis Nasional, diatur pasal 121 PP 19 TAHUN 2021. Itu uang jelas asal usulnya bukan Tipikor.

“Aturan OJK tak dapat diterapkan dalam hal konsinyasi. Bank BTN hanya sebagai penampung saja, tempat penyimpanan sementara sampai didapat kepastian hukum yang berkekuatan tetap. Selain itu Undang Undang juga menjamin bahwa hanya pihak penerima UGR yang dapat dituntut di kemudian hari jika ditemukan kesalahan ( vide pasal 41 ayat 5). Tidak ada tanggungjawab pejabat ataupun institusi Bank BTN jika sudah menyerahkan UGR berdasarkan perintah penetapan Pengadilan” jelas Yanwitra (S.Ragil)

Berita Terkini